Bab 3

1029 Kata
"Salma, Intan, Dini, duduk di hadapanku!" Ketiga istri Ali itu langsung merapat seperti detektif saat Ali menyodorkan sebuah foto gadis cantik dan imut yang sedang memakai seragam ospek. Salma menyipitkan mata, “Kayak pernah lihat muka ini deh…” Intan angkat alis, “Mahasiswi baru ya ini?” Dini menghela napas, “Cantik banget. Fix kita punya saingan berat.” Ali mengangkat tangan, tanda menyuruh semua istrinya diam. “Namanya Amira. Seorang mahasiswi. Tadi pagi tidak sengaja mobilku menginjak genangan air dan terkena bajunya. Dia marah dan melemparkan batu ke kaca mobilku. Tapi begitu aku lihat wajahnya... aku tahu. Dia adalah tulang rusukku yang keempat.” Raut wajah ketiga istrinya berubah seperti habis nonton sinetron dengan ending yang bikin marah dan kesal. “Kalian tahu tugas kalian,” lanjut Ali. “Besok, cari alamatnya. Dan siapkan seserahan. Kita lamar dia sebelum pria lain mendahuluiku!" “Abi...” Salma bersuara, “Emang nggak bisa, ya... kita tuh hidup bertiga aja. Kalau soal melayani Abi, kita bisa melakukannya secara bersama. Jadi, jika aku sudah tak mampu lagi, Intan dan Dini bisa melanjutkannya” Ali menatap tajam ketiga istrinya. “Apa kalian tidak pernah belajar agama? Meskipun agama tidak melarangnya, tapi, jika salah satu istri memiliki rasa sakit hati saat melihat suaminya bersama istri yang lain, maka haram hukumnya! Aku nggak mau tahu, pokoknya, kalian mesti bantu aku!” Intan memutar mata. “Alesan, bilang aja pengen nambah istri.” Tapi mereka semua tahu, kalau Ali sudah bilang begitu, artinya tak ada yang boleh . Salma mengangguk pelan. “Baiklah. Nanti biar Dini yang mencari tahu semua tentang dia." Dini pun membuka laptopnya lalu mengetik dengan cepat. "Gotcha!" Sontak semua mengarah padanya. "Gimana?" tanya Ali tak sabar. "Namanya Amira nur Rahma. Mbak Salma, ibunya Amira itu bekerja di restoranmu. Dia chef andalanmu!" ucap Dini tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop. "Wow! Semua serba kebetulan! Dia mahasiswimu, Mbak Intan! Kuliah jurusan ekonomi bisnis." Salma menganggukkan kepalanya. "Pantas saja, wajahnya familiar." Sementara Intan yang memang belum pernah bertemu hanya bisa mengangguk-angguk saja. Ali tersenyum bangga. “Luar biasa. Kalian memang istri-istriku yang bisa diandalkan!” “Tapi ...." Sontak Ali menolah, "Tapi kenapa?' "Ayahnya pengangguran, mantan tukang las, sekarang hobi main kartu dan mabuk tiap malam. Rumahnya ada di Jalan Mawar Berduri No. 13.” Ketiganya melongo. Ali berdehem. “Bukan masalah. Aku tidak menikahi keluarganya. Kita ambil bunganya, biarkan durinya tersisa di pot.” Salma mengernyitkan dahinya. "Sejak kapan suaminya menjadi puitis begini? Apa dia sedang puber kedua?" Ali meletakkan map berisi foto Amira di meja. “Besok pagi kalian bergerak. Salma, dekati ibunya. Intan, kumpulkan data kampusnya. Dini, kamu siapkan latar belakang buat menyenangkan calon mertua.” Dini nyengir, “Maksud Abi... ngedit latar belakang Abi jadi anak jenderal?” “Bukan, ngedit saldo rekening Abi, biar kelihatan sultan,” jawab Ali santai. Tiga istrinya tertawa tapi terlihat sekali jika dipaksakan. Malam itu, ketiganya pun masuk kamar masing-masing dengan kepala pening. Sementara Ali? Jangan tanya, lelaki itu justru tidur di kamarnya sambil senyum-senyum sendiri. “Amira... kamu adalah jodohku. Apapun yang terjadi, aku harus mendapatkanmu.” --- Pagi itu, rumah sederhana keluarga Amira kedatangan tiga wanita cantik berpakaian anggun. Mereka membawa seserahan lengkap. Warga sekitar bisik-bisik, menyangka rumah yang biasa sepi itu kedatangan tamu penting. Bahkan Pak RT sampai ikut keluar pagar karena penasaran. Salma berdiri di depan pintu dengan senyum manis. Kebaya hijaunya tampak serasi dengan Intan di sebelahnya yang membawa tumpeng mini, dan Dini si paling nyentrik, dengan rok plisket, sweater longgar, dan kacamata hitam, menenteng koper seserahan. Ibunda Amira membuka pintu dengan kaget. “Eh... Bu Salma? Ada apa ini? Kok rame-rame? Apa ada hal yang penting?" Salma tersenyum sopan. “Kami ada niat baik, Bu. Kami ingin melamar ....? Ibu Amira yang bernama Ratih itu pun mengerutkan dahinya. "Melamar? Melamar siapa ya, Bu?' "Putri Ibu, Amira.” Intan menjawabnya dengan cepat. “Melamar... Amira?” sang ibu mengerutkan dahi. “Melamar... maksudnya?” “Untuk menjadi istri keempat Abi kami,” jawab Intan lembut. Belum sempat ibunya memproses ucapan majikannya itu, tiba-tiba suara bentakan dari dalam rumah menggelegar. “APA?! Lamaran?! Siapa yang mau dilamar?!” Amira muncul dengan rambut dikuncir asal-asalan, memakai celana training dan kaus oversize. Ekspresinya galak, matanya menatap ketiga wanita itu dengan curiga. “Sayang, ini tamu. Sopan sedikit—” gumam sang ibu. Amira menyipitkan mata. “Kalian siapa? Kenapa mau ngelamar aku? Siapa yang menyuruh kalian?” Salma melangkah maju. “Untuk suami kami. Namanya Ali. Dia seorang pengusaha yang tampan, dia juga alim dan baik.” “SUAMI kalian? KALIAN? Apakah suami kalian itu pria c***l yang suka mengoleksi banyak istri? Atau, dia lelaki yang kayak di sinetron viral itu, yang pengen punya istri banyak dengan kedok agama...?” Amira menunjuk wajah Salma penuh emosi. Intan buru-buru menimpali. “Bukan, bukan! Abi kami bukan lelaki seperti itu... cuma, ya itu, dia memang punya kebutuhan... eh... ekstra. Tapi dia sangat baik dan bertanggung jawab!” “Ekstra? Apanya yang ekstra?” Amira mencibir. “Masa sudah punya tiga istri masih nggak cukup?” Salma mencoba tersenyum sabar. “Kami mengerti kedatangan kami ini mendadak. Tapi kami hanya menyampaikan niat baik. Amira bisa kenalan dulu... lihat-lihat dulu. Nggak harus buru-buru menikah, kok.” Amira geleng-geleng kepala. “Kenal dulu? Maaf banget, saya bukan tipe cewek yang minat dijadikan istri kedua apalagi keempat. Saya masih kuliah, masih mau ospek, belum mau urusan poligami-poligamian.” Dini mengangguk pelan. “Oke. Kami paham. Tapi kalau berubah pikiran—” “Enggak akan!” potong Amira cepat. “Lagipula, saya sudah trauma lihat lelaki yang istrinya banyak. Bibi saya istri kedua, tapi hidupnya tidak bahagia. Tiap hari dia mengusap d**a karena selalu ditindas oleh istri pertama suaminya." Ketiganya saling pandang. Merasa akan sulit memenuhi keinginan suaminya. "Baiklah Amira, Bu Retno. Seserahan ini kami taruh disini. Coba ibu dan Amira pikir-pikir kembali. Paling tidak, Ibu dan Amira bertemu dulu, jika memang Amira dan Ibu tidak berkenan, boleh menolaknya," Salma mencoba membujuk Amira kembali. Amira pun mengambil koper berisi baju dan juga tas mahal itu ke hadapan Salma. "Maaf, Bu. Tidak perlu bertemu, saya sudah memikirkan. Maaf, saya menolak lamaran ini!" Dini pun merogoh kantongnya kemudian mengambil ponselnya. "Misi gagal!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN