"Gimana ini, Mbak? Abi marah nggak, ya?" ujar Dini pada kedua kakak madunya.
Mereka keluar dari rumah Amira dengan langkah gontai. Wajah mereka memerah, bukan karena malu, tapi karena takut diceraikan oleh Ali karena gagal menjalankan misinya. Barang-barang seserahan mulai dari perhiasan, pakaian dan tas mewah, dan juga beberapa perlengkapan mandi.
“Kita udah kayak nggak dapat golden tiket di indonesian dodol tau nggak,” gumam Intan sambil menenteng tumpeng mini.
“Aku nggak nyangka, cewek sekecil itu bisa segalak juga,” Dini mengeluh sambil merapikan kerudungnya.
“Ya, wajar aja. Dia kan belum tahu siapa Abi sebenarnya. Kalau udah lihat tenaganya... eh, maksudnya... kebaikannya, pasti dia luluh,” bela Salma.
Sesampainya di rumah, Ali sudah menunggu mereka di ruang tengah dengan wajah cemas, duduk, berdiri, lalu duduk lagi.
“Gimana hasilnya?” tanyanya tajam.
Salma langsung menjawab, “Gagal, Bi. Ditolak mentah-mentah.”
“Katanya Abi itu... semacam... lelaki tua doyan daun muda,” timpal Dini sambil menahan tawa geli yang hampir keluar.
Ali melotot. “Apa?!”
“Tenang, Bi, tenang...” Intan menenangkan. “Masih ada cara lain. Kita pikirkan bersama-sama.”
Ali berdiri, berjalan mondar-mandir. “Kalian tiga istri terbaikku. Otak kalian harusnya cemerlang. Lalu, bagaimana caranya supaya Amira mau menerima lamaran Abi?”
Ketiganya saling pandang. Sunyi sejenak.
Lalu—jetak!—Dini menjentikkan jarinya dengan semangat. “Abi, aku ada ide! Gini, bapaknya Amira itu kan doyan judi dan mabuk-mabukan. Abi buat aja dia kalah terus waktu main judi... tapi jangan pakai nama asli, pakai samaran. Nah, nanti pas dia sudah kalah banyak dan nggak bisa bayar utangnya, Abi tinggal kasih satu opsi: bayar dengan anak gadisnya!”
Salma langsung terbelalak. “Hah? Dini! Itu ide gila!”
Tapi Ali justru tersenyum lebar. Dia berdiri dan langsung mengecup kening Dini. “Ide kamu memang tokcer! Nggak sia-sia aku punya istri kamu!”
Dini langsung tersipu malu. “Aduh, Abii... bisa aja...”
Salma menghela napas. “Tapi cara ini rada licik ya, Bi.”
Ali menjawab tenang, “Yang penting sah di mata hukum, Salma. Kalau bapaknya menyerahkan dengan sukarela karena utang, itu bukan paksaan.”
Intan masih ragu. “Tapi... Amira sendiri mau nggak?”
Ali tersenyum tipis, penuh percaya diri. “Itu urusan nanti. Pas malam pertama, percaya deh... begitu dia lihat aku—dan ngerasain... aku—dia bakal bersyukur tiap hari jadi istriku.”
Ketiganya hanya bisa menutup wajah masing-masing dengan pasrah.
---
Seminggu kemudian.
Brak
Suara pintu dibanting terdengar menggelegar, membuat Retno yang sedang menanak nasi di dapur langsung tersentak. Aroma alkohol menyusup ke dalam rumah sebelum tubuh besar Jono menerobos masuk dengan langkah sempoyongan.
“RETNO!! BERI AKU UANG!!” teriaknya, suaranya keras dan serak seperti amplifier rusak.
Retno buru-buru keluar dari dapur. “Mas, uang yang mana? Kan bulan ini udah Mas habiskan buat judi kemarin.”
Jono menggeram, mencengkeram kerah baju istrinya. “MANA UANG BUAT BEROBAT DONI? CEPAT BERIKAN! KAU INI ISTRI MACAM APA? TAK MAU MEMBERIKAN SUAMI UANG!”
“Mas, seharusnya, suami yang memberi uang, bukan sebaliknya. Uang hasil saya bekerja saja nggak cukup buat belanja! Doni juga butuh buat beli obatnya minggu ini…” suara Retno gemetar, mencoba membujuk.
Tapi Jono tak peduli. “KE DOKTER DONI KAN MINGGU DEPAN?! LEBIH BAIK, UANGNYA BUAT AKU DULU, KALAU MENANG, AKU AKAN KEMBALIKAN BERLIPAT-LIPAT!”
BRAK!
Lemari kecil di ruang tamu dijatuhkan Jono. Gelas dan vas bunga pecah berhamburan di lantai. Retno hanya bisa memeluk tubuhnya sendiri, menangis diam-diam.
Amira, yang sedari tadi sembunyi di balik pintu kamarnya, langsung berlari saat melihat ayahnya mengangkat tangan untuk memukul ibunya.
“STOP, AYAH!! Jangan pukul Ibu!” Amira mendorong tubuh ayahnya dengan sekuat tenaga.
“Jangan ikut campur, anak sialan!” bentak Jono, sambil mendorong Amira hingga wanita itu terjatuh.
Saat melihat tubuh molek putrinya, terlintas ide gila di kepalanya. Lelaki itu kemudian menarik tangan Amira dan menyeretnya keluar. "BERIKAN UANGNYA, ATAU AKU AKAN MEMBAWA AMIRA! DAN AKU JUAL DIA PADA LELAKI HIDUNG BELANG!"
"Tidak! Jangan lakukan itu, Mas!" Retno langsung berdiri tegak, matanya berair namun tajam. Ia lalu masuk ke kamarnya, mengambil amplop dari dalam lemarinya.
Ia kembali ke ruang tamu dan menyerahkan amplop itu ke tangan suaminya. “Ini. Uang pengobatan Doni. Ambil aja. Tapi jangan bawa Amira.”
Jono merebut amplop itu, lalu membuka isinya. Matanya menyala melihat lembaran-lembaran seratus ribuan. “Nah, gini dong! Jangan jadi istri durhaka karena melawan suami!”
“Masya Allah…” Retno menutup wajahnya, menahan tangis.
Tanpa rasa bersalah, Jono pun keluar lagi dari rumah. Langkahnya masih sempoyongan, namun kali ini cepat, seperti tak sabar menghamburkan uang itu lagi.
Begitu pintu rumah tertutup, Retno memeluk Amira. “Nak... maafkan Ibu ya. Ibu nggak bisa lindungi kamu…”
Amira menggeleng, tersenyum kecil meski air mata terus mengalir di pipinya. “Nggak apa-apa, Bu. Aku nggak mau Ayah mukul Ibu lagi. Lagian... nanti aku bisa kerja part time buat ganti uang pengobatan Doni.”
Retno terisak. “Kamu terlalu baik, Mir... Ibu sedih lihat kamu kayak gini…”
Amira memandang lantai yang penuh pecahan kaca, lalu menatap ibunya lagi. “Tenang, Bu. Kita pasti bisa keluar dari semua ini. Aku janji.”
---
Malam itu angin terasa menusuk. Jono berjalan terseok di trotoar, wajahnya kusut, baju acak-acakan, dan mata merah karena tidak tidur semalaman. Kekalahan besar di meja judi seminggu lalu masih menghantui pikirannya. Uang pinjaman dari "Bos Ali" telah habis, dan sekarang, dia dilarang main sebelum membayar.
“Anjing! Sekali menang, langsung apes seminggu!” gerutunya sambil menyulut rokok terakhir dari bungkus yang hampir kosong.
Belum sempat sampai di ujung gang rumahnya, tiga pria berbadan kekar menghadangnya.
“Eh, eh, Pak Jono... mau ke mana?” salah satu dari mereka, pria berkepala plontos dengan tatapan tajam, menahan langkahnya.
Jono tersentak. “A-aku cuma mau pulang, Bro…”
“Udah seminggu, Bos nunggu. Katanya mau bayar? Mana? Udah seminggu malah ngilang-ngilang?”
“Sabar… sabar dulu,” Jono mencoba tertawa kecil. “Aku juga lagi nyari duit. Bentar lagi juga dapet.”
Plak!
Sebuah bogem mentah mendarat di pipi Jono. “Nggak usah banyak alasan. Mau lunasin sekarang, atau tulang-tulang lo retak?!”
Jono jatuh terduduk. “A-aku... aku nggak punya uang lagi. Sumpah! Tapi... tapi aku punya jaminan!”
Ketiga preman itu terdiam. Yang bertubuh tinggi dengan jaket kulit menyeringai. “Apa jaminannya? Rumah kamu yang reot itu?"
Jono menggelengkan kepalanya. "Bukan, bukan rumah! Tetapi-"