Bab 9

1045 Kata
“Assalamualaikum, istriku yang paling cantik!” sapa Ali dengan semangat, sambil menyembunyikan sesuatu di belakang punggungnya. Amira yang sore itu tengah membaca buku di ruang tengah langsung mendongakkan kepalanya. Menatap malas lelaki tampan yang telah sah menjadi suaminya. “Wa’alaikumsalam…,” gumamnya. Ali berjalan mendekat, lalu berjongkok di hadapan Amira lalu menyorongkan satu buket bunga mawar merah segar dan satu kotak coklat berbentuk hati. “Untuk istriku. Maaf ya hari ini, Abi pulangnya agak telat, semoga ini bisa menebusnya.” Amira menatap bunga dan coklat itu dengan mata membesar. Tak ada yang pernah memberikannya hal seperti ini. Bahkan mantan kekasihnya pun tidak pernah memberikannya bunga apalagi membelikan coklat mahal. Namun, gengsi sudah melekat kuat di jiwa. Ia langsung membuang muka dan berdiri. “Lain kali gak usah bawain bunga. Aku nggak suka bunga!” sentaknya ketus sambil berusaha menyembunyikan pipinya yang memerah. Ali tersenyum geli. Ia tahu betul gaya istrinya yang satu ini. Gaya-gaya anak gadis gengsian tapi hatinya luluh. Apalagi saat ia mencuri pandang dan melihat kaki Amira masih tetap berdiri di tempat, tidak benar-benar pergi. “Yakin gak suka bunga?” goda Ali sambil duduk di sofa dan membuka kotak coklat. “Kalau gitu, bunga ini aku kasih ke Dini aja deh. Dia kan suka banget sama bunga.” Amira sontak menoleh. “Eh—jangan! Maksudnya… ya udah taruh aja di vas. Sayang juga dibuang,” katanya cepat-cepat. Ali nyengir puas. “Ooo, jadi sayang juga ya ternyata. Katanya gak suka bunga?” Amira memutar bola matanya. “Kata Ibu, barang yang sudah diberi itu, tak boleh diminta lagi. Pamali!” Ali berdiri lalu mendekat, menyodorkan satu potong coklat. “Coklat juga gak suka?” “Coklat bikin gendut,” jawab Amira dingin, tapi tangannya tetap menyambar coklat itu dan memasukkannya ke mulut. Ali tertawa kecil. “Gak apa-apa, gendut dikit asal manis. Nanti Abi tambah cinta.” Mata Amira membelalak. “Najis! Nggak usah sok romantis! Nggak mempan juga buat aku” Tapi pipinya sudah merah merona. Ali membungkuk sedikit, menatap wajah gadis itu dengan senyum lembut. “Romantis itu bukan sok, tapi tulus dari hati.” Amira cepat-cepat membalikkan badan, pura-pura membuka buku. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu dalam ucapan Ali barusan yang membuat hatinya tidak bisa tenang. Dan malam itu Amira diam-diam meletakkan bunga di vas favoritnya, lalu menyimpan kotak coklat yang belum habis di lemari pribadinya. Sambil tersenyum kecil, ia berkata pada dirinya sendiri: “Jangan-jangan… aku mulai suka sama dia?” --- Malam telah berganti, dan kini giliran Ali kembali ke kamar istri pertamanya, Salma. Amira menghela napas lega saat melihat lelaki itu keluar dari kamarnya. “Abi tidur dulu, ya. Jangan lupa dikunci kamarnya. Nanti kalau ada pencuri yang masuk gimana?” ucap Ali sambil tersenyum manis. Amira hanya mengangguk cepat, tidak tahu harus membalas apa. Seharusnya, dia senang karena akhirnya bisa tidur sendiri, tetapi, entah mengapa malam itu kamar terasa agak sepi dan... kosong. Pagi harinya, Amira baru saja keluar dari kamar saat suara klakson mobil terdengar dari depan rumah. “Amiraaa, ayo berangkat!” seru suara Ali dari balik jendela mobil. Amira tergesa-gesa menyeruput s**u dan juga mengambil roti, lalu berlari kecil ke luar. “Abi! Nggak usah antar Mira, nanti Abi telat karena harus muter-muter. Mira bisa naik ojek!” protesnya begitu masuk ke dalam mobil. Ali menoleh sekilas dengan senyum menggoda. “Suami mana yang tega ngelepas istrinya naik ojek sendirian? Istri manis begini, nanti kalau direbut orang, gimana?” Amira menahan senyum. “Lebay.” Ali mengedipkan mata. “Tapi lebay gini, bikin kamu senang, kan?” Amira tak menjawab. Pipi meronanya yang menjawab sendiri. Selama tiga hari itu, meski Ali tidur bersama Salma, perhatian lelaki itu ke Amira tidak berubah. Setiap pulang kantor, ia membawakan Amira bunga, makanan kesukaan, bahkan sesekali membelikan pernak-pernik lucu yang dibungkus kertas warna-warni. “Ini buat kamu,” ujar Ali suatu sore sambil menyerahkan boneka kelinci kecil berwarna putih dengan pita merah muda di lehernya. Amira menerima boneka itu dengan hati-hati. “Kenapa kelinci?” “Sebagai pengganti Abi kalau kamu rindu pada Abi,” jawab Ali dengan senyum menawan. “Dan kamu juga manisnya kayak kelinci.” Amira terdiam. Hatinya berbunga-bunga, tapi mulutnya manyun beberapa senti. “Dikira aku anak TK apa dikasih boneka kayak gini?” Ali tertawa. Gemas sekali melihat tingkah istri mudanya. Andai dia sudah bisa menakhlukkan Amira, pastilah sudah dia bawa gadis itu ke dalam kamar. “Kamu nggemesin kalau manyun gitu.” Amira pun buru-buru merubah ekspresi wajahnya. Selepas sang suami pergi, dia memandangi boneka yang baru saja diberikan oleh Ali. Amira pun mengambil lalu memeluk boneka itu. Ia menatap bunga mawar yang sudah ia taruh di vas kecil, dan kotak makanan yang baru saja kosong. Pikirannya melayang. Apakah Ali juga begini ke Salma? Ke Dini? Ke Intan? Ia ingin tahu... tapi takut. Takut kecewa. Takut cemburu. Dan... takut ketahuan kalau diam-diam ia mulai menyukai lelaki itu. Kalau memang Ali hanya bersikap begitu padanya, dia tentu tak ingin membuat kakak madunya cemburu. Tapi kalau Ali seperti ini pada semua istrinya… “Yah, mungkin dia memang playboy kelas kakap,” gumam Amira pelan sambil tersenyum miris. Namun, senyum itu cepat kembali berubah menjadi senyum manis saat bunyi notifikasi terdengar di ponselnya. "Tidur yang nyenyak, ya. Jangan lupa doa dulu. Abi sayang kamu." Amira menggigit bibir menahan senyum. Ia pun mengetik balasan, namun akhirnya hanya menghapus dan meletakkan ponsel di d**a sambil bergumam: “Dasar, suami mesum... tapi Mira kangen Abi tidur disini ...” Keesokannya, Amira bangun lebih dulu, entah mengapa, dia ingin memasakkan sesuatu untuk Ali. Dia berpikir, tidak ada salahnya sekali-kali menyenangkan Ali. Toh, lelaki itu juga sering membuatnya bahagia dengan perhatian dan semua pemberiannya. Setelah berkutat hampir 1 jam lamanya di dapur, masakan Amira pun jadi. Meski dia sendiri tak yakin, apa makanan itu cocok atau tidak di lidah Ali. Setidaknya, dia sudah berusaha bukan? Ia menyusun makanan itu di meja makan, lengkap dengan teh manis hangat. Tapi... hingga waktu sarapan lewat, Ali tak kunjung keluar kamar. Ketika ia bertanya pada Bibi, wanita paruh baya itu malah memberitahu kabar yang membuat dadanya sesak. “Tuan Ali tadi udah pergi, Neng. Katanya ada meeting pagi-pagi banget.” Amira terdiam. Menatap semua yang ada di meja makan itu dengan raut wajah kecewa. "Ohh ... begitu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN