Bab 8

1101 Kata
Amira baru duduk di meja sarapan bersama Salma, Intan, dan Dini. Ketiganya tampak akrab, tertawa pelan sambil menikmati roti panggang dan teh hangat. Salma tersenyum hangat pada Amira. “Gimana tidurmu semalam, Mir?” Amira mendengus sambil memutar matanya malas. “Di lantai, kedinginan. Gara-gara ada yang nguasain selimut.” Ketiga wanita dewasa itu saling pandang, lalu cekikikan kecil. “Ya ampun, Abi Ali ngelakuin lagi?” timpal Intan sambil mengunyah kacang kesukaannya. “Dulu aku juga pernah tuh... sampe akhirnya aku sadar, ternyata dia punya... strategi buat menidurkan para istrinya dengan cara yang sangat... lihai.” Amira memicingkan mata. “Strategi? Maksudnya?” Salma tersenyum misterius. “Ah, kamu bakal tahu sendiri nantinya!" Amira jadi semakin bingung. “Serius deh, kalian ini aneh. Aku kira kalian bakal saling saingan, ternyata malah kompak. Dan kenapa tiap ngomong soal suami, nada kalian kayak... nyimpen rahasia besar, begitu?” Ketiganya saling tatap, lalu tertawa pelan. “Kami ini bukan saingan, Mir. Kami ini sebuah tim. Dan kamu... sekarang anggota baru kami.” Intan menimpali. Dini mengangkat gelas yang berisi air putih itu. “Selamat datang di klub istri Ali, Amira. Nanti malam... hmm... siap-siap aja, ya.” Amira makin bingung dan curiga. “Siap-siap apaan sih? Kita itu tidurnya pisah kok. Dia dibawah, aku diatas kasur.” Salma bangkit, membawa piring kosong ke dapur. “Nggak usah tegang. Santai aja. Anggap ini... pelatihan dasar.” Dini berbisik nakal di telinga Amira. “Bisa jadi... malam pertama kalian adalah malam paling berkesan sepanjang hidupmu.” Amira langsung tersedak tehnya. “Hah?!” Mereka bertiga hanya tertawa sambil berlalu, meninggalkan Amira dengan sejuta tanda tanya dan wajah merah padam. --- Di kamar Amira Amira berdiri di depan cermin, memakai jubah panjang warna abu-abu yang bahkan menutupi ujung kaki. Rambutnya dikuncir seadanya, wajahnya polos tanpa makeup. Dia bolak-balik menatap bayangannya sendiri, jantungnya berdetak cepat. AMIRA menenangkan dirinya. “Tenang, Mir. Ini cuma malam biasa. Dia cuma laki-laki yang kebetulan... punya tiga istri... dan semua kayaknya bahagia banget. Jadi, tidak mungkin, dia itu psikopat. Karena istrinya pasti tidak akan seperti itu. Ih, jadi makin deg-degan, aku!” Tiba-tiba, pintu kamar diketuk dua kali. Ali berdiri di balik pintu, suaranya dia buat selembut mungkin demi bisa meluluhkan hati istri keempatnya. “Assalamu'alaikum, istriku yang cantik. Bolehkah suamimu ini masuk?” Amira menelan ludah. Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. “Wa'alaikumussalam. Masuk aja.” Pintu terbuka pelan. Ali melangkah masuk sambil mengenakan piyama bersih, rambutnya masih sedikit basah—sepertinya habis mandi. Matanya langsung menangkap sosok Amira yang berdiri kaku di dekat ranjang. Ali memandangnya takjub. “Masya Allah, pakai jubah panjang kayak gitu, istri Abi jadi terlihat lebih cantik. Jadi tidak sabar...” Amira langsung mendelik. “Aku pakai gini supaya kamu... nggak macam-macam.” Ali tertawa pelan. “Sayang, kalau laki-laki sudah jatuh cinta, meskipun kamu pakai karung beras sekalipun, Abi tetap deg-degan kalau dekat kamu.” Amira mendengus, lalu memutar badan. “Aku tidur duluan!” Dia buru-buru naik ke ranjang, memeluk guling sebagai benteng pertahanan. Ali hanya tersenyum, mengambil bantal, lalu rebahan di sisi lain ranjang, menjaga jarak. Ali mengusap lembut bahu sang istri membuat tubuh Amira menegang seketika. “Tenang aja, Sayang. Aku suami yang tahu waktu. Kalau kamu belum siap, aku juga nggak akan maksa.” Amira menaikkan selimutnya. "Jangan macam-macam, kalau nggak pengen aku tendang rudalmu biar nggak bisa bangun lagi." Ali tertawa kecil sambil memegang rudalnya. "Duh, jadi takut. Tapi Sayang, kalau kamu beneran ngelakuin itu, kamu nanti nyesel loh kalau nggak bisa merasakan rudalku. Coba kamu tanya pada ketiga istriku, mereka aja sampai minta nambah terus. Gimana, kamu ... mau coba dulu nggak?" Amira menoleh, mengernyit. “Jangan mimpi?” Ali mengedipkan sebelah matanya. “Suatu saat, Abi yakin, kamu pasti akan ketagihan kalau sudah tahu rasanya.” Amira membalikkan badan lagi, wajahnya merah padam, antara malu dan geli melihat tingkah konyol suaminya. Sementara Ali, menatap langit-langit kamar, senyum puas. Ali berkata lirih. “Terima kasih sudah jadi istriku, Mir. Aku tahu caraku untuk memilikimu sedikit aneh, dan kamu tidak terima. Tapi aku janji, aku nggak akan buat kamu nyesel telah menjadi istriku.” Amira diam lama. Lalu, dengan suara hampir tak terdengar... “Kita lihat aja nanti...” --- Waktu sudah menunjukkan pukul 01.38 dini hari. Amira berbaring memeluk guling, matanya terbuka lebar, sesekali melirik ke sisi tempat tidur di mana Ali juga terbaring. Kamar sunyi... tapi pikiran mereka melayang kemana-mana. “Kenapa gue nggak bisa tidur? Padahal kan udah ngantuk dari tadi... tapi tiap kali merem, bayangin dia mau ngapa-ngapain gue. Aduh! Jangan sampai kecolongan!” Dia menatap Ali yang punggungnya menghadap ke arahnya. Pria itu terlihat tenang, tapi kenyataannya... “Ya Allah... udah dua hari. Biasanya tiap malam minimal sekali nge-charge. Sekarang? Pegang tangan istri aja belum. Ini kepala udah cenat-cenut nahan supaya si Joni tidak terus berontak. Gimana bisa tidur kalau begini?” Ali menarik napas panjang, lalu duduk. Amira langsung waspada, ikut duduk pelan. “Mau ngapain, kamu?” Amira mulai curiga dengan sikap Ali. Ali memandang Amira dengan tatapan letih. “Aku haus, Sayang. Mau ke dapur. Kamu kira aku mau ngapain? Jangan-jangan, kamu ngarep diapa-apain, ya?” Amira mendengus kesal. “Ya siapa tahu! Kamu kan maniak s e k s!” Ali menggelengkan kepalanya. “Aku bukan lelaki seperti itu, Sayang. Aku nggak mungkin maksa kamu, kalau memang kamu nggak mau." Amira melengoskan tubuhnya kemudian kembali berbaring. Melihat perilaku istrinya yang menggemaskan, Ali tertawa pelan, berdiri, lalu berjalan keluar. AMIRA (berbisik sendiri) “Duh... kenapa sih dia bisa santai kayak gitu?" Tak lama kemudian, Ali kembali dengan segelas s**u hangat, dan langsung duduk di pinggir ranjang, mengusap pelipisnya. Amira memperhatikan suaminya. Ada sedikit rasa khawatir melihat lelaki itu terus memegang kepalanya. “Kamu sakit kepala?” Ali melirik, lalu mengangguk. “Dikit. Mungkin efek dari... ya, gitu deh.” Amira kembali duduk lalu menatap wajah Ali. “Sesering itu, ya?” Ali mengangkat bahu. “Biasanya iya. Tapi tenang aja, aku udah janji nggak bakal ganggu kamu. Cuma... kamu tahu nggak, gimana rasanya ketemu makanan favorit tiap hari, terus kita cuma disuruh cium baunya aja selama tiga hari?” Amira ingin ketawa, tapi dia tahan. Ali benar-benar terdengar menderita tapi lucu juga. “Sudah, lebih baik kamu tidur!” Ali tersenyum lelah. “Kalau aku tidur, terus kamu gelinding ke arahku, terus tubuh kita nempel, terus... ah, jangan. Nanti tambah cenat-cenut.” Amira akhirnya ngakak pelan. “Ya udah, tidurlah. Aku juga bakal coba tidur.” Ali kembali ke sisi tempat tidurnya, rebahan pelan. ALI kembali berbisik sebelum memejamkan mata. Mencoba peruntungan. “Sayang, boleh nggak... kepala Abi udah cenat cenut nih?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN