Bab 1

1213 Kata
“Hah! Hah! Aku nyerah, Mas. Sungguh, aku nyerah. Kayaknya... aku butuh kursi roda.” Sementara Ali Fayyadh Zhafar, lelaki keturunan Arab itu terus saja mengajak istrinya bercinta tanpa peduli rengekan istrinya yang meminta berhenti. Hingga satu jam kemudian, Ali selesai dengan hajatnya bersamaan dengan pingsannya Salma, istri pertama Ali. Keesokannya, Salma menatap langit-langit kamarnya, wajahnya pucat, dan rambut acak-acakan. Selimutnya berantakan, dan kamarnya seperti kapal pecah. Tanpa mandi dan berganti pakaian, Salma keluar berniat mengambil minuman. Disana Intan, istri kedua Ali, yang melihat betapa berantakannya kakak pertamanya tersenyum remeh. Wanita yang baru saja membuka kulkas bergumam, “Ini baru Senin loh, Mbak. Mbak Salma harus nyiapin tenaga buat dua hari ke depan. Karena jatah Mbak bersama Abi Ali masih sampai hari rabu." Salma menepuk dahinya pelan. "Ya Allah, stamina suamiku kuat sekali!” kata Salma sambil mengangkat kedua tangannya tanda bahwa ia sudah menyerah di hari pertama. Sementara itu, Dini, istri ketiga, yang baru dua minggu resmi menikah dengan Ali, berdiri di ambang pintu dengan mata membulat. “Jadi... ini yang kalian maksud dengan ‘kamu harus kuat, Din’?!” Salma dan Intan menatapnya dengan iba. “Aku pikir kalian bercanda!” Dini mulai panik. “Ya Allah, seminggu kemarin aku off karena haid. Jadi aku belum malam pertama sama Abi. Dan sekarang, aku sudah selesai, lalu, aku harus gimana dong?" Salma menarik napas dalam-dalam. “Dini, kamu baru di level satu. Tunggu sampai kamu mengalaminya.” Dini langsung terduduk. “Semoga saat bersamaku, Abi Ali sedang tidak enak badan." Hari Rabu telah tiba. Malam ini, giliran Intan yang tidur bersama Ali. Malam itu, Intan berdiri di depan cermin kamar. Rambutnya sudah diikat rapi, karena Ali tidak ingin saat bercinta, rambut istrinya berantakan. Intan mengenakan lingeri berwarna biru pemberian Ali tadi pagi. Di meja samping tempat tidur berjajar tiga botol kecil berisi ramuan tradisional pemberian Mama Azizah, sang mertua. “Jamu kuat racikan Mamah,” gumamnya sambil meminum satu botol dalam sekali teguk. “Kalau Mamah bisa bertahan sama Bapak yang hobi panjat pohon kelapa di umur 60, aku pasti bisa bertahan semalam sama Abi Ali.” Setelah meneguk jamu terakhir, Intan membuka botol minyak kayu zaitun, memoleskannya ke tangan, dan bersiap duduk di pinggir ranjang. Pintu kamar terbuka. Masuklah sosok lelaki jangkung beralis tebal, dengan tatapan datar seperti biasa. Ali. “Kamu sudah siap, Sayang?” tanyanya dengan suara berat. “Siap dong…” Intan tersenyum manis, meski dalam hati, dia sudah membaca ayat kursi tiga kali. Ali duduk di tepi ranjang, merenggangkan bahu. Intan mengambil posisi di belakangnya dan mulai memijat bahunya perlahan. “Abi capek kan? Aku pijitin ya… biar relax…” Suara Intan dia buat semanis madu, tapi hatinya seperti petugas evakuasi bencana. Ali mendengus pelan. “Lumayan.” “Pundaknya tegang banget, Bi… Sini-sini…” Intan naik ke kasur dan mulai memijat dengan teknik yang dia pelajari dari aplikasi toktok: Pijatan Anti Napsu. Dia berharap, dengan memberi pijatan anti napsu, Ali akan tertidur setelahnya, sehingga kewajibannya untuk menghabiskan malam bersama Ali gugur sudah. Dia menekan otot punggung, mengurut betis, lalu naik ke leher. “Enak, Bi?” Ali terdiam. Tapi beberapa detik kemudian, dia mulai meluruskan punggung dan memutar leher ke kiri dan kanan. Krretekkk. “Wah, enak banget,” ujarnya datar, lalu menoleh pada Dini dengan senyum tipis. “Kamu malah bikin aku makin segar.” Dini langsung mengerjapkan matanya. “Eh… segar… segar gimana, Bi?” Ali bangkit dari duduk, membuka bajunya, lalu mematikan lampu kamar dengan perlahan. Intan mulai panik. “Mas, lampunya kok—” “Ssst,” ujar Ali sambil berjalan ke arahnya. “Tenagaku penuh banget sekarang, Sayang. Siap ya?” Dan dalam waktu tiga detik, Dini merasa seperti habis lari maraton. Jamu kuat itu malah jadi bumerang. Bukannya memperkuat dirinya, yang ada malah Ali yang kuat. Beberapa menit kemudian… “MAS… AKU UDAH NGGAK TAHAN! RASANYA AKU MAU PINGSAN!” Teriak Dini dengan suara tercekat. “Tahan sebentar, Sayang. Aku selesaikan dulu,” jawab Ali santai sambil tetap lanjut memacu tubuhnya. “YA ALLAH, MAAAFKAN AKU…” Dan akhirnya, Intan pingsan dengan wajah menempel di bantal, rambut acak-acakan, dan baju yang tercecer di bawah. Ali duduk di tepi ranjang, menarik napas pelan, dan memandangi istrinya yang terkapar. “Lho, baru babak pertama, kok udah tepar sih , Sayang?” gumamnya pelan. Di luar kamar, Salma dan Dini sudah standby dengan minyak angin dan air putih. “Gimana?” bisik Salma. “Intan tumbang,” jawab Ali, keluar kamar sambil mengibas rambutnya seperti iklan sampo. “Besok, siapa ya yang jaga jadwal giliran?” Salma dan Dini saling pandang. Salma pun menunjuk wajah Dini sebagai istri ketiga. "Dini, Abi!" Lelaki berjamban itu pun mengerlingkan matanya pada Dini. "Bersiaplah, baby!" --- Keesokannya, Dini berdiri di dapur dengan tatapan kosong ke arah teko teh yang mengepul pelan. Tangannya gemetar saat menuangkan cairan bening dari botol kecil ke dalam cangkir. "Ini bukan racun... cuma bantuan," bisiknya, meyakinkan diri sendiri. "Obat tidur dosis rendah. Nggak bakalan bikin dia mati." Dengan senyum semanis mungkin, ia masuk ke kamar sambil membawa nampan kecil. "Abi..." panggilnya pelan. Ali, yang sedang duduk membaca kitab tafsir di atas tempat tidur, mengangkat wajah. "Hmm?" "Aku buatkan teh spesial, lho..." Dini duduk di sampingnya. "Katanya teh ini bisa bikin stamina makin prima saat... ya, gitu deh." Ali menatap cangkir itu. “Hmm. Kayak jamu?” Dini mengangguk cepat. "Iya, Abi. Minum dulu, ya. Dini udah siap lahir batin malam ini..." Ali tersenyum tipis dan, tanpa curiga, meneguk teh itu sampai habis. Dini dalam hati sudah bersorak. Berhasil! Tak sampai 15 menit kemudian, mata Ali mulai berat. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding, lalu ambruk ke kasur sambil bergumam lemah, "Kok, ngantuk banget ya..." Dan... bruggh. Dini tersenyum bahagia, malam ini, dia selamat. Ia pun menarik selimut, dan mematikan lampu, lalu tidur dengan damai. Namun, kebahagiaan itu hanya berlangsung singkat. Pukul 02.14 dini hari. Dini terbangun karena merasa tubuhnya digoyang pelan. “Sayang...” bisik suara berat yang sangat dikenalnya. Matanya membuka perlahan. Dan di depannya—Ali duduk tegak dengan mata berbinar. “Eh? Abi??” Dini panik. “Kok… sudah bangun?” Ali tersenyum seperti tidak terjadi apa-apa. “Maaf ya, Abi tadi ketiduran. Sekarang malah seger banget.” Dini menelan ludah. “A-abiii... tapi ini udah tengah malam...” “Pas banget," jawab Ali. "Ini malam jumat. Waktu yang tepat buat kita berdua...” Dini mencoba bangkit. “Kayaknya… kaki aku kesemutan deh, Bi…” Ali meraih tangannya, lembut namun mantap. “Tenang. Biar Abi bantu...” Dan dimulailah malam yang panjang dan melelahkan. Ali, yang seharusnya tidur nyenyak hingga pagi, malah jadi lebih energik dari biasanya. Jamu gagal. Obat tidur pun ternyata tak berhasil. Pagi menjelang. Dini tergeletak di ujung ranjang dengan tubuh remuk redam. Ketika Salma mengetuk pintu dan bertanya, “Din, kamu masih hidup?” Dini hanya menjawab dengan suara lemah, “Aku... gak bisa gerak. Beneran. Tolongin aku ambilin kursi roda.” Ali keluar kamar sambil menggulung lengan baju. “Subuhnya enak banget tadi. Mau nyeduh teh gak?” Salma dan Intan hanya saling pandang, kemudian kompak menggelengkan kepalanya. --- "Kita harus cari solusi. Dia ... dia bukan manusia! Dia robot” Dini menyeletuk saat mereka sarapan bersama. Intan berdiri tegap. “Sudah saatnya, kita melaksanakan Rencana Cadangan." Salma mengangguk. “Plan D: cari istri keempat.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN