Siang itu Dean memesan makanan Jepang untuk kami. Kami makan sambil berbincang, meski lebih bisa dibilang kalau Dean bercerita dan aku mendengarkan.
Dean adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ayahnya berasal dari Wilmington sedangkan Ibunya adalah orang Indonesia. Keluarganya adalah pengusaha sejak zaman kakek buyutnya. Life Care adalah perusahaan warisan keluarga yang kemudian dikembangkan oleh ayahnya, yang semula hanya sebatas perusahaan nasional berubah jadi multinasional dan memiliki cabang di berbagai negara sejak sahamnya diperjualkan secara bebas.
Restoran Asia tempat Dean bekerja waktu itu adalah milik kakak perempuan dan Ibunya. Sedangkan The Crown adalah miliknya yang katanya ia kelola bersama dengan sahabatnya. Dean juga punya beberapa investasi lain di bidang kuliner, teknologi hingga bisnis hiburan. Aku bahkan mulai berhenti mengingat ketika bisnis yang dia sebutkan mencapai angka dua puluh. Intinya, tanpa Dean harus pergi ke kantorpun uang akan terus mengalir ke dalam rekeningnya.
Dean sudah punya privilege sejak lahir. Tetapi Ayah dan Ibunya membesarkan Dean dengan sangat baik. Mereka tidak membiarkan Dean tumbuh jadi spoiled brat yang bisanya hanya menghabiskan uang. Mungkin karena darah pebisnis yang mengalir di keluarganya, itu juga yang membuat Dean bekerja keras meski sebenarnya dia tidak perlu melakukan itu. Tetapi kemudian Dean menjelaskan kalau saat dia masuk sekolah menengah, keluarganya sempat bangkrut dan mengalami yang namanya hidup susah meski hanya sementara. Ketika itu Dean belajar mencari uangnya sendiri dengan bekerja part time. Kebanyakan Dean bekerja di restoran cepat saji seperti Mcdonald dan juga convenience store seperti seven eleven. Sejak itu Dean juga belajar mengelola uangnya dan sang Ayah mengajarinya soal investasi. Investasi pertama Dean adalah bisnis cupcake kakak perempuannya ketika kuliah. Sejak itu Dean mulai menekuni dunia bisnis dan rajin berinvestasi.
Karena sudah berbisnis sejak remaja, Dean nyaris tidak mengalami masa-masa remaja seperti kebanyakan remaja lain. Dean tidak sering bermain seperti teman-temannya karena lebih memilih belajar agar bisa diterima di universitas bisnis terbaik. Pengorbanan Dean berbuah hasil dengan diterimanya Dean di London Business School.
Setelah lulus kuliah Dean mulai bekerja di Life Care. Meski secara teknis perusahaan itu milik keluarganya pada saat itu sebelum jadi perusahaan umum, Dean tetap memulai karirnya dari awal. Otak encer dan jiwanya yang visioner berhasil membawa Dean naik jabatan dengan cukup cepat. Tetapi Dean menolak menerima jabatan sebagai chief executive officer karena lebih ingin mengembangkan bisnisnya yang lain. Akhirnya para anggota dewan direksi dan pemegang saham harus puas dengan Dean yang menerima jabatan CIO.
"Jadi kau tidak pernah berkencan?" tanyaku setelah menghabiskan potongan katsu terakhirku.
Dean tidak langsung menjawab. Aku memperhatikannya yang tiba-tiba mengunyah lebih lambat. "Secara resmi, tidak."
Aku langsung mengerti maksud jawabannya. "Kalau jatuh cinta?"
"Tentu saja pernah, Bethany, aku juga manusia." Dean terlihat agak kesal saat menjawabku. Bukan salahku kan kalau mengiranya tidak punya waktu untuk jatuh cinta setelah dia menceritakan kehidupannya yang hanya dipenuhi dengan kerja dan kerja?
"Lalu kenapa tidak berkencan?" Dean tidak menjawab dan memilih menyuap potongan sashiminya. Reaksinya membuatku tidak tahan untuk mengatakan, "Cintamu bertepuk sebelah tangan ya?"
Aku baru kali ini melihat Dean mendelik ke arahku. Biasanya dia hanya menghela napas ketika menghadapi diriku yang mulai menyebalkan. Apa aku akan melihat dia marah sebentar lagi?
"Kau sendiri kenapa putus dengan Evan?"
Aku terdiam mendengar pertanyaannya. Sialan, kenapa dia harus bawa-bawa si cecunguk itu dalam percakapan kami!
"Kau tidak perlu tahu! Kita masih belum menikah."
"Baiklah aku tidak perlu tahu soal itu sebagai calon suamimu, tetapi aku perlu tahu sebelum dia jadi suami sepupuku."
"WHAT?"