Menikah bukan sekedar mempersatukan dua orang manusia untuk tinggal dan hidup bersama. Tetapi menikah juga itu berarti harus bisa saling menoleransi dan saling memahami satu sama lain. Menikah adalah bagaimana dua kepala, dua jiwa, dua pemikiran, dua kepribadian berjalan beriringan pada satu tujuan. Meski sebuah pasangan sudah berkencan belasan tahun, ketika menikah mereka harus kembali beradaptasi karena ada banyak hal yang hanya bisa ditoleransi sebagai pasangan suami dan istri.
Sebagai seorang perempuan independent yang hidup sendiri selama lima tahun tanpa pernah mengandalkan seorang laki-laki, jelas aku sudah terbiasa melakukan berbagai hal sendiri. Terutama pada tahun pertamaku tinggal sendiri di New York sambil kerja serabutan.
Aku pernah part time di tempat laundry, restoran fastfood, layanan antar s**u, kafeteria sebuah sekolah dasar hingga bekerja sebagai pramuniaga di toko alat kebutuhan konstruksi dan listrik. Jadi bisa dibilang aku hampir pernah mengerjakan segala pekerjaan.
Untuk segala jenis pekerjaan rumah seperti bersih-bersih dan dapur jelas itu sudah di luar kepala. Aku bahkan bisa memasak dengan bahan paling seadanya di rumah dan menggantinya jadi masakan layak. Aku bisa mengganti bohlam lampu sendiri, mengotak-atik DVD playerku yang tiba-tiba macet, bahkan bisa membetulkan pipa tempat cuci piring yang bocor.
Kini saat aku sudah menikah, tidak terlalu banyak yang berubah. Insting dan tubuhku sudah secara otomatis melakukan segalanya sendiri tanpa perlu bantuan Dean. Maka di situlah proses adaptasiku berlangsung.
Jadi suatu hari di hari Minggu, aku dan Dean sedang bersantai di rumah setelah sarapan. Aku berhendak mandi saat gagang pintu kamar mandi mendadak copot ketika aku akan menutup pintu. Mungkin seharusnya aku memanggil Dean, tetapi refleks utamaku adalah berjalan ke lemari perlengkapan alat dan mengambil obeng.
"Apa yang kau lakukan, Beth?" tanya Dean berdiri, menatapku yang sedang berlutut di depan pintu dengan obeng di tangan.
"Gagangnya copot saat aku mau menutup pintunya."
"Aku tahu." Nada suara Dean yang terdengar tidak seperti biasanya membuatku mengalihkan tatapan padanya dan aku bisa melihat bibirnya sudah berbentuk garis lurus. Kalau sudah begitu, aku tahu ada yang salah. "Tapi kenapa tidak memanggilku?"
Aku menggaruk belakang telingaku. Aku ingin mengatakan 'lupa' tapi aku tahu jawabanku hanya akan memperpanjang masalah. "Karena kupikir ini hanya ada masalah dengan sekrupnya jadi tinggal diputar." Aku tidak berani menatap mata Dean. Aku tidak takut dia marah, tapi aku takut kalau dia kecewa. Aku paling tidak ingin membuat orang lain kecewa padaku.
"Seharusnya kau memanggilku, jadi aku bisa minta tolong padamu untuk sekalian membetulkan sekrup rak bukuku yang longgar."
Aku mendelik ke arah Dean. Aku pikir dia akan marah karena merasa tugasnya sebagai suami diambil alih olehku dan hal itu akan membuat harga dirinya terluka. Aku selalu lupa kalau Dean tidak pernah sama dengan laki-laki yang ada di pikiranku.
Dean menghampiriku lalu berjongkok di sebelahku, memperhatikan gagang pintu yang sedang aku perbaiki. "Kau sudah sering membenarkan gagang pintu?"
Aku menggeleng sambil memutar skrup kedua.
"Kalau membetulkan radio, bisa?"
"Tidak. Tapi aku pernah membetulkan DVD playerku yang tiba-tiba macet."
"Kalau membetulkan atap bocor?"
"Kau pikir aku tukang bangunan?!" seruku galak sambil mencoba mengetes apakah gagang pintunya sudah terpasang kembali dengan kuat atau belum.
Dean tertawa mendengar jawabanku. "Kalau ada atap yang bocor, berarti kau harus memanggilku ya?"
"Kau mau membetulkannya?"
Dean mengangguk. Aku sudah nyaris takjub saat kemudian dia mengatakan, "Aku membetulkannya dengan cara membayar tukang bangunan." Jawaban polos Dean nyaris membuatku melemparnya dengan obeng, tapi kemudian aku justru tertawa bersamanya.
Bagi Dean, saat menikah tidak seharusnya ada harga diri yang lebih tinggi dari satu sama lainnya. Tugas suami dan istri adalah saling membantu satu sama lain dalam kehidupan pernikahan. Jika istri merasa tidak mampu melakukan pekerjaan rumahnya sendirian, suami sudah seharusnya membantu dan begitu pun sebaliknya. Tidak ada batasan suami hanya bertugas memenuhi nafkah dan mengerjakan pekerjaan berat atau hanya istri yang boleh mengurus pekerjaan dapur.
***
Jumat sore, aku sedang menyelesaikan proofreading bagian akhir naskah salah satu penulis yang akan terbit ketika Sophie mengetuk pintu ruanganku dan masuk sambil menyerahkan beberapa surat.
"Beth, nanti malam anak-anak berniat hangout, kau ikut?"
"Ke mana?"
"Ada kelab baru yang buka, katanya lebih oke dari The Crown."
Aku mengernyit saat Sophie mengatakannya. Well, Sophie memang tidak tahu bahwa The Crown adalah milik suamiku dan aku tidak berniat memberitahunya juga. "Tidak, deh."
"Ayolah Beth, kau sudah lama tidak ikut nongkrong sejak menikah tahu!"
"Aku baru menikah tiga bulan, Sophie."
"That's mean kau sudah tidak ikut nongkrong tiga bulan lamanya!" Sophie buru-buru mengangkat tangannya menunjukkan lambang peace. "Jason ulang tahun, sebagai atasan yang baik seharusnya kau ikut merayakan ulang tahun karyawanmu."
Aku memutar mata. Tapi benar kata Sophie, aku sudah tidak hangout semenjak menikah. Selain karena sibuk bekerja aku sudah tidak punya tujuan datang ke kelab malam selain untuk minum. Di apartemen Dean--yang sekarang sudah jadi rumahku--ada koleksi minuman berbagai jenis sehingga aku tidak perlu susah-susah minum di kelab. Lagipula akhir-akhir ini aku sudah jarang minum alkohol.
"Ok. Pakai kartu kreditku untuk reservasi di restoran yang Jason inginkan."
Mata Sophie berbinar. "Kau yang traktir?"
"Hm."
Jason akhirnya membuat reservasi di restoran Korean BBQ, kami makan dan minum alkohol asal Korea bernama Soju dan melanjutkan acara hangout kami ke kelab malam terdekat.
Mungkin karena sudah terlalu lama tidak hangout dan mengobrol santai dengan para rekan kerjaku, aku minum lebih banyak dari yang kuduga. Kepalaku pusing dan aku hanya berharap kalau aku tidak berbuat gila di sini.
Satu persatu dari rekanku pulang setelah dipesankan taksi, kebanyakan dari mereka terlalu mabuk untuk bisa berjalan ke stasiun subway.
"Bagaimana ini, Beth, kau mau pesan supir?" tanya Sophie karena sadar kalau aku tidak mungkin membawa mobil sendiri.
Aku memegangi kepala. Bahkan aku tidak bisa berdiri tanpa berpegangan pada Sophie. "Uh ya, boleh," kataku sambil menyerahkan ponselku pada Sophie.
Beberapa belas menit kemudian, aku merasakan tubuhku diguncang pelan. Aku tidak sadar sudah sejak kapan merebahkan kepalaku di meja. Aku mencoba mendongakkan kepala dan seketika aku bisa melihat wajah laki-laki yang sangat tampan.
"Hai, tampan!" kataku menyapanya.
Lelaki itu menatapku intense. "Kau sendirian?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Ada teman-teman kerjaku." Aku bahkan tidak tahu di mana mereka semua saat ini. Seharusnya tadi aku bersama Sophie tapi kini aku tinggal sendirian.
Lelaki itu mengulurkan tangannya dan aku menerima uluran tangan itu lalu memperkenalkan diri. "Bethany."
"Ok, Bethany, ayo kita pulang."
"Wow tuan, kau agresif sekali ya. Baru kenal dan langsung mengajakku ke rumah?" Aku tertawa lalu bertopang dagu menatapnya dengan tatapan paling seductive yang aku punya. Lelaki itu tampan, jelas tipeku sekali. Aku tidak keberatan kalau dia mau mengajakku tidur dengannya.
Lelaki itu menghela napas, lalu aku tidak terlalu ingat lagi karena berikutnya aku hanya bisa merasakan tubuhku ditarik ke arahnya. Ia merangkulku, membiarkanku menghirup aroma musk dari tubuhnya yang seketika membuat tubuhku sensitif. Aku ingin lelaki ini. Lalu aku menariknya untuk sebuah ciuman super panas dan menggebu.
Aku tidak begitu ingat bagaimana akhirnya kami sampai di sebuah apartemen--mungkin rumah lelaki ini--dan yang aku ingat hanyalah detik kami keluar lift, bibirnya sudah berada di bibirku lagi.
Kami berciuman seperti anak remaja yang baru pertama kali melakukannya. Berantakan, liar, terburu-buru. Aku beberapa kali melenguh saat lelaki tampan ini menggigiti bibirku.
"Agh," Aku mendesah saat tangannya meraba dadaku. Memberi pijatan yang mengaliri kenikmatan ke seluruh tubuh.
Aku ingat malam ini jadi malam dengan seks terpanas yang pernah aku lakukan. Sepertinya. Dan aku tidak akan melupakan ini.
***
Aku terbangun dari tidurku saat sengatan cahaya matahari menusuk wajah dan memaksa kedua mataku terbuka. Aku terhuyung saat merasakan kepalaku bagai ditusuk-tusuk duri. Kakiku berusaha berpijak pada lantai, tetapi bukannya dingin lantai marmer yang telapak kakiku temui justru gumpalan kain berserakan. Salah satunya adalah panty lace keluaran Audabe berwarna peach milikku yang sudah teronggok tidak layak.
Aku punya kebiasaan membuka bra sebelum tidur, tetapi tidak pernah membiarkan diriku tidur tanpa celana dalam. Pemandangan pakaian dalamku berceceran jelas membuat mataku yang semula hanya terbuka seperempat kini terbuka sepenuhnya. Bahkan bola mataku nyaris melompat keluar saat aku menyadari bukan hanya pakaian dalamku yang teronggok di lantai tetapi juga satu set kemeja kerja dan pakaian dalam pria ikut meramaikan lantai kamar...Wait!
"Oh My God!" Aku menjerit ketika sepasang tangan kekar memeluk pinggangku dari belakang, diiringi kecupan sehalus beludru di punggungku yang telanjang.
"Morning." Suara baritone itu seketika menekan tombol rewind pada memoriku. Suara itu milik si pria tampan yang sialan seksi yang aku temui di bar semalam. Bagaimana aku bisa lupa kalau semalam baru saja melakukan seks terbaikku dengan pria itu, berciuman panas di bar dan nyaris diusir karena berbuat m***m.
"Beth, bukannya aku sudah bilang kalau kau harus menjawab saat suamimu menyapa?"
"Agh..." Aku mengerang pelan saat lelaki itu menghisap kulit leherku. Tapi pertanyaannya bagaikan air es yang menyiram tubuhku dan menarik kesadaranku secara paksa. Laki-laki itu bukan stranger tampan yang aku temui di bar melainkan Dean, suamiku.
Dean melepas pelukannya dari tubuhku lalu menatapku dengan senyuman menyebalkan. "Bagaimana seksmu dengan laki-laki tidak dikenal yang mengajakmu mengobrol di bar semalam, Bethany?"
Aku mau melompat dari jendela rasanya, aku malu sekali!
"Syukurlah Sophie menelponku dan bukan memanggil supir. Bagaimana kalau kau dimanfaatkan orang lain karena mabuk seperti ini?"
Aku menatapnya. Aku tahu aku salah, tapi kata-katanya membuatku seolah seperti perempuan yang tidak bisa menjaga diri. Apa dia pikir aku aku akan sembarangan tidur dengan orang lain hanya karena aku tidur dengannya saat tidak mengenalinya karena alkohol? "Aku sudah sering pergi minum dan pulang menggunakan supir dan tidak pernah ada kejadian buruk."
"Belum, Beth, bukan berarti tidak akan." Dean menjawabku dengan tegas. "Apa salahnya bilang padaku atau minta aku menjemputmu?"
"Aku bukan anak kecil, aku terbiasa sendiri sejak dulu dan aku bisa."
"Kau bisa, Beth, iya." Dean berdiri dari tempat tidur lalu menyambar celana dari lemari. "Aku tahu kau wanita mandiri dan bisa menjaga diri karena itu aku tidak memaksamu untuk mau diantar jemput saat bekerja. Tapi saat kau akan minum dan pulang larut seperti ini, setidaknya kau harus memberitahuku agar aku bisa menjemputmu. Aku memberimu kebebasan karena percaya padamu dan menghargaimu tetapi sebagai suami aku juga ingin menjagamu, Beth."
Seketika aku merasa bersalah, tapi aku juga kesal. Maksudku itu berarti Dean menganggap aku tidak becus melindungi diri sendiri kan? Pada akhirnya Dean akan mulai membawa kata-kata kalau dia suami yang harus menjaga istrinya. Kalau istri harusnya di rumah saja dan tidak boleh keluyuran. Iya, kan?
Dean sudah akan bicara tetapi aku lebih dulu meninggalkannya ke kamar mandi dan membanting pintu.
Dalam tiga bulan pernikahan, ini adalah pertama kalinya kami bertengkar serius.