“Jam berapa ini?!” teriaknya, meloncat dari tempat tidur dan melihat jam dinding.
07:45.
Meeting-nya jam 08:00.
Dan jarak rumah ke kantor? Minimal 30 menit itupun jika Ali pakai helicopter.
Ali keluar kamar dengan langkah panjang dan aura suram.
“DINI! INTAN! SALMA!” teriaknya sambil jalan ke dapur.
Tiga istrinya yang sedang duduk santai sambil ngopi langsung berdiri seperti anak sekolahan yang berbaris mau masuk kelas.
“Iya, Bi!” sahut mereka serempak.
Ali menatap mereka satu-satu dengan pandangan menyala.
“Kenapa nggak ada yang bangunin aku?!”
Salma, istri pertama, angkat tangan, “Abi semalem minta ‘jangan diganggu’ kan…”
“ITU SEBELUM KITA MULAI!” Ali menjitak angin. “Aku bilang jangan diganggu waktu tidur, bukan ditinggal sampai molor!”
Dini, istri ketiga, nyengir, “Aku kira Abi libur hari ini, soalnya semalem semangat banget—”
“JANGAN BAWA-BAWA SEMALAM!!” bentak Ali, pipinya agak memerah.
Dini, istri kedua, ikut angkat tangan. “Tadi aku ke kamar Abi. Tapi waktu aku manggil, Abi ngoroknya-"
“JANGAN NGELES!” Ali hampir melempar sandalnya.
Mereka semua langsung merunduk.
Ali geram, tapi tak bisa marah terlalu lama. Soalnya... mereka semua kelihatan lucu kalau takut bareng-bareng.
Akhirnya dia cuma mendengus, “Lain kali, siapa pun jatah malam itu, wajib bangunin aku subuh-subuh. Kalau telat lagi, aku suruh kalian cari istri keempat!”
Mata ketiganya membelalak.
“NGGAK USAH DISURUH JUGA KAMI SUDAH BERNIAT MENCARINYA!!” protes mereka kompak. Sayangnya, itu hanya bisa mereka lakukan dalam hati.
Ali hanya melengos sambil meraih jas kerjanya dan menyambar roti tawar seadanya.
“Pagi-pagi gini harus udah drama... Astaghfirullah,” gerutunya sambil berlari keluar rumah.
Karena terburu-buru, Ali mengendarai mobilnya secepat kilat. Dia bahkan tak peduli jika saat itu, ada genangan air di pinggir jalan. Dan akhirnya ...
Byuuurrr!
Mobil Ali menerjang genangan aur itu tanpa memperlambat laju mobilnya hingga membuat basah baju putih hitam seorang gadis muda, bernama Amira.
Amira mengedip pelan. Lalu menatap ke bajunya. "Baju putih gue!!"
Pandangannya pun beralih ke arah mobil yang melesat pergi tanpa merasa bersalah sedikit pun.
"Hoi!! Berhenti lo!!" teriak Amira sekencang mungkin.
Tapi mobil itu tak menunjukkan tanda-tanda melambat.
Amira mendesis, “KAMPREEETTTTTTTTT! BERHENTI LOE!!”
Seketika, darah muda Amira mendidih. Matanya liar mencari alat untuk balas dendam.
Senyum licik terbit di bibirnya saat matanya menangkap batu kecil.
Tanpa pikir panjang, ia melemparnya sambil berteriak, “INI HADIAH DARI GUE!!”
PRAKK!!
Batu itu tepat mengenai kaca belakang mobil—dan membuatnya retak. Kaca belakang mobil retak. Mobil ngerem mendadak.
Di dalam mobil, Ali mengerem mendadak. Suara benturan kaca dan goyangan mobil membuat alisnya terangkat tajam.
"Apa barusan... dilempar batu?" gumamnya.
Dengan rahang mengeras dan urat leher mulai menegang, Ali memundurkan mobilnya, lalu menepi.
Pintu mobil terbuka.
Seorang pria keluar.
Ganteng. Rapi. Dingin.
Mereka saling tatap.
Dia melangkah keluar dengan gaya dinginnya yang khas, mata menatap tajam ke arah pelaku.
“Kamu yang melempar kaca mobil saya?” tanya Ali tegas, matanya menelisik.
Amira mendongak dengan tatapan garang. “IYA! Mau apa lo?! Mau marah, ayo! Mau minta ganti rugi? Harusnya gue yang minta ganti rugi! Loe udah buat baju putih gue basah. Dan juga membuat gue terlambat masuk ospek!”
Ali terdiam. Bukan karena marah. Tapi karena—astaga. Wajah Amira yang basah kuyup itu... justru terlihat seperti wanita anime. Yang sedang mempersiapkan diri melayaninya dengan baju cosplay.
Wajah gadis itu… bulat sempurna, alis tebal, mata berbinar, dan bibirnya yang... walau sedang misuh-misuh... tetap terlihat seksi dan menggoda.
Ali melongo sesaat. Lupa kalau kacanya retak. Lupa juga kalau dia harus meeting.
“A... aku...”
“AKU APA?” bentak Amira.
Ali menggaruk belakang leher. “A-aku minta maaf."
Amira melipat tangan di d**a. “Loe pikir dengan Loe meminta maaf, semua masalah akan selesai?! Lo tahu ini hari apa?! Hari OSPEK! Gue harus jalan jongkok kalo telat!”
Ali mendekat, melihat baju Amira yang penuh noda.
“Aduh... maaf ya, bajunya jadi kayak....”
Belum sempat Ali meneruskan kalimatnya, Amira sudah menyemprotnya“GAK USAH KOMEN!”
Ali nyengir. “Mau aku gantiin bajunya?”
“Heh! Dasar tua bangka m***m, Loe! Loe mau buka baju gue?! Awas, gue lempar batu lagi, Loe!”
Ali kaget. “Eh! Bukan gitu maksudnya!”
Amira mendelik. "Lalu, gimana solusi Loe?"
Ali tersenyum, untuk pertama kalinya sejak menikahi istri keduanya. “Namamu siapa?”
“Ngapain pake nanya nama, segala?! Lebih baik loe beliin gue baju baru, trus loe anter gue ke kampus! Dan loe wajib jelasin pada kating gue, kalau gue telat gara-gara loe!” Amira menunjuk wajah Ali.
Ali dengan tenang merogoh dompet, mengeluarkan blackcard miliknya, tapi Amira menepisnya.
“Bukan soal duit! Ini soal harga diri! Gue mau, loe nganter gue beli baju, trus nganterin gue ke kampus!”
Ali terdiam, masih menatap gadis itu dengan penuh ... hasrat.
Lelaki itu pun kemudian membuka pintu mobilnya. "Masuk! Kartu itu, loe gunain buat belanja baju loe!"
Dengan wajah bersungut kesal, Amira pun masuk ke dalam mobil Ali sambil melipat tangannya di d**a.
Ali pun melajukan mobilnya menuju ke butik langganannya. Sepanjang perjalanan, Ali sering mencuri pandang ke arah Amira, tetapi, wanita itu tak sadar. Karena dia selalu menatap ke luar jendela.
"Amira!“ panggil Ali untuk mencoba mendekatinya.
"Darimana loe tahu nama gue? Kan, gue belum bilang sama kamu!" Suara gadis itu terdengar ketus.
Ali pun menunjuk kertas nama yang ditempelkan Amira di belakang punggungnya membuat wanita itu mendengus kesal.
"Maaf!” ucapan Ali tak mendapat respon dari wanita yang sudah mencuri hatinya ini.
Dalam hati, ia bergumam, ini dia… gadis yang aku cari. Aku yakin, dari ketiga istriku, dia adalah wanita yang bisa menandingi kemampuanku...
Ali tersenyum tipis.
Dan dalam hati yang paling dalam, ia sudah membuat keputusan:
Gadis ini… harus jadi istriku.