Bab 5

1011 Kata
Ketiga preman itu tersenyum menyeringai. Sepertinya, umpan yang mereka termakan oleh ikan. "Apa yang loe jaminkan?" "Aku punya anak gadis, kalau kalian jual, pasti laku mahal, apalagi dua masih perawan," lirih Jono hampir tak terdengar. "Putri lo? Maksud lo, lo jual anak lo ke Bos?” “Y-ya! Dia cantik! Pintar! Mahasiswi! Pasti cocok buat Bos!” Jono berkata tergesa, berharap mereka berhenti memukulinya. Lelaki berkepala plontos itu tertawa sinis. “Wih, orang tua zaman sekarang makin kreatif ya. Anak dijadiin jaminan.” “Aku kasih alamatnya... dia ada di rumah. Kalian boleh menjemputnya. Asal... asal jangan pukuli aku lagi,” Jono mengusap darah di sudut bibirnya. “Baiklah, kita sampaikan,” ujar yang berbadan tinggi sambil meraih kerah Jono. “Tapi ingat, kalo bohong... gue pastikan, tangan lo nggak bakal bisa megang kartu lagi!” Mereka pergi meninggalkannya di pinggir jalan, memegangi perutnya yang masih sakit akibat tendangan tadi. Jono tertawa pahit sendiri. “Maaf, Mir... tapi Ayah juga ingin selamat.” Sementara itu, di rumah, Amira sedang belajar sambil menempelkan koyo di pundak ibunya yang masih memar sejak kejadian minggu lalu. Ia tak tahu bahwa hidupnya akan kembali jungkir balik karena dosa lelaki yang seharusnya melindunginya. --- “Lepasin! Aku bilang, LEPASIN GUE!” Amira menendang dan menjerit sekuat tenaga. Ia berontak dan menggigit tangan preman yang berusaha membawanya. Mendengar suara gaduh di depan rumah membuat Bu Retno yang saat itu sedang menjemur baju menoleh cepat. Matanya terbelalak saat melihat dua pria kekar menyeret Amira yang berteriak histeris ke dalam mobil hitam. “AMIRA!!” Dengan spontan, Retno berlari menerobos pagar rumah yang terbuka, kain jemuran yang masih tergenggam terjatuh di tanah. “LEPASKAN ANAK SAYA!!” Amira meronta, berteriak memanggil ibunya. “Ibu! Tolong! IBUU!!!” Retno hampir saja mencapai ujung jalan ketika mobil hitam itu mulai melaju. Tapi belum sempat kakinya bergerak lebih jauh, suara lain menghentikan langkahnya. “Ibu!! Ibu... tolong!!” Retno membalikkan badan. Di ambang pintu rumahnya, berdiri adik Amira yang baru berumur lima tahun, Doni, menangis sejadi-jadinya sambil menggenggam lututnya yang berdarah karena terjatuh. “Ibu... kaki Doni sakit... jangan tinggalkan Doni, Bu…” Langkah Retno terhenti. Matanya menatap mobil yang kini menghilang di tikungan, lalu kembali pada anak laki-lakinya yang meringis kesakitan. Dengan hati tercabik, Retno memilih kembali. Ia berjongkok dan mengusap air mata Doni. “Ssstt... nggak papa sayang, sini Ibu obati dulu...” Tangis Retno pecah. “Ampuni Ibu, Mira… Ibu gagal jaga kamu…” --- Sementara itu, di dalam mobil yang melaju kencang, dua preman yang menggenggam kedua lengan Amira mulai kewalahan. Satu orang lagi datang dari belakang, memegangi kepalanya, lalu menyekap hidung dan mulutnya dengan kain putih yang sudah dibasahi cairan bius. “Mmhh…!!” Amira masih berusaha melawan, tapi tubuhnya mulai melemas. Pandangannya kabur. Dunia terasa berputar cepat. Tak lama kemudian, tubuh mungil itu terkulai tak sadarkan diri. Amira sudah terkulai di jok belakang. Bius yang diberikan preman-preman itu mulai bekerja. “Akhirnya kamu tumbang juga! Heran, apa yang dilihat dari kamu? Kenapa Bos bisa sebegitunya menginginkan kamu." Salah satu dari mereka yang duduk di depan menelpon seseorang. “Bos, barang udah diangkut. Tinggal kirim ke hotel. Semua aman.” Di seberang telepon, suara Ali terdengar datar tapi puas. “Bagus. Pastikan dia diperlakukan baik. Jangan sampai ada luka di tubuhnya.” “Siap, Bos.” --- Di rumah, Retno masih menggigil. Ia duduk di tepi ranjang sambil memeluk Doni yang sudah tertidur setelah diobati. Wajah Retno penuh kecemasan. “Siapa mereka? Kenapa mereka bawa Mira? Apa ini ulah Jono lagi? Ya Allah, selamatkan anakku...” --- Di tempat lain, suasana sebuah ruang tamu rumah sederhana tampak tegang. Ali duduk berhadapan dengan Jono, yang memakai sarung dan kaus oblong. Tangan mereka bertaut. “Saya nikahkan anak saya, Amira Auliyabinti Jono, dengan engkau, Ali bin Jaffar, dengan maskawin seperangkat alat salat dan uang tunai seratus juta rupiah, tunai!” Ali menjawab mantap, “Saya terima nikahnya Amira binti Jono dengan maskawin tersebut, tunai!” “SAH!” terdengar suara para saksi di belakang. Jono langsung menyambar amplop tebal dari meja. Matanya berbinar. “Terima kasih, Bos. Eh, Abi. Eh... mantu! Hahaha! Gak nyangka gue punya mantu kaya!” Ali hanya tersenyum tipis sambil menepuk bahu Jono. “Terima kasih sudah memudahkan urusan saya, Pak Jono. Mulai malam ini, Amira resmi menjadi istri saya.” Ali berdiri, mengenakan jas hitam dan menyesuaikan jam tangannya. Ia melirik ke arah asistennya yang sudah siap di ambang pintu. “Kita ke hotel sekarang. Pastikan semuanya aman.” “As you wish, Boss,” jawab asistennya. --- Di kamar hotel, Amira mulai membuka mata. Pandangannya masih buram. Ia mendengar suara pintu dibuka perlahan. Ali masuk, tubuh tegapnya disinari lampu hangat ruangan. Ia menatap gadis itu yang kini telah berganti baju tidur sutra putih. Gadis itu tampak seperti boneka porselen, cantik dan menggemaskan. “Selamat malam, istriku,” gumam Ali pelan, berjalan mendekat. Amira mengernyit. “Kau? Kau siapa... kenapa aku bisa ada di sini? Jangan bilang kalau preman itu adalah anak buahmu!” Ali duduk di tepi ranjang, menatap wajah polos itu. “Namaku Ali. Beberapa minggu yang lalu, tiga istriku sudah melamarmu. Dan kamu menolaknya. Tapi ... sejak satu jam yang lalu, kamu adalah istriku yang sah.” Amira membelalak. “APA?! JADI, KAU SUDAH BERISTRI TIGA? DAN SEKARANG, KAU MENJADIKANKU YANG KEEMPAT? KAU GILA?!” “Tenang.” Ali menenangkan. “Kita sudah sah secara agama. Ayahmu yang menyerahkanmu padaku. Aku tidak akan menyentuhmu tanpa izinmu.” Air mata Amira menetes. “Aku gak mau! Ini gila! Aku bukan barang yang bisa dijual! Pasti kamu yang merencanakan semua ini! Kamu yang menjerat ayahku supaya dia menjualku padamu!” Ali menatapnya dalam-dalam. Senyum kecil terbit di bibirnya. Ternyata, istrinya yang keempat ini pintar juga. Namun, saat melihat wajah sendu sang istri, ada rasa bersalah di mata lelaki dingin itu. Tapi dia tak mengucapkan maaf. Yang ada, dia menyodorkan sebuah kontrak. “Baca ini. Kalau kamu benar-benar ingin lepas dariku, kamu bebas... setelah kamu melunasi hutang ayahmu.” Amira menatap kontrak itu dengan tangan gemetar. Di bawah sana tertulis: Total hutang: Rp. 800.000.000.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN