17. New Life and Those Three Words

1183 Kata
Pernikahanku dan Dean diadakan di salah satu hotel mewah di Manhattan. Kami setuju mengadakan pesta tersebut di sana karena rekan kerjaku dan Dean memang berada di sini. Seluruh pegawai Life Care datang malam itu begitupun dengan seluruh rekan kerjaku di penerbitan. Ada banyak sekali wajah yang tidak kukenali dan kebanyakan semua rekan bisnis Dean. Keluarga Dean yang berasal dari Indonesia juga datang dan aku baru hari itu melihat keluarga besar dari ras Asia. Dan kini mereka juga adalah keluargaku. Keluargaku sendiri tidak terlalu banyak, hanya keluarga Ibuku yang besar sedangkan Ayah hanya tinggal berdua dengan Pamanku yang punya dua orang anak. Dari semua tamu, selain Evan, aku juga mengingat bagaimana wajah Paman dan Bibi Evan yang datang menyalamiku dengan bibir terkatup rapat menbuat garis lurus. Kata Ibu, Paman dan Bibi Evan begitu membanggakan pertunangan Evan kemarin di depan para tetangga kami di Portland. Oh. Dan ada satu lagi tamu yang menarik perhatianku. Aku ingat karena dia adalah gadis paling cantik yang datang ke pernikahan kami. Katanya sih, dia pemain teater. Aku tidak bertanya di mana dia mengenal Dean dan asumsiku, mungkin mereka kenal karena Dean juga punya invastasi di bisnis hiburan. "Beth," panggil Dean sambil memeluk pinggangku dan berbisik. "Hmh?" Aku merespon sambil menyandarkan tubuhku kepadanya. "Are you happy?" Apa aku bahagia? Tentu saja. Aku tidak bisa berbohong kalau hari ini bahkan pipiku terasa pegal karena tidak bisa berhenti tersenyum. Bahkan dadaku terasa sesak dipenuhi letupan-letupan menyenangkan. Aku mengangguk lalu Dean mengusap lembut pipiku. "Glad that you're happy." Dean mengecup dahiku. "My wife." Aku pasti sudah menarik Dean untuk sebuah ciuman panas kalau saja kami bukan berada di tengah pesta dikelilingi keluarga Dean yang berasal dari Asia. *** Kami memutuskan berlibur ke Wilington, kampung halaman Ayah Dean berasal. Kami menempati rumah keluarga Dean di sana yang ada di pesisir pantai. Sebetulnya kami akan berbulan madu ke Bali, sekaligus kami akan mengunjungi rumah Ibu Dean di Bandung. Tetapi rencana itu baru bisa dilaksanakan dua bulan lagi karena aku dan Dean masih ada pekerjaan hingga saat itu. Menikahi bos bukan berarti kita bisa seenaknya libur. Justru semakin tinggi jabatan, semakin tanggung jawab seseorang bertambah. Dean memeluk perutku dari belakang, seperti biasa hidungnya sudah ia benamkan pada leherku. Aku tidak protes karena sekarang aku sudah terbiasa dan ikut menikmati setiap afeksi yang Dean berikan. Siapa sangka kehidupan seorang Bethany Thompson bisa berputar secepat ini? Aku yang tidak pernah mau berhubungan serius dengan laki-laki, kebencianku akan akan sebuah pernikahan hingga ketakutanku untuk jatuh cinta. Kini aku menikah dengan seorang laki-laki yang bahkan hanya ku kenal selama beberapa minggu saja setelah kami melakukan kencan satu malam. Dean mungkin adalah cara Tuhan memberitahuku bahwa tidak ada yang salah dengan berhubungan. Tidak ada yang perlu dibenci dari pernikahan dan tidak ada yang harus ditakuti dari jatuh cinta. Saat ada sakit maka di situ juga akan ada obat. Jika aku adalah luka, maka Dean adalah perekat luka. Dia tidak menyembuhkanku secara utuh, tapi melindungiku dari terkena infeksi dan luka lain yang lebih menyakitkan. "Dean," Aku memanggilnya sambil memainkan jemarinya yang berada di perutku. Memelukku dengan posesif. "Ya?" "Kau... belum memberitahuku alasan kenapa kau mau menikahiku." Sebelum Dean menyahut aku cepat-cepat menambahkan, "Aku tahu karena kau bisa. Maksudku, pasti ada alasan yang lebih spesifik kan daripada itu?" Aku merasakan bibir Dean yang semula mencium leherku beralih ke puncak kepalaku. "Kau ingat bahwa aku sempat menghilang tiga minggu sejak malam itu lalu kembali dan mengirimimu bunga?" tanyanya. Aku mengangguk. Jelas aku ingat. Saat itu, meski aku yang mengusir Dean pergi dan bersikeras tidak ingin mengenalnya dan mengakhiri kencan satu malam kami, aku kecewa karena Dean benar-benar tidak berusaha datang lagi. Aku menunggu hingga satu minggu dan akhirnya menyerah di minggu ke dua. Lalu setelah aku nyaris melupakannya--meski tidak akan melupakan seks pertama kami--tiba-tiba Dean muncul dengan mengirimiki bunga. "Hari setelah kita kencan, aku harus terbang ke Jepang untuk menghadiri launching brand terbaru Life Care Jepang. Aku di sana selama lima hari, setelah itu aku ke Indonesia untuk mengunjungi orang tuaku dan beristirahat sejenak." Dean menyandarkan pipinya di kepalaku. Tangannya masih berada di atas perutku, bermain dengan jemariku. "Tapi aku sama sekali tidak bisa istirahat. Aku terus mencium aroma vanilla dan ambermu hingga nyaris gila. Gabby hampir menarik lepas kepalaku karena menyeretnya untuk mencari perfume yang wanginya sama seperti milikmu tanpa tau bentuk dan brandnya." Aku tidak bisa menutup mulutku mendengarkan cerita Dean. Lalu aku membayangkan Gabby mengomeli Dean di pusat perbelanjaan yang coba mendeskripsikan wangi perfumeku tanpa tahu bentuk dan brandnya. "Untuk apa kau mencari perfumeku?" tanyaku menahan tawa, meski Dean bukan orang yang sensitif, tapi aku tetap tidak ingin membuatnya tersinggung dan menghentikan ceritanya. Aku penasaran! Dean kini bermain dengan daun telingaku, membuatku melayangkan satu buah cubitan yang hanya dibalasnya oleh tawa. "Aku pikir aku sudah cukup puas dengan wangimu karena saat itu aku hanya bisa memikirkan aroma vanilla dan amber yang menguar di tubuhmu. Aku mulai menyemprotkannya di bantal dan guling sebelum tidur, oke ini terdengar seperti p*****t tapi aku hanya ingin membayangkan tidur di sebelahmu dan memelukmu seperti malam itu." Jelas saja Dean tidak seperti p*****t. Maksudku, cara dia bercerita bahkan terdengar begitu polos seperti anak remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. "Lalu? Agh, Dean!" Aku mengeluh saat Dean menggigiti daun telingaku. Telinga bukan titik sensitifku tapi tetap saja aku akan kegelian saat orang lain menggigitnya. Dean tertawa sebelum melanjutkan, "Ternyata wangi perfume itu tidak banyak membantu. Setelah itu aku mulai mengingat kau lagi saat makan makanan china. Aku bahkan mengingatmu saat di lampu lalu lintas. Wajahmu di bawah temaram lampu jalanan malam itu terlihat begitu vivid di ingatanku." Hatiku sesak dipenuhi rasa gembira. Aku tidak ingin terlena dan sepenuhnya percaya dengan apa yang Dean katakan karena itu akan membuatku semakin jatuh dalam perasaanku untuk Dean. Dan aku takut jika perasaan itu semakin dalam, aku akan kembali menyerahkan diriku untuk Dean dan membiarkannya menginjak-injakku dan meninggalkanku suatu hari nanti. Karena jika itu terjadi, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Yang jelas pada saat itu aku pasti tidak akan punya kekuatan untuk bangkit lagi. Jika Evan saat itu hanya menghancurkan duniaku, maka Dean berarti akan menghancurkan isi alam semestaku. Aku memutar tubuhku menghadap Dean, memeluk tengkuk Dean dan menariknya untuk kucium. Dean mengikuti alur permainan bibir serta lidahku, membiarkan aku mengeksplorasinya dan memimpin permainan. Baru setelah aku merasa kehabisan napas, aku melepaskan bibir kami meski tetap memeluk lehernya. "That's enough for me, Dean." "Maksudnya?" tanya Dean dengan alis tertaut dan dahi yang mengernyit bingung. Aku melayangkan tanganku untuk mengurai kernyitan itu dengan ibu jariku. "As long as you want me, it's enough." "Kau tidak ingin mendengar kata-kataku selanjutnya?" tanya Dean hati-hati. Aku menggeleng cepat. Aku hanya perlu tahu bahwa Dean menginginkanku. Tidak dengan kata lainnya. Karena aku belum siap mendengarnya. Tidak akan pernah siap mendengar tiga kata itu. I love you. . . . a/n: Kayaknya cerita ini cuma sekitar 25 atau 30 chapter. Btw temenan sama aku di i********: dong mayangaeni seneng aku tuh kalau diajak ngobrol2 terutama seputar cerita2 aku. Jadi semisal kalian ada part gemes atau mau screenshot boleh banget tag aku di sana ya nanti aku repost. Comment dan vote jangan lupa teman-temanku yang baik hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN