Keesokan harinya aku bangun lebih pagi dari biasanya. Sejujurnya aku baru tidur sekitar tiga jam karena mendadak terkena insomnia. Aku cemas akan pertemuanku dengan Mrs. William atau Ibunya Dean. Bagaimana kalau nanti dia tidak menyukaiku?
Pemikiran itu seketika membuatku terkejut. Seorang Bethany Thompson yang beberapa hari lalu bingung memilih antara daging asap atau sosis di atas pizzanya kini kebingungan saat akan bertemu calon mertua? Kalau Emely tahu, gadis itu akan menertawakanku sampai ngompol.
Aku belum mengatakan perihal rencana pernikahanku dengan Dean, tidak pada Emely ataupun orang tuaku. Niatnya aku dan Dean akan terbang ke Portland pada akhir pekan minggu depan karena jadwalnya kosong saat itu.
Aku tidak pernah berinteraksi lama dengan orang Asia, terutama seorang wanita berumur. Jadi aku tidak tahu bagaimana harus bersikap di depannya karena aku takut aku akan terlihat kasar dan tidak sopan. Setauku orang Asia sangat menjunjung tinggi kesopanan. Itu juga alasan kenapa Dean memiliki manner yang sangat baik.
Aku menyesal tidak membawa baju cukup banyak untuk persiapan. Karena Dean memang tidak mengatakannya padaku kalau Ibunya akan datang, untung saja aku membawa baju yang tidak bitchy semalam.
Ibu Dean tiba sekitar pukul setengah sepuluh bersama dengan Gabriella atau Gabby kakak perempuan Dean. Oh tidak, itu berarti aku akan menghadapi dua wanita Asia sekaligus!
Dean mencium punggung tangan ibunya sebelum membiarkan ibunya memeluk Dean dan menciumi pipinya. Pemandangan itu sangat manis membuatku seketika rindu Ibuku.
Tatapan Ibu Dean beralih padaku yang berdiri malu-malu di belakang Dean. Here we are...
"Ibu, perkenalkan ini Bethany." Dean merangkul pinggangku dan sedikit mendorongku maju ke arah Ibunya yang masih menatapku. "Pacarku."
Kini aku tahu dari mana mata teduh Dean berasal. Mata itu jelas milik Ibunya. Tetapi meski demikian, tatapannya yang kini menatapku seolah beliau sedang menilaiku.
"Pacar?" tanya Ibu Dean saat aku mengambil langkah mendekat ke arahnya dengan takut-takut. Saat aku mengulurkan tangan untuk menciumnya--seperti yang Dean lakukan--Ibu Dean lebih dulu menarikku ke pelukannya. "Oh Tuhan, akhirnya!"
Meski aku tidak melihat wajah Dean, entah kenapa aku tahu kini dirinya sedang memutar matanya. Aku bisa mendengar suara cekikikan Gabby di sebelah Dean.
"Tapi apa tidak terlalu tua untuk pacaran?" tanya Ibunya lagi setelah melepas pelukannya dan kini menggenggam kedua tanganku.
Sejujurnya aku sedikit tersinggung mendengarnya. Usia dua puluh enam tidaklah tua, menurutku. Justru aku merasa masih di usia yang sangat produktif saat ini.
"Sebetulnya Bethany memang sudah setuju menikah denganku."
Aku mendelik ke arah Dean. Seharusnya dia memberitahu Ibunya setelah kami makan siang dan aku sudah cukup dekat dengan Ibunya. Tetapi ternyata Dean tidak memegang ucapannya!
"Oh baguslah, akhirnya ada perempuan yang mau dengan laki-laki gila kerja sepertimu!" Itu ucapan Gabby, yang langsung dihadiahi tatapan tajam Dean. Aku hanya tertawa pelan.
Sebetulnya pasti ada banyak wanita yang akan antre untuk menjadi istri Dean. Dia tampan, seksi, kaya dan punya manner yang bagus. Bahkan saat aku belum tau siapa jati diri Dean yang sebetulnya aku sudah dibikin naksir padanya. Takdir memang aneh, laki-laki seperti Dean justru memilihku yang justru tidak pernah berpikir untuk menikah. Dan lucunya aku setuju menikah dengannya hanya demi menjaga harga diriku di depan mantan cecungukku.
Tapi kemudian aku sadar, kalau bukan dengan Dean, mungkin aku benar-benar tidak akan menikah seumur hidupku.
***
"Ayah akan datang kemari untuk makan siang bersama." Ibu Dean memberitahu saat Dean sedang dibantu Gabby menyiapkan peralatan makan. Sedangkan aku dan Ibu Dean berada di dapur memasak makan siang.
Ibu Dean katanya ingin memasak makanan Indonesia untukku begitu tahu kalau aku menyukainya. Pertemuan dengan Ibu Dean berjalan cukup baik sejauh ini, setidaknya beliau sama sekali tidak menunjukkan rasa tidak sukanya padaku bahkan terkesan terlalu welcome untuk ukuran orang yang baru pertama bertemu.
"Bethany," Ibu Dean memanggilku saat kami sudah selesai dengan urusan meracik bumbu dan tinggal menunggu semua masakan yang dimasak matang.
"Yes, Mrs. William?"
"Oh, please just call me 'Ibu'. I'll be your mother in law, anyway."
Aku berkedip, rasanya ada sesuatu yang membuncah di dalam dadaku. Ingin meledak. "Ibu?" Aku mengucapkan kata itu dan merasakannya di lidahku.
"Terima kasih, Bethany." Ibu Dean tersenyum menatapku, aku bisa melihat ada bening kristal di matanya. Apa Ibu Dean akan menangis?
"Terima kasih untuk apa, Bu?" tanyaku bingung. Aku bahkan tidak melakukan apa-apa.
"Bersedia menikah dengan Dean." Ibu Dean mengusap air mata yang akhirnya menetes bagai kristal. Hal itu membuatku panik dan cemas. "Aku bahkan tidak pernah melihatnya berkencan atau mendengarnya bercerita kalau dia sedang menyukai seorang gadis. Yang dia lakukan seumur hidupnya hanya kerja dan kerja."
Hatiku mencelos ke jurang terdalam. Kalau saja Ibu Dean tahu alasanku mau menikahi Dean hanya karena aku ingin balas dendam dengan mantan pacar brengsekku, pasti beliau kecewa. Aku mendadak merasa tidak pantas menerima semua ini.
"Dean mulai kecanduan bekerja semenjak keluarga kami sempat jatuh bangkrut. Saat itu Dean bisa mengambil lima pekerjaan part time sekaligus dalam satu hari." Ibu Dean kemudian menceritakan bagaimana kehidupan Dean yang tidak ia ceritakan padaku.
Dean benar-benar mengisi hidupnya dengan bekerja bahkan setelah ekonomi keluarga mereka kembali stabil. Seolah bekerja adalah sebuah kecanduan untuknya. Dean pernah tidak tidur tiga hari berturut-turut karena berkutat dengan pekerjaannya saat masih menjadi pegawai biasa di Life Care. Setelah itu Dean harus dirawat karena terserang hiportemia. Tapi sampai tangannya diinfus pun, yang Dean cari adalah laptopnya. Hal itu berlangsung hingga usia Dean mencapai dua puluh tujuh. Saat itu akhirnya Ibu Dean yang tinggal di Indonesia akhirnya memutuskan tinggal bersama Dean untuk sementara. Dengan berbagai ancaman, akhirnya Dean mulai mengurangi pekerjaannya.
"Aku harap setelah menikah denganmu, Dean bisa benar-benar mengurangi pekerjaannya dan fokus menjadi suami dan kepala keluarga untukmu. Aku rasa dengan segala kerja kerasnya selama ini, tabungannya lebih dari cukup untuk menghidupi kalian."
Percakapan kami soal Dean harus terhenti ketika suara bel apartemen Dean berbunyi. Sepertinya itu Ayah Dean. Lalu aku dan Ibu Dean kembali fokus kepada masakan kami.
***
Ibu dan Ayah Dean memutuskan menginap di apartemen Dean malam ini. Sedangkan aku akan pulang diantar Gabby. Aku belum terbiasa dengan panggilan 'Mbak' dan tidak ada salah satu dari mereka yang memaksaku untuk melakukannya.
Saat aku hendak ke dapur untuk mengambil air, orang tua Dean sedang berada di sana. Sepertinya Ibu Dean ingin membuatkan kopi untuk suaminya dan Ayah Dean mengekorinya.
Aku tidak bermaksud menguping dan mengintip, tetapi langkahku seolah terpaku begitu saja di tempat ketika melihat pemandangan pasangan suami istri tersebut.
"Honey, berikan padaku biar aku bantu." Aku mendengar Ayah Dean berucap dengan lembut sambil merangkul istrinya.
Ibu Dean menyikut suaminya. "Kau bukannya membantu, tapi malah merecokiku." Tapi kemudian ia membiarkan sang suami merangkul lembut bahunya dan melayangkan kecupan di pelipisnya.
Hatiku menghangat tapi juga cemburu. Karena jelas pemandangan itu tidak pernah kulihat di rumahku. Aku sudah bilang kan kalau Ayah adalah Ayah yang baik untukku tapi beliau bukanlah suami yang baik.
Ayah tidak akan pernah mau menginjak dapur karena menurutnya dapur adalah wilayah seorang perempuan. Ayah tidak pernah membantu Ibu mengerjakan pekerjaan rumah karena merasa itu adalah kewajiban istri. Meski Ayah tidak pernah kasar pada Ibu, tapi melihat bagaimana Ayah memperlakukan Ibu seolah ada aturan bahwa sampai kapanpun Ayah ada di atas Ibu dan berkuasa atas hidup Ibu. Dan hal itu semakin menyedihkan karena Ibu pun membiarkan dirinya diperlakukan seperti itu dan merasa kalau hidupnya adalah milik Ayah. Hal itu yang membuatku tidak pernah ingin menikah seumur hidupku.
Aku tidak tahu sejak kapan pipiku mulai basah. Lalu sebelum Ayah dan Ibu Dean menyelesaikan urusan mereka di dapur, aku langsung berlari ke kamar Dean.
Dean yang semula duduk di ruang TV dengan Gabby sepertinya melihatku berlari begitu saja dan sadar kalau ada yang salah. Dean muncul beberapa detik kemudian menyusulku.
"Beth, ada apa?" tanyanya khawatir. "Apa kau terluka?"
Aku sendiri tidak bisa menghentikan air mataku meski sangat ingin. Tetapi semakin diusap, semakin air mata itu mengalir lebih deras. Akhirnya aku hanya pasrah saat Dean menarikku ke pelukannya.
"Ssh, it's okay... I'm here." Dean membisikkan itu di telingaku, tangannya tidak berhenti mengusap punggung dan kepalaku. Bajunya mungkin sudah basah dengan air mataku.
"Aku ingin menikah, Dean, I want to live with you. I... I want to have a family."
Aku merasakan kecupan Dean di puncak kepalaku. "Of course, baby, I'll marry you. Let's start a family together." Dan aku membenamkan wajah di d**a Dean lebih dalam.