16. Show-off

1090 Kata
Malam ini adalah hari pertunangan Evan. Kalau aku belum bertemu Dean, mungkin hari ini akan menjadi hari yang ingin kuhapuskan dari calendar. Tapi berhubung aku punya Dean di sisiku, aku justru tidak sabar untuk bisa show off di acara pertunangan mantan pacarku itu. Aku menggunakan gaun malam yves saint laurent berwarna biru navy yang panjangnya sepaha malam itu, sengaja untuk memamerkan kaki jenjangku. Gaun itu adalah gaun cantik sederhana tapi terlihat 'mahal'. Aku membelinya untuk menghadiri acara gala premiere film yang diadaptasi dari novel penulisku. Karena waktu itu aku mendadak terserang flu, gaun itu tidak jadi kugunakan karena terlalu terbuka. So, aku bersyukur bisa menggunakannya malam ini. Jelas aku harus tampil memuaskan karena nanti malam akan banyak kolega dan kenalan Dean yang juga datang. Vivian bekerja di Life Care sebagai sekretaris merangkap personal asisten Gabby. Mereka adalah teman sejak kuliah sehingga sudah seperti saudara. Karena Gabby lebih banyak menghabiskan waktunya di restoran, maka Vivian yang memegang hampir sebagian pekerjaan Gabby di life care. Soal bagaimana Vivian bisa bertemu Evan sepertinya saat kunjungan Gabby dan Vivian ke kantor cabang di Sydney. Saat itu Evan adalah manager quality control di sana. Mereka dekat di sana dan melanjutkan hubungan jarak jauh. Evan lalu mengikuti test dan training untuk bisa menjadi manager quality control kantor pusat di New York dan baru tiga bulan ini pindah. Di situ juga ia dan Vivian semakin dekat dan akhirnya memutuskan bertunangan. Aku sempat curiga bahwa Vivian adalah alasan Evan memutuskanku, tapi kalau dari cerita Dean--yang ia dapat dari Gabby--hubungan Evan dan Vivian baru berjalan setahun. Dean mengernyit saat melihatku keluar dari walk in closet mengenakan gaunku. Dean sudah super ganteng di balik tuxedo yang warnanya senada dengan gaunku. Aku menemani Dean membelinya dan memilihkan itu untukku. Jelas pilihanku tidak salah sama sekali. Meski sebenarnya aku tahu, pakai baju apapun Dean akan tetap tampan dan seksi. "Kenapa kau mengernyit begitu?" tanyaku sambil menunduk memperhatikan gaunku yang melekat pas di tubuh. Jangan-jangan perutku terlihat buncit ya karena gaun ini? Dean menggeleng. "Kalau kita tidak usah pergi saja bagaimana?" tanya Dean sambil menatapku. "Kenapa?" "Aku tidak mau membagimu dengan mata orang-orang di luar sana." Jangan bayangkan Dean mengatakannya dengan senyum menggoda, dia mengatakannya persis seperti anak kecil yang menolak membagi mainan dengan temannya. Aku hanya berdecak. Malam ini apapun yang terjadi aku harus hadir di sana. Aku berjalan ke arah meja riasku, mengambil parfum yang biasa ku gunakan untuk pesta malam hari. Wanginya campuran vanilla dan amber. Kata Dean wangi ini adalah wangi favoritnya, setiap aku memakai ini--Dean tidak akan pernah melepaskan hidung dan bibirnya dari tubuhku. "Apa itu yang bersinar?" tanyanya saat melihatku membenarkan posisi cincin di jariku sambil memelukku dari belakang dan membenamkan hidungnya di tengkukku yang baru disemprot parfum. "Cincin tunanganku tentu saja." Aku berkata dengan bangga. Evan harus melihat betapa bersinarnya berlian yang ada di cincinku yang akan mengalahkan cincin tunangannya nanti. Aku dan Dean bertunangan di hadapan keluarga kami minggu lalu. Sengaja tidak mengundang orang dan hanya berupa acara tukar cincin setelah makan malam. Kami akan lebih fokus ke acara pernikahan nanti. "Jadi siap diperkenalkan sebagai calon istri Mr. Dean Aji William, hm?" tanyanya setelah melepaskan pelukannya dan memastikan gaunku tidak kusut karena ulahnya. Aku memutar tubuh ke arah Dean dan mengalungkan tangan di lehernya. Aku tidak sabar menikmati ekspresi Evan melihatku malam ini. *** Acara pertunangan Evan betul-betul mewah. Aku sampai memastikan apa ini betul hanya acara pertunangan dan bukannya resepsi pernikahan. Diam-diam aku menilai setiap detailnya. Pernikahanku harus lebih bagus daripada ini. "Dean!" Vivian berseru begitu aku dan Dean tiba di hadapannya dan Evan yang berdiri kaku di sebelahnya. Aku memasang senyum terbaikku. Penampilanku malam ini setidaknya harus menimbulkan sedikit perasaan menyesal pada Evan karena sudah meninggalkanku begitu saja. Meski Vivian juga sangat cantik, tapi tetap secara karier aku lebih tinggi daripadanya. Dean mengecup pipi Vivian lalu menyalami tangan Evan untuk mengucapkan selamat. Vivian lalu beralih kepadaku. "So you must be Bethany, right?" tanyanya ketika aku mengulurkan tangan untuk menyalaminya. Vivian menarikku dan mengecup kedua pipiku. "Aku sudah dengar banyak tentangmu dari Gabby dan Mrs. William." "Oh, ya?" Aku hanya bisa tertawa canggung. Semoga Gabby dan Ibunya Dean berbicara baik tentangku. "Yeah, sure." Evan menyahut. "The onenya Mr. Dean Aji William, tentu semua orang akan membicarakanmu." Evan mengatakannya dengan senyuman yang bagi orang lain kelihatan menawan tetapi untukku yang pernah memacarinya selama tujuh tahun, jelas aku tahu  jenis senyuman apa itu. Aku merasakan remasan tangan Dean di pinggangku. Aku meliriknya. Calon suamiku itu terlihat pintar mengatur ekspresi meski aku bisa menebak kalau Dean sedang menahan diri untuk tidak membalas ucapan Evan dengan sinis. Kami sepakat kalau Vivian tidak perlu tahu masa laluku dengan Evan karena itu tidak akan membawa hal baik apapun untukku atau siapapun. Sepertinya Evan juga tidak mengakui soalku jadi biar saja. "Aku bahkan tidak pernah tahu Dean punya pacar." "Aku tidak sepertimu yang senang mengumbar kemesraan, Vivian," balas Dean yang membuat Vivian melayangkan pukulan di lengannya. Ah aku hampir lupa dengan niatku. Lalu aku merangkul tangan Dean dan dengan sengaja menyentuh d**a bidang Dean dengan tanganku yang tersemat cincin. Aku memastikan anglenya pas untuk Evan bisa melihat betapa besar berliannya di sana. Lalu kami pamit untuk membiarkan tamu lain menyelamati mereka. Aku baru keluar dari toilet saat tidak sengaja berpapasan dengan Evan di lorong. Sepertinya dia juga mau ke toilet. Entah kenapa aku merasa siaga. Aku takut kehilangan kontrol dan melakukan tindakan memalukan kalau sampai Evan melakukan sikap yang menimbulkan konfrontasi. "Well, lima tahun tidak bertemu dan kau akan menikah, huh?" Aku tersenyum. Tentu saja bukan jenis senyuman bersahabat. "Hal yang sama berlaku denganmu, kan?" "Setidaknya aku mengundangmu ke pertunanganku. Tapi kau... bagaimana tiba-tiba kau akan menikah dengan Mr. William?" Aku mengernyit, mulai tidak nyaman. "Itu tidak tiba-tiba," kataku masih berusaha mengatur nada dan ekspresiku agar tidak terlihat terpancing. "Seperti yang Dean bilang, kami hanya tidak mengumbarnya." "Itu tidak menjelaskan bagaimana kau tiba-tiba muncul setelah aku mengundangmu ke pertunanganku sebagai calon istri Mr. William." "Bossmu, maksudmu?" tanyaku masih berusaha menyunggingkan senyum. Kali ini senyumanku terlalu lebar, hatiku berdegup cepat dipenuhi rasa penuh kemenangan. "Terima saja takdir bahwa gadis yang kau pacari selama tujuh tahun, yang sudah merelakan banyak hal untukmu dan kau tinggal begitu saja tanpa rasa bersalah sedikitpun kini akan menikah dengan bossmu." "Bethany!" Aku tidak mau mendengar apapun lagi dari mulut Evan atau pun melihatnya. Jadi setelah mengatakan hal yang ingin kukatakan, aku pergi meninggalkannya. Aku langsung menarik Dean tidak peduli bahwa dia sedang berbincang dengan siapapun itu. Aku hanya ingin pulang dan melakukan seks paling memuaskan dengannya malam ini. Kata Emely, angry s*x adalah salah satu yang terbaik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN