Aku sadar kalau kelakuanku tadi sudah keterlaluan. Selama ini Dean sudah terlalu baik padaku dan sabar menghadapi egoku yang setinggi langit.
Aku mengintip setelah membuka pintu kamar sedikit, tapi aku tidak menemukan Dean. Jadi aku memutuskan keluar kamar dan memanggilnya tapi tidak ada sahutan. Jangan bilang Dean marah?
Aku menghela napas dan berjalan ke dapur, aku harus meneguk segelas air dingin untuk menjernihkan pikiran. Tatapanku terpaku pada sticky notes yang tersemat di pintu lemari es.
Aku pergi ke The Crown, kalau sudah tidak marah telpon aku.
-Yours.
Dean memang pergi ke The Crown setiap akhir pekan. Suamiku itu punya ruangan kantor di sana untuk mengurus berbagai urusan administrasi The Crown. Tapi kalau sedang sangat ramai, biasanya Dean akan keluar dari kantornya untuk membantu para pekerja. Setelah menikah denganku, Dean hanya pergi Jumat malam dan Sabtu. Bahkan kadang Dean tidak pergi ke sana sama sekali dan memantau lewat ipadnya. Jadi kalau hari ini Dean pergi ke sana hanya ada dua kemungkinan.
1. Dean ingin menghindariku karena dia juga marah.
2. Dean ingin memberikanku waktu untuk memadamkan emosiku.
Aku ingin minta maaf pada Dean, tapi aku tidak ingin lewat telpon dan memilih menghampirinya secara langsung. Jadi aku memutuskan akan pergi ke The Crown nanti malam untuk menemui Dean. Tapi sebelumnya aku ingin pergi jalan-jalan sendirian. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri.
***
Aku sedang duduk santai di salah satu coffee shop tidak jauh dari Central Park ketika seseorang tidak diundang menarik kursi kosong di hadapanku dan meletakkan kopinya yang masih mengepul di meja. "Long time no see, Bee!"
Aku terbatuk saat sedang menyeruput minumanku ketika menyadari siapa orang kurang ajar itu. Satu-satunya yang memanggilku 'Bee'. That asshole, Evan.
"What do you want?" tanyaku tanpa sama sekali berusaha ramah. Orang-orang yang melihat pasti mengira aku wanita yang kasar tapi aku tidak peduli.
"Come on, Bee, jangan galak begitu. Aku hanya ingin mengobrol." Evan menopang dagu sambil menatapku.
Evan masih tampan seperti dulu, tapi kini rahangnya semakin terlihat tegas seiring pertambahan usia. Ditambah dengan janggut halus membuat siapapun akan melirik dua kali untuk melihatnya. Setidaknya sampai mereka tahu kalau Evan adalah laki-laki b******k tidak setia dan menyebalkan.
"Tidak ada yang ingin kubahas, jadi sebaiknya kau pergi dari hadapanku." Aku tidak ingin memberikan kesempatan pada Evan menggangguku.
Aku sudah puas membuatnya pucat di hari pertunangannya setelah menggandeng Dean dengan sebuah cincin berlian mahal di jariku. Aku juga sudah sangat puas membuatnya terlihat masam dan jengkel selama pesta pernikahanku jadi sekarang urusanku dan Evan sudah selesai sepenuhnya. Dendamku padanya sudah terbalas dan aku tidak ingin lagi berurusan dengannya. Aku ingin hidup bahagia bersama Dean tanpa bayang-bayang Evan.
"Ayolah Bee, aku tidak pernah melihatmu di Life Care, susah untukku bisa bicara denganmu jadi ini kesempatan bagus."
"Kalau kau tidak mau pergi maka aku yang akan pergi." Aku sudah siap berdiri ketika Evan mencekal tanganku dan memaksaku duduk kembali. Aku melotot kepadanya tapi masih menahan diri untuk tidak berteriak karena aku sadar kami di tempat umum. "Lepas, Evan!"
"No. Sampai kau dengar dulu apa yang ingin ku katakan. Setelah itu aku tidak akan mengganggu lagi."
Aku terpaksa kembali duduk, "Lima menit!" kataku ketus. Tapi sejujurnya dalam hati kecilku ada harapan. Harapan bahwa Evan akan minta maaf dan menyesal telah meninggalkanku begitu saja. Ada harapan bahwa saat itu aku tidak ditinggalkan karena dia merasa aku adalah sampah tidak berguna dan tujuh tahun yang kami habiskan bersama betul-betul karena kami saling suka.
"Aku ingin kita kembali bersama, Bee."
Aku menatap ke arahnya seolah dia baru saja bicara dengan bahasa alien. Apa yang baru saja dia katakan, hah?
"Aku tahu ini gila, tapi ketika kita bertemu lagi hari itu di Life Care, aku tidak bisa melupakanmu. Aku rindu padamu, Bee."
Aku tidak bisa menahan tawaku kali ini. Evan betul-betul sudah gila. "Rindu katamu? Kau bahkan tidak pernah berusaha mencari dan minta maaf padaku dan kau berani berkata rindu?"
"Aku mengajakmu kembali bersama untuk minta maaf, Bee, untuk memperbaiki semuanya."
"Tidak ada yang bisa diperbaiki, Evan. Aku memang rusak saat kau memilih pergi. Tapi aku sudah mengganti diriku dengan yang baru jadi kau tidak perlu repot-repot lagi."
"Aku masih mencintaimu, Bethany!"
"Lalu bagaimana dengan Vivian? Memang kau rela meninggalkannya untukku? Dan memang kau pikir aku mau meninggalkan Dean untukmu?"
"Bee, kita tidak perlu meninggalkan siapa-siapa. Kau bisa tetap menjadi Mrs. William dan aku akan tetap menikahi Vivian. Kita bisa--"
Kata-kata Evan terputus karena aku menumpahkan minumanku ke wajahnya. Evan harus bersyukur aku memesan minuman dingin hari itu kalau tidak wajahnya sudah melepuh. "Dasar sampah." Setelah mengatakan hal yang sejak dulu ingin ku sampaikan padanya, aku berdiri dan meninggalkan Evan dengan wajahnya yang lengket terkena minuman. Seharusnya aku menampar wajahnya bolak-balik lebih dulu.
***
Aku datang ke The Crown dan memilih duduk di salah satu kursi bar. Bartender di sana sudah mengenaliku sebagai istri Dean karena mereka turut hadir saat acara pernikahan kami.
"Mr. William sedang ada pertemuan dengan tim finance." Aku mengangguk saat Eric, salah satu bartender The Crown memberi tahuku sambil menyodorkan majito pesananku.
Itu sebabnya Dean berangkat ke The Crown sejak pagi. Ternyata sedang masuk musim penghitungan. Jika di hari biasa, Dean baru berangkat ke The Crown setelah makan malam.
Aku memilih menikmati alunan musik dan minumanku sambil menunggu Dean. Sebetulnya aku bisa saja menunggu di ruang kerja Dean karena saat ini Dean ada di ruang pertemuan. Bukan karena The Crown hanya sebuah kelab malam, mereka punya kantor yang cukup layak untuk menunjang segala aktifitas administrasi dan managementnya.
Pertemuanku dengan Evan membuatku tidak sadar kalau aku sudah menghabiskan gelas minuman ketigaku. Tahu-tahu kepalaku sudah pusing dan tubuhku melayang. Bethany Thompson sepertinya memang tidak pernah belajar dari kesalahan. Terakhir kali terlalu mabuk, aku lupa pada suamiku sendiri dan menggodanya seperti seorang wanita kesepian.
"Beth?" Suara Dean yang begitu dekat di belakangku membuatku mengangkat kepala yang semula kurebahkan pada meja bar. "Beth, sejak kapan kau di sini?"
"Oh, suamiku!" Aku mengulurkan kedua tanganku memeluk lehernya saat Dean berusaha membantuku bangun. Sepertinya aku sudah hilang akal karena aku malah melompat ke pelukannya dan melingkarkan kedua kakiku di pinggangnya seperti koala, tidak peduli kalau kami sedang ada di tempat umum dan bukan hanya pegawainya yang ada di sana tapi seluruh tamu.
Dean tidak bersuara atau protes, aku pun tidak peduli saat Dean berbicara sesuatu dengan salah satu pegawainya dan sibuk membenamkan wajahku di ceruk lehernya. Rasanya aku sangat merindukan Dean, aku menyesal telah marah padanya padahal itu bukanlah salah Dean. Dean justru sangat mengerti tentangku sedangkan aku sendiri tidak mencoba menyesuaikan diri.
"Dean, maaf." Aku berbisik lirih di ceruk lehernya. Aku merasakan tangan Dean memelukku lebih erat dan sebuah kecupan di puncak kepalaku. Hatiku menghangat karena aku tahu Dean sudah memaafkanku. Lalu aku tidak ingat apa-apa lagi setelahnya.