Amira terdiam. “Oh…”
Ia menatap meja makan dengan kecewa, lalu tanpa banyak bicara, mengambil semua makanan itu dan membuangnya ke tong sampah. Air matanya sempat jatuh sejenak, tapi buru-buru ia seka.
“Bodoh amat. Lagian juga, siapa suruh kami masak buat dia,” gerutunya pada diri sendiri, pura-pura tak peduli.
Bibi yang menyaksikan semua itu dari balik pintu dapur langsung mengetik pesan cepat ke Ali.
"Tuan, mohon maaf. Tadi, Neng Amira masak dari pagi buat Tuan. Tapi Tuan keburu pergi. Mungkin, Neng Amira kesal, jadi makanannya dibuang semua. Bibi tidak tega melihatnya. Wajahnya sedih banget.”
---
Sore harinya, Ali baru selesai meeting dan membaca pesan Bibi. Wajahnya langsung berubah serius. Ia cepat-cepat pulang, menyesali keputusannya pergi terburu-buru tadi pagi tanpa pamit.
Sesampainya di rumah, ia langsung mencari Amira dan menemukannya sedang rebahan di atas kasur sambil bermain HP. Ekspresinya datar.
“Assalamualaikum,” sapa Ali sambil duduk di pinggir tempat tidur.
“Waalaikumsalam,” jawab Amira tanpa menoleh.
“Aku... denger dari Bibi, pagi-pagi ada yang masak ya?” tanya Ali pelan.
“Siapa?” Amira mengangkat alis. “Aku? Nggak tuh. Mungkin Bibi yang masak.”
Ali nyengir. “Oh, ya? Padahal Bibi bilang tangan kamu sampai gosong karena pinggiran wajan.”
Amira cepat-cepat menyembunyikan tangannya di balik selimut. “Nggak usah dibahas. Nggak penting juga!”
Ali mendekat, matanya menatap lembut. “Penting. Makanya aku mau ganti rugi. Kamu mau dinner? Atau... mau aku beliin gamis baru buat kuliah?”
Amira melirik sekilas. “Gamis?”
“Yang warna lilac itu, kan kamu suka,” ujar Ali sambil mengeluarkan HP dan menunjukkan katalog toko online.
Amira menahan senyum. Gamis itu sudah dia idamkan sejak jaman lulus SMA dulu, tapi belum kesampaian beli karena harganya yang selangit. “Y-ya... kalau kamu maksa...”
Ali tertawa kecil. “Maksa dong. Masa istri sedih, suaminya diem aja. Nggak minta maaf.”
Amira pura-pura sibuk main HP. Tapi dalam hati, ia berbunga-bunga. Biarpun gengsinya setinggi langit, ia tak bisa memungkiri: perhatian Ali benar-benar mulai menggetarkan hatinya.
---
“Ganti baju ini, ya. Kita pergi sebentar,” kata Ali sambil menyodorkan sebuah tas kecil berisi jilbab dan kaus lengan panjang yang nyaman. “Biar santai, tapi tetap manis dipakai,” lanjutnya sambil berkedip.
Amira mengernyit. “Kemana?”
“Shopping,” jawab Ali santai. “Kamu kan bilang gamis kamu buat kuliah cuma itu-itu aja.”
“Aku nggak bilang apa-apa.”
“Tapi aku tahu.”
Ali tersenyum penuh percaya diri. Amira hanya memutar bola matanya malas. Meski gengsi, jantungnya berdebar hebat. Jauh di lubuk hatinya, dia senang.
Setelah berganti baju, mereka meluncur ke sebuah butik mewah di kawasan pusat kota. Amira sempat kagum melihat desain butik itu. Tapi kekagumannya langsung buyar ketika pemilik butik, seorang wanita cantik dan modis dengan rambut sebahu dan lipstik merah terang, berlari kecil menyambut Ali.
“Ya Allah! Abang Ali!” seru wanita itu, langsung memeluk Ali dengan akrab dan mencium pipinya.
Amira nyaris tersedak udara.
Ali tertawa, tampak canggung tapi membiarkan perlakuan si wanita. “Bianca... lama nggak ketemu.”
Bianca menepuk d**a Ali pelan. “Bi Kangen, tahu!”
Amira berdiri di belakang mereka, mendelik diam-diam. Wanita itu tersenyum kaku. Siapa sih dia? Main peluk-peluk suami orang?
Ali tampaknya baru menyadari Amira belum dikenalkan.
“Oh iya, Bi. Kenalin, ini Amira. Istriku,” kata Ali sambil menarik Amira lebih dekat.
Bianca menatap Amira dari atas sampai bawah, lalu menutup mulutnya. “MasyaAllah Bang Ali! Seriusan, Abang nambah istri lagi? Kenapa nggak bilang-bilang sama Bianca, tahu gitu, Bianca kan mau menawarkan diri!"
Meski hanya bercanda, ucapan Bianca cukup membuat hati Amira cenat cenut.
Ali merangkul bahu Amira. “Bianca ini sepupuku. Tapi sejak lama ngelola butik ini buat istri-istriku. Jadi, kamu aman belanja di sini. Tinggal tunjuk aja, Bi pasti tahu seleramu.”
“Bang Ali memang paling tahu cara manjain perempuan,” kata Bianca menggoda sambil mencubit lengan Ali pelan.
Amira menegakkan bahu. “Aku nggak butuh banyak kok, cuma dua atau tiga gamis buat kuliah.”
Bianca langsung sigap. “Tenang, aku cariin yang pas.”
Sementara Bianca memilihkan baju, Amira mencolek lengan Ali dan berbisik, “Itu... selalu begitu kalau kamu datang?”
Ali menoleh dengan senyum jahil. “Kenapa, cemburu, ya?”
“Enggak,” sangkal Amira cepat. “Cuma... aneh aja.”
“Dia sepupuku. Dari kecil, kami sudah hidup sama-sama.”
Amira melipat tangan di d**a. “Iya, tapi tetap aja... pelukan dan cium pipi itu... ya... nggak selayaknya dilakukan.”
Ali menahan tawa. “Duh, manis banget sih kalau cemburu gitu.”
“Aku nggak cemburu!” sergah Amira, pipinya mulai memerah.
Ali mencubit ujung hidung Amira dengan gemas. “Iya, iya. Bukan cemburu. Tapi aku suka, kamu mulai peduli.”
Amira mendengus. “Terserah kamu aja, deh.”
---
Hujan turun deras mengguyur bumi sejak hari menjelang siang. Mahasiswa lain sudah banyak yang pulang, tapi Amira masih di perpustakaan, menyelesaikan tugas kelompok.
Ketika akhirnya keluar dari gedung kampus, Amira mengernyit kesal. "Duh, hujannya deras banget lagi," gumamnya.
Dia merapatkan jaketnya, lalu membuka aplikasi ojek online. Sudah tiga kali memesan taksi, tapi selalu dibatalkan.
“Ya Allah, kenapa semua dicancel?” keluhnya sambil menggigit bibirnya yang mulai bergetar.
Amira mencoba menelepon suaminya. Nada sambung berdering, tapi tak lama kemudian terdengar suara operator.
“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.”
Amira menghela napas, menatap langit kelabu. "Kenapa sih, dia, nggak hidupin HP segala?"
Satu-satunya pilihan sekarang hanya berjalan ke halte bus. Tapi jaraknya hampir satu kilometer dari gerbang kampus. Dengan tas berat dan hujan deras seperti ini? Tapi daripada menunggu tanpa kepastian, Amira akhirnya menarik napas dalam-dalam.
“Nekat aja deh,” katanya mantap.
Dia melepas sepatunya, menggulung ujung celana jeansnya, lalu mulai berlari di tengah guyuran hujan. Meski dia telah melindungi kepalanya dengan tas punggungnya, tetap saja bajunya basah.
Angin menerpa wajahnya, membuat tubuhnya menggigil. Namun Amira tetap berlari, tak peduli dengan tubuhnya yang basah kuyup.
Setibanya di halte, Amira terduduk lemas, napasnya ngos-ngosan.
"Astaga... dingin banget..." bisiknya seraya memeluk dirinya sendiri.
Tak lama kemudian, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan halte.
Kaca jendela diturunkan. Ali yang duduk di balik kemudi tampak panik.
"Amira?! Ya Allah! Ngapain kamu lari-lari di tengah hujan gini?!" serunya cemas.
Amira memalingkan wajah, enggan menunjukkan wajahnya yang sudah merah dingin.
"Aku udah coba hubungi kamu, tapi HP-kamu mati," jawabnya ketus.
Ali turun dari mobil, berlari kecil ke arah Amira dan menarik tangan istrinya agar masuk ke dalam mobil.
“Maaf ya, HP-ku lowbat. Tadi meeting mendadak banget. Harusnya aku tetap nyalain meski cuma sisa satu persen.”
Setelah Amira masuk ke mobil, Ali langsung menyalakan penghangat. Tangannya meraih handuk kecil dari dashboard dan mulai mengeringkan rambut Amira perlahan.
Amira terdiam, hatinya bergejolak antara ingin marah dan... juga terharu.