Aku sudah menyandang tasku dan bersiap berjalan keluar sebelum Dean mencekal lenganku, bibirnya kini berkedut menahan tawa. "Duduk, Bethany."
"Jangan memerintahku!" Aku menyalak galak.
Menikah dengan Dean itu berarti aku akan menjadi satu keluarga dengan Evan? Tidak terima kasih! Lebih baik Evan tahu kalau aku masih single hingga saat ini daripada menjadi satu keluarga dengannya.
"Aku bercanda, Bethany." Dean menatapku dengan lembut, "Vivian asisten kakakku, Gabby. Tapi Vivian juga sahabat kakakku sehingga sudah kami anggap keluarga."
Aku memutar mata, setidaknya itu jauh lebih baik. "Benar kan? Kau tidak berbohong lagi hanya untuk memintaku tinggal?" tanyaku memastikan.
Dean menggeleng, tatapannya tidak menunjukkan kebohongan di sana jadi aku kembali duduk.
"Apa sekarang kau akan menceritakan padaku alasan kenapa kau begitu membenci Evan sampai bertindak begitu impulsif dan menerima lamaranku?"
Aku menatap Dean cukup lama, menimbang apa aku harus menceritakan padanya atau tidak. Tapi akhirnya cerita itu meluncur begitu saja.
Ekspresi Dean tidak terbaca selama mendengarkan ceritaku. Mungkin Dean mulai berpikir kalau wanita yang akan dia nikahi saat ini adalah gadis paling bodoh yang pernah ia temui. Tetapi selesai aku bercerita yang kudapati justru tubuhku yang terangkat dan berpindah ke pangkuannya. Aku tidak sempat berpikir ketika Dean menciumku, membuatku bisa mencecap rasa Dean di mulutku. Ciuman kami intense tapi tidak tergesa.
Kalau saja aku sedang berdiri, aku pasti sudah menggelosor di lantai karena lututku lemas seperti jelly. Dean such a great kisser, definitely.
Aku masih mencoba mentralkan pernapasanku saat aku merasakan usapan lembut tangan Dean di puncak kepala. Aku tidak tahu untuk apa usapan itu tetapi patut ku akui, aku menyukainya. Sepertinya aku benar-benar sudah kekurangan afeksi selama lima tahun belakangan ini. Terbukti hanya satu sentuhan dari Dean dan tubuhku menginginkan lebih.
"Menikah denganku, Bethany." Aku merasakan Dean mengecup pelipisku selembut bulu. Aku baru akan menjawab kalau aku memang sudah setuju menikahinya sebelum Dean melanjutkan, "I'll treat you better than anyone. I promise."
Aku tidak pernah percaya cinta dan konsep suatu hubungan. Maka pernikahan jelas tidak termasuk dalam daftar to-do-listku. Membayangkan aku menyerahkan diri kepada makhluk bernama laki-laki adalah hal yang aku hindari karena aku memiliki kecendrungan menjadi bodoh ketika mencintai. Aku tidak tahu apakah aku akan jatuh cinta pada Dean suatu hari nanti atau tidak, tapi setidaknya aku tidak benci dengan kehadirannya di sisiku.
***
Malam berikutnya, Dean mengundangku ke apartemennya untuk membahas pernikahan kami. Dan sekaligus tahap saling mengenal satu sama lain.
Dean tidak bercanda ketika menjawab 'karena aku bisa' saat aku bertanya kenapa dia mau menikahiku.
Dean jelas sesuai tipeku. Tampan? Ceklis. Kaya? Empat kali lipat dari yang aku perkirakan. Seksi, God in bed, good kisser, pintar? Semuanya jelas ceklis!
Dean sebetulnya bisa dibilang cukup extrovert daripada kelihatannya. Sejujurnya Dean tidak terlalu suka berkutat dan hanya duduk diam di kantor dan lebih memilih bekerja di secara aktif di The Crown atau restoran kakaknya. Dean suka berinteraksi dengan banyak orang ketimbang berkutat dengan layar komputer untuk memperhatikan pergerakan sahamnya. Katanya saham itu hanya akan naik atau turun jadi dengan melihatnya tidak akan memberi perubahan apa-apa. Aku tidak terlalu mengerti soal saham jadi aku hanya menganggukan kepala.
"Jadi dalam seminggu jadwalmu..."
"Aku ke kantor setiap hari, tapi dalam sebulan aku akan mengambil libur secara acak. Di hari libur itu aku akan membantu Mbak Gabby di resto sedangkan setiap Jumat malam dan akhir pekan aku stay di The Crown."
Dean menjelaskan maksud dari kata 'Mbak' sama dengan kakak perempuan dalam bahasa Indonesia. Meski Dean hampir seluruh hidupnya tinggal di Amerika, orang tuanya tetap memastikan anak-anaknya juga tidak melupakan darah Indonesia mereka. Itu sebabnya gaya hidup Dean tidak terlalu bebas seperti orang Amerika pada umumnya.
Aku mengangguk sambil mengeluarkan bahan masakanku untuk malam ini dari kulkas Dean. Sebetulnya Dean sudah akan memesan makan malam tetapi kemudian aku menawarkan diri untuk memasak. Dean sempat terkejut karena tahu aku bisa memasak, aku memang bisa memasak meski itu hanya sejenis pasta dan makanan dengan bahan-bahan instan saja. Tetapi setidaknya aku tidak benar-benar buta soal dapur.
Aku memasak cream pasta dan membuat ayam panggang sederhana untuk makan malam kami.
"Kau boleh makan segigit dulu dan memastikan makanannya tidak membuat sakit perut," kataku begitu semua makanan itu tersaji di kitchen island.
Dean tertawa, "Aku sudah mencicipi cream pastanya saat kau memanggam ayam. Rasanya enak."
Aku menatap Dean dengan sebelah alis terangkat untuk memastikan dia berkata jujur.
Dean menyerah akan tatapanku dan akhirnya melanjutkan, "Sedikit kurang lada tapi aku bisa menaburkan lada di atasnya sesuai seleraku. Jadi makananmu tetap oke."
Aku memutar mata. Tapi dalam hati bersyukur kalau masakanku tidaklah agal. Karena memang aku sengaja tidak memasukkan banyak lada di dalamnya.
"Apa kita akan membuat perjanjian pra-nikah?" tanyaku sambil melilit pastaku. Aku menatap Dean ketika menanyakan hal itu karena penasaran dengan reaksinya. Dahinya mengernyit tapi Dean tidak langsung menjawab pertanyaanku jadi aku kembali bertanya. "Apa orang Asia tidak melakukan perjanjian pra-nikah?"
"Ini bukan masalah ras." Dean meletakkan garpunya dan memandangku lurus. "Aku hanya tidak suka ide soal perjanjian pra-nikah seolah kita menikah untuk bercerai nantinya."
Aku terkejut mendengar jawabannya. Well, secara materi jelas Dean punya lebih banyak uang daripadaku dan seharusnya pihak yang lebih membutuhkan perjanjian pra-nikah adalah dirinya. Aku sendiri masih di tahap menerima fakta bahwa aku akan menikah. Tetapi Dean bahkan sudah berpikir kalau pernikahan kami untuk selamanya.
"Kau tidak akan menceraikan aku kan, Beth?" tanya Dean karena aku diam saja sejak penuturannya soal perjanjian pra-nikah.
"Aku tidak tahu," jawabku jujur. "Kau tahu kan aku punya trust issues soal hubungan. Apalagi pernikahan... Dean ini tidak mudah."
Aku merasakan Dean menggenggam tanganku. "Aku tahu, tapi jangan khawatir ya?" Dean membawa tanganku ke bibirnya untuk dikecup dengan lembut, tidak peduli kalau mungkin tanganku masih bau bawang putih. "Kita menjalani ini bersama."
Kami menyelesaikan makan malam kami dan berpindah ke ruang TV untuk minum anggur dan makan cake yang aku bawa. Tidak seperti penampilannya yang tough, Dean ternyata sangat suka makanan manis. Terutama coklat kotak-kotak yang mirip bentuk perutnya.
Semula kami hanya duduk bersebelahan, tetapi Dean protes dengan mengatakan kalau kami lebih mirip dua orang asing yang sedang duduk di ruang tv guest house. Akhirnya aku membiarkan Dean menarikku untuk bersandar di dadanya. Dean memang suka berbagai bentuk kontak fisik. Favoritenya adalah menciumi puncak kepalaku. Katanya wangiku segar seperti buah peach.
"Kau menginap, kan?" tanyanya ketika aku menegakkan tubuh karena mulai merasa pegal.
Pertanyaannya membuatku melirik ke jam di pergelanganku. "Apa kita akan tidur bersama?" tanyaku, diam-diam dalam hati berharap.
"Ada kamar kosong yang cukup layak ditempati kalau kau tidak ingin berada satu tempat tidur denganku."
Aku memutar mata, "Kau menyuruhku tidur di kamar tamu?"
"Tidak tentu saja." Dean menarikku dan mengecup bibirku cepat. Aku mulai terbiasa dengan ini. "Kau bisa tidur di kamarku dan aku tidur di sana."
"Astaga how old are we? Fiveteen?" tanyaku kesal. Kami kan bukan anak ABG yang dilarang pacaran. Kami adalah sepasang calon suami istri yang sudah di usia akhir dua puluhan. Bahkan Dean sudah berusia tiga puluh! Tidur bersama tidak lantas akan membuatku hamil seketika.
Dean tertawa. "Ibuku akan datang besok pagi," katanya menjawab kebingunganku. "Tidur bersama sebelum menikah terbilang tabu untuknya."
"Oh come on tapi kita kan sudah tidur bersama? Lagipula aku tidak mengajakmu melakukan seks, hanya tidur secara harfiah."
"Ibuku jelas tidak tahu soal itu, Beth." Dean menarikku berdiri dan membimbingku ke kamar tidurnya. "Aku bisa saja tidur denganmu malam ini tapi yang ada kita tidak hanya tidur."
Aku menatap Dean dengan mata melebar. Aku pikir Dean tidak pernah benar-benar tergoda dengan tubuhku, maksudku selama ini dia selalu mengatakan kalau dia ingin menikahiku bukan karena seks. Jadi aku berkesimpulan kalau kemampuanku di tempar tidur tidaklah sebagus itu.
"Apa kau baru saja bilang kalau kau ingin have s*x denganku?"
Deang mengangguk, wajahnya memerah dan itu membuatku gemas setengah mati. "Tentu saja, Bethany, aku ini pria normal."
Aku tersenyum, "Apa itu berarti aku cukup menggoda di matamu?" tanyaku lagi.
"Sangat. Dan itu yang membuatku tidak bisa berhenti memikirkanmu sejak malam itu." Aku tidak bisa lebih tersanjung lagi, jadi aku menarik Dean untuk satu ciuman selamat malam yang cukup panjang.