Dipo membawa Luna dan Dylan duduk di salah satu meja berisikan tiga meja yang pelayan arahkan. Dylan duduk dengan mulut ternganga menatap tempat mewah itu, membuat Luna gemas ingin menampar mulut nya yang norak itu.
"Mama pelnah makan di sini, Ma?" tanya Dylan penasaran.
Luna memutar matanya dengan malas.
"Jangankan makan disini, Mama pernah keliling eropa cuma buat makan doang!" jawab Luna dengan nada berbisik.
Mulut Dylan berbentuk 'O', lalu dia mengalihkan tatapannya pada sang ayah, menatap Dipo seolah memastikan ucapan Luna.
Dipo melirik Luna yang berpura-pura tidak memperhatikan. Dia akhirnya tersenyum, mengusap pucuk kepala Dylan dan menyerahkan buku menu pada putranya.
"Coba liat kamu mau pesen apa."
Manik mata Dylan berbinar melihat deretan gambar makanan yang terlihat enak disana. Tapi karena Dylan tidak bisa membaca, dia menunjuk gambar dan memperlihatkannya pada Dipo.
"Dylan pengen ini, ini, ini, ini juga, Pa, yang ini! Ini juga deh–"
"Gendut!" potong Luna menghentikan anak itu yang ingin memesan sangat banyak menu.
Pelayan memperhatikan ketiga keluarga itu, agak kaget ketika dia melihat seorang pria tampan yang mempunyai istri gemuk seperti Luna.
"Pilih satu, mau sebanyak itu memangnya kamu mau hajatan," ujar Luna.
Dylan cemberut, lalu menunjuk dua gambar.
"Ini sama ini aja, ya, pa?" Dylan menatap Dipo dengan memohon.
Dipo menyebutkan menu yang mereka pesan dan pelayan mencatatnya.
"Baik, akan kami sajikan sebentar lagi pesanan anda," ujar pelayan itu dengan suara super lembut dan senyum manis pada Dipo. Dia sama sekali tidak melirik Luna sekalipun.
Setelah pelayan itu pergi, Luna mendengus dengan keras.
Dylan menatap ibunya, lalu dia mencondongkan tubuhnya pada Dipo dan berbisik, "Mama kayak sapi, ya, Pa." bisikan itu mencapai telinga Luna, membuat perempuan itu menatap Dylan dengan tatapan membara. Untung saja sekarang masih di luar, lihat saja jika mereka sudah pulang!
Habis anak itu di tangannya.
"Dylan jangan ngomong gitu." Dipo mengingatkan putranya. Dia tidak mau Dylan asal berbicara seperti itu.
Beberapa saat kemudian, makanan dan minuman yang mereka pesan tiba. Masih dengan pelayan yang tadi, dia menaruh satu persatu piring di meja dan piring terakhir dia letakan di depan Dipo. Pelayan itu tersenyum.
"Silahkan dinikmati." Setelah mengatakan itu, dia melenggang pergi.
Luna menatap tidak suka pada kepergiannya, lalu dia menatap piring di depan Dipo. Baru saja Dipo akan memakan hidangannya, Luna buru-buru menghentikan dia.
"Kenapa?" tanya Dipo dengan heran.
Luna mengangkat piring berwarna putih tersebut tanpa mengatakan sepatah katapun. Ketika piring itu diangkat, ada secarik kertas yang tergeletak di atas meja, tertimpa piring tadi.
Dipo mengerutkan kening, hendak mengambil kertas apa itu sebelum Luna mendahuluinya. Luna melihat sebuah nomor telepon yang tertulis disana.
"Dasar pelayan sialan, kalau gantel itu digaruk!" kesal Luna.
Dipo menghela nafas dengan tidak berdaya.
"Gak pa-pa, nanti buang di luar."
Luna menatap Dipo dengan kesal, "Kamu tadi juga di senyumin diem aja! Makannya dia kegeeran."
"Kok aku?" tanya Dipo tidak mengerti. Dia diam-diam berpikir bahwa Luna yang sekarang dan Luna lima tahun lalu sama saja soal rasa cemburu dan curiga.
"Tau, ah."
Dipo menghela nafas, "Makan, nanti makanan kamu dingin."
Dylan di sisi lain tidak memperhatikan kedua orang tuanya, anak itu sibuk memakan hidangannya hingga tidak memperhatikan sekitar.
Ketika mereka tengah menikmati makanan, Xavier yang datang bersama istri dan anak-anaknya menatap Dipo dengan kening berkerut tidak jauh dari tempat Dipo. Xaiver menatap lagi, setelah memastikan itu benar Dipo, dia mengajak istri dan anaknya untuk mendatangi mereka.
"Om!" Putri Xavier, Vira namanya, lebih dulu berlari kearah Dipo, memeluk kaki pria itu membuat Luna dan Dipo terperanjat kaget.
"Vira?"
"Lo di sini juga?" Suara Xavier terdengar, Dipo mendongak melihat Xavier yang datang bersama istri dan anaknya.
Luna tercengang melihat seorang kenalan 'Dipo' datang. Dia malu, ingin kabur rasanya dari restoran.
Manik mata Xavier juga teralihkan pada Luna dan Dylan, matanya membelalak kaget melihat wajah familier duduk bersama Dipo.
"Lah–"
Dylan juga kaget melihat lagi 'Om' yang menjadi saksi kejahilannya hari itu.
***
Dari perkenalan mereka, Luna tau bahwa pria ini bernama Xavier, istrinya Caca dan putri mereka Vira. Xavier adalah teman satu angkatan yang sama-sama bersekolah di luar negeri dengan Dipo. Keduanya juga dipertemukan disana, mengetahui bahwa mereka berdua berasal dari negara dan kota yang sama, tidak butuh waktu lama untuk Dipo dan Xavier akrab.
Xavier yang kaget melihat anak di samping Dipo tambah kaget ketika Dipo memperkenalkan Dylan sebagai putranya.
Dylan sangat senang dengan Xavier dan Caca, bukan semata-mata karena keduanya mengatakan bahwa dia sangat lucu, tapi juga memberinya uang!
Di dalam mobil ketika mereka dalam perjalanan pulang, Dylan tidak henti-hentinya bersenandung sambil memegang erat angpao dadakan yang diberi Xavier untuk Dylan.
Luna juga mengintip di kaca spion atas mobil, melihat angpao tebal di pelukan anaknya. Dia diam-diam tersenyum licik, merencanakan hal yang akan membuat Dylan menjerit menangis.
Sesampainya dirumah, Dylan masih energik. Ketiga orang itu masuk kedalam rumah bobrok Luna, dan duduk di sofa mengistirahatkan tubuh mereka. Dylan yang bersemangat langsung membuka angpao yang dia punya, kaget ketika melihat isinya. Di sebelah Dylan, Luna yang senantiasa menemani anak itu juga kaget melihat isi angpao berupa tiga puluh lembar uang berwarna merah.
Pantas saja sangat tebal!
"Ini, mereka enggak salah ngasih segini?" tanya Luna mengerejap menatap uang itu.
"Iya, itu enggak banyak karena dadakan," balas Dipo.
"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, telus belapa, ya?" Dylan berpikir, dia baru bisa menghitung sampai sepuluh sedangkan selanjutnya dia tidak tau.
"Sini Mama hitung. Ini ada 30 lembar!"
"Wow!" Dylan juga berseru senang meskipun dia tidak tau berapa tiga puluh lembar itu. Ketika Dylan menoleh, Dylan yang melihat sang ibu menatap uangnya bagaikan serigala lapar buru-buru memasukan semuanya kedalam pelukan.
Luna mendengus.
"Kamu mau pelit sama mama? Dylan, anak kecil itu enggak boleh pengang uang banyak-banyak, nanti uangnya ilang. Sini mending Mama aja yang simpen uangnya."
"Dylan bisa simpen uang! Dylan punya babi, Ma," tolak Dylan dengan enggan.
"Sama aja walaupun uangnya dimasukin celengan babi, nanti gimana kalau dimakan tikus? Mendingan mama yang nyimpen, aman kalau sama Mama."
Dipo melirik Luna, berpikir apakah dia harus menghentikannya menipu sang putra atau tidak. Tapi setelah berpikir, Dipo memutuskan untuk berpura-pura tidak mendengarnya.
"Tapi–" Dylan menatap uangnya dengan nanar.
"Waktu kecil Mama beliin kamu mainan, beliin kamu makan, beliin kamu eskrim, beliin kamu baju, masa kamu enggak mau nyimpen uang kamu di Mama? Padahal uang Mama, Mama habisin buat kamu," ujar Luna dengan dramatis.
Bibir Dylan berkerut, dia diam-diam juga berpikir itu benar. Ibunya membelikan dia baju, eskrim dan semua makanan enak yang dia makan. Bukankah sangat jahat jika dia bahkan tidak mau membagi setengah uangnya untuk di 'titip' pada sang ibu. Berpikir demikian, Dylan dengan enggan menyerahkan uangnya dan menyisakan lima lembar untuknya.
"Ini buat di titip sama Mama, yang ini buat Dylan jajan."
"Ish, itu kebanyakan buat jajan." Luna mengambil dua lembar lagi, "Nah, itu buat jajan."
Dylan cemberut, meski begitu dia mengambil tiga lembar miliknya, berjalan gontai pada sang ayah.
"Papa~"
Dipo tersenyum, membawa Dylan ke pangkuannya.
"Huh gitu aja sedih." Luna dengan senang hati memasukan uang-uang itu kedalam dompetnya.
Jaman sekarang kebanyakan orang tidak lagi menggunakan uang tunai melainkan uang elektronik. Tapi dia tidak punya 'dompet elektronik' yang sedang hits sekarang, jadi hanya bisa menggunakan uang tunai. Perkembangan jaman sangat pesat, bahkan uang tidak lagi berbentuk fisik. Hanya deretan angka di layar.