Minggu malam, kami tiba di New York setelah kembali dari Portland. Pertemuan keluargaku dan Dean berjalan baik. Setidaknya sampai Ayah mengintrogasi Dean terlalu banyak hingga ke detail penghasilan Dean yang berhasil kuhentikan.
Ayah sedikit over protective padaku memang karena aku adalah anak satu-satunya. Bahkan saat aku memutuskan hidup mandiri di New York, aku butuh perjuangan untuk mendapatkan izin mereka.
Aku tidak ingin berlama-lama di Portland karena setelah pertemuan dengan keluarga Dean kemarin, aku semakin membandingkan keluarga kami. Bukan hanya dari segi ekonomi di mana keluarga Dean jauh lebih di atas kami, tetapi mereka juga harmonis. Well, bukan berarti keluargaku tidak harmonis--mereka tidak pernah bertengkar berlebihan--tentu saja tidak akan bertengkar karena Ibu akan langsung mengalah bila Ayah marah. Dan kalimat andalan Ibu adalah, 'Iya maaf Yah, semua salahku.'
Minggu berikutnya, Dean setuju untuk melakukan pertemuan keluarga dengan mengundang orang tuaku ke rumah keluarga Dean di Manhattan, tidak terlalu jauh dari lokasi restoran kakak perempuan Dean. Menurut Dean, suasana di rumahnya lebih nyaman untuk sebuah pertemuan keluarga daripada si apartemennya. Aku hanya menurut saja.
Orang-orang bilang saat mempersiapkan pernikahan akan ada yang namanya sindrom pra-nikah yang mana jadi penyebab besar kegagalan pernikahan. Aku pikir itu kemungkinan akan menyerang kami ketika kami mulai mempersiapkan gedung, gaun dan lain-lain. Tapi akhirnya gejala pertama kami muncul sejak rencana pertemuan keluarga.
Kami punya perdebatan soal akomodasi orang tuaku. Dean bersikeras membayarkan semuanya sedangkan aku menolak keras ide itu karena menurutku orang tuaku masih tanggung jawabku.
"It's okay Beth, I can pay for your parents ticket."
"Oh, of course you can." Aku berkata tanpa bisa menahan nada sarkasme.
"Beth, it's just a plane ticket. Jangan dibuat sulit hal yang sebetulnya sepele."
Sepele katanya. Yeah right. Dean dan kesombongannya!
"You know what, Dean? f**k you!" Kataku berteriak. "I have money too! Lot of them!" Aku meninggikan nada suaraku lebih dari yang kurencanakan. Aku memang sudah banyak bersikap menyebalkan di depan Dean tapi aku tidak pernah memaki di depannya apalagi memakinya.
Dadaku naik turun karena emosi yang seketika meledak. Dean menatapku terkejut karena tidak menyangka hal sepele menurutnya yang hanya seharga beberapa ribu dollar itu akan menjadi masalah besar buatku.
"Beth, aku..."
Aku pergi meninggalkan Dean dan makan malam kami menuju kamarku. Kami memang sedang berada di apartemenku saat ini. Aku melompat ke tempat tidur, tidur jauh lebih baik daripada melihat wajah Dean malam itu.
***
Besoknya aku terbangun karena aroma masakan yang membuat air liurku menetes. Karena semalam aku meninggalkan makan malamku dan Dean begitu saja untuk ngambek, jadi sekarang aku bangun tidur dengan kondisi kelaparan.
Aku keluar dari kamar dan menemukan punggung tegap Dean dan bahunya yang lebar itu sedang berkutat di dapurku. Dia jadi seperti raksasa di rumah liliput. Hal itu semakin lucu saat melihat dia mengenakan celemek renda-renda milikku.
Aku tidak bisa menahan diri untuk tertawa. Tawaku membuat Dean yang semula sedang menumis entah apa itu di teflon memutar tubuhnya terkejut. Biasanya dia akan menggodaku dengan mengatakan, 'Morning, baby' tapi pagi itu Dean hanya menatapku dengan ekspresi memelas andalannya.
Aku menaikkan sebelah alisku sambil menghampirinya lebih dekat untuk mengintip masakannya. "Nasi goreng?" tanyaku.
"Iya..."
Aku menahan tawa mendengar jawaban Dean yang ragu-ragu. Membayangkan Dean yang sejak pagi sudah sibuk berkutat di dapur jelas membuat perasaan kesal dan marahku semalam menguap. Tapi aku ingin menggoda Dean. "Kau pikir aku akan memaafkanmu dengan disogok nasi goreng?" tanyaku agar terdengar masih marah.
Dean mengernyit mendengar pertanyaanku. "Aku tidak membuat nasi goreng untuk menyoggokmu, Bethany." Dean mematikan kompor lalu menuang isi nasi gorengnya ke dua piring. Dean lalu membawanya ke kitchen island untuk dihidangkan bersama omelete dan bacon yang sudah lebih dulu berada di sana. "Aku membuat ini karena kau semalam tidak menghabiskan makan malammu, jadi pasti kau terbangun dengan perut lapar."
Aku terdiam mendengarnya. Apa itu berarti Dean tidak mau mengakui kalau dirinya salah semalam dan tetap mempertahankan pendapatnya?
"Aku minta maaf soal semalam, aku paham kalau kau adalah wanita independent yang tentunya tidak butuh laki-laki untuk memenuhi kebutuhanmu." Dean menatapku setelah mendorong piring nasi goreng buatannya ke arahku dan menyelipkan sendok di tanganku. "Tapi maksudku membayarkan tiket pesawat dan hotel orang tuamu karena aku yang mengundang mereka ke sini untuk bertemu keluargaku. Mereka akan menjadi mertuaku--orang tuaku juga, aku hanya ingin memberikan yang terbaik untuk kedua orang yang telah melahirkan dan membesarkan calon istriku."
Aku berkedip memproses kata-katanya. Dean betul, percakapan semalam memang menyentil ego dan harga diriku sebagai wanita yang selama ini bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Aku masih tidak terbiasa dengan konsep di mana laki-laki memenuhi kebutuhanku. Aku sudah bilang belum kalau hadiah-hadiah mahal Dean waktu itu bahkan sudah kukembalikan padanya? Kami berdebat keras soal itu alhasil aku tetap membawa satu buah tas--yang memang aku inginkan--dengan syarat membayar setengahnya.
"Aku bukan ingin menunjukkan siapa yang paling punya uang di sini, aku jelas tahu kau juga mampu membiayai akomodasi mereka. Tapi Beth, kali ini aku mohon izinkan aku membelikannya untuk mereka. Aku ingin menjadi menantu yang baik untuk mereka."
Aku turun dari kursiku dan melompat ke pangkuan Dean untuk memeluk lehernya. Kubenamkan wajahku di ceruk lehernya yang pagi itu menguarkan aroma Dean bercampur bumbu rempah nasi goreng. "Menyebalkan!" Kataku tanpa mengangkat wajah sehingga suaraku terbenam di sana.
Aku bisa merasakan getaran tubuh Dean saat dia tertawa. Tangannya memeluk pinggangku. "I know, but you like it."
"Shut up!" Dan mulutku dibungkam oleh bibirnya.
Ciuman itu dalam, aku bisa merasakan rasa Dean di seluruh mulutku. Aku bersyukur punya kebiasaan sikat gigi begitu bangun tidur. Jadi Dean tidak pingsan karena menciumku pagi ini.
Kami baru melepas ciuman kami ketika kekurangan oksigen. Dean mengelus lembut bibir bawahku dengan ibu jarinya. "Hukuman untuk mulutmu yang mengumpat tadi malam."
Aku meringis. Seketika merasa tidak enak karena semalam sudah bicara begitu kasar padanya. "I'm sorry."
Dean mengangguk. "Aku akan menciummu seperti tadi kalau kau bicara kasar lagi."
Aku mengalungkan tanganku ke leher Dean, memainkan ujung rambutnya. "Oh, kalau begitu aku akan terus bicara kasar setiap waktu," kataku menggodanya. Detik berikutnya Dean sudah mengangkatku dalam gendongannya dan membawaku ke kamar. "Dean! Nasi gorengnya!"
"Itu bisa dipanaskan." Dean pun menutup pintu kamar dengan sebelah kakinya.
***
a/n: HAHAHAHAHHAA aelah ini ngetiknya aku senyum-senyum sendiri, semoga kalian yang baca juga ya!