Bab 6

829 Kata
Amira menatap tajam pria yang kini resmi menjadi suaminya. "Pokoknya, kamu nggak boleh tidur di kasur, tidur di sofa, atau tidur di luar!" hardiknya sambil menyilangkan tangan di d**a. Ali mengerjapkan matanya. “Kalau tidur di sofa mana muat? Kaki suamimu ini kan panjang, bisa-bisa nanti aku nggak bisa bangun karena sakit pinggang!” “Bagus, jadi kamu kapok! Tidur di lantai aja sana sekalian!” sahut Amira ketus, lalu membalikkan badan dan naik ke tempat tidur sambil membentang selimutnya. Ali menghela napas panjang dan menatap bantal sambil tersenyum geli. “Istriku ini galaknya kayak singa, tapi cakepnya kayak kucing Persia.” Ia mengambil bantal dan selimut, lalu merebahkan diri di sofa mungil yang bahkan tidak cukup panjang untuk separuh tubuhnya. “Ngenes banget jadi pengantin baru,” gumam Ali sambil mencoba menyelipkan kakinya ke dalam lengan kursi. Amira melirik dari balik selimut, menahan tawa saat melihat tubuh besar Ali meringkuk seperti udang rebus. Tapi gengsi! Dia tidak boleh luluh! Tiba-tiba terdengar suara krak dari sofa. Ali melompat panik. “Waduh! Ini sofa ngambek kali ya? Aku baru gerak dikit, langsung bunyi!” Amira tetap diam, tapi bahunya bergetar menahan tawa. Dalam hati, ia geli sendiri. “Syukurin itu azab buat lelaki yang doyan kawin.” Ali berdiri dan meregangkan punggungnya. “Oke, aku nyerah. Tidur di sofa memang bukan ide bagus. Aku tidur di karpet aja ya, paling nggak, kaki aku bisa selonjoran.” Amira berpaling. “Terserah! Tapi jangan sampai nyentuh kasur ini! Sekali kamu naik ke atas sini, aku gigit kamu!” Ali tertawa renyah. “Wah, kalau digigit istri sendiri sih... aku rela. Nih, kamu mau bagian mana, leher, d**a, tangan, atau ... jangan-jangan, yang itu aset kebanggan, nggak boleh digigit.” Ali membayangkan Amira menggigit rudal tempurnya. Wajah Amira memerah. “Najiis!” Ali mengambil selimut dan membentangkannya di lantai. “Malam pertama tidur di lantai beralaskan tikar bulu... sungguh romantis,” katanya dengan gaya sok puitis. Amira tersenyum melihat kekocakan suami barunya ini. “Ya Allah, ternyata suami aku ini lucu juga,” gumam Amira lirih hampir tak terdengar. Akan tetapi, Ali yang memiliki daya dengar yang super langsung menoleh cepat. “Tuh kan, mulai jatuh cinta, ya?” Amira melempar bantal ke arahnya. “Mimpi!” Ali menangkap bantal itu, lalu tersenyum manis. “Mimpi itu doa, Sayang. Siapa tahu besok pagi kamu bangun dan jatuh cinta sama suamimu yang tampan ini.” “Huh! Suami tua yang banyak istri!” “Tapi cuma satu yang paling cantik dan bikin deg-degan,” sahut Ali sambil menunjuk Amira. Amira menggigit bibir, wajahnya merah padam. Sebelum Ali melihatnya, Amira segera mematikan lampu dan menarik selimutnya. --- “Hh-hh... dingin amat sih?” gumamnya sambil merapatkan selimut ke leher. Entah mengapa, malam ini, udara di kamar ini begitu dingin. Meski Amira sudah menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, tubuhnya masih menggigil kedinginan. Amira membuka mata, menatap ke bawah. “Perasaan tadi nggak sedingin ini deh...” Ia duduk dan menatap suhu di display AC digital yang menempel di dinding. “18 derajat?! Gila, siapa yang nurunin?!” gerutunya. Ia meraba sisi tempat tidur, mencari-cari remote AC. Nihil. “Mana sih remotnya? Tadi kayaknya taruh di meja...” Ia bangkit dan meraba-raba di sekeliling tempat tidur, lalu mengintip ke bawah. Matanya langsung melotot ke arah lelaki yang tertidur pulas di bawah sana—dengan selimut tebal menggulung tubuhnya. “Pantes dia enak banget tidur. Licik!” desis Amira. Ia pun turun dari tempat tidur dan mencoba menarik ujung selimut yang menjuntai. Tapi selimut itu seperti menempel di lantai. “Yah, ini pasti ketindih badannya?” Amira menarik pelan-pelan. Tak bergerak. Ia coba lebih keras. Masih gagal. “Padahal, tubuhnya tidak gemuk, tapi kenapa berat sekali? Makan apa sih, dia?! Batu?” gumam Amira jengkel. Ali mendengus pelan dalam tidurnya, lalu memeluk selimutnya lebih erat, seperti tahu sedang dicoba direbut. Amira menghela napas panjang, memelototi sosok suaminya yang masih tidur nyenyak seakan tak terjadi apapun. “Bodo amat lah, daripada beku menjadi es.” Dengan pasrah, Amira mengambil bantal kecil dan perlahan-lahan membaringkan dirinya di sebelah Ali, sedikit menjauh agar tidak terlalu dekat tapi cukup untuk mendapat hawa hangat dari selimut tebal yang menyisakan sedikit ruang. “Ini sementara aja. Nanti kalau udah hangat, aku balik ke kasur,” bisiknya membela diri sendiri. Tapi beberapa detik kemudian... “Hmm...” Ali bergumam pelan, lalu tanpa sadar bergerak dan menyampirkan lengan ke tubuh Amira. “Hyaaa!” Amira terkejut. “Hei! Hei! Ini kenapa peluk-peluk?!” Masih setengah tidur, Ali tersenyum dengan mata tertutup. Lelaki itu sengaja menyusupkan kepalanya di d**a Amira. “Gulingnya empuk... hm... wangi lagi...” “Apaan sih!” Amira mencoba melepas pelukan itu, tapi gagal. Lengan Ali besar dan berat, seperti balok kayu. Amira menggerutu kesal, tapi pipinya mulai memerah. “Ya ampun... dia tidur aja masih mesum... dasar, lelaki buaya!” Akhirnya, Amira berhenti melawan. Ia membiarkan Ali memeluknya, walau masih dengan cemberut. “Besok pagi, kamu pasti kena semprot... tapi... hangat juga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN