"Dengan berat hati saya akan mengatakan kabar buruk pada kalian. Maaf Nyonya, saya tidak bisa menyelamatkan Tuan Yudda!" Dokter dengan pelan namun terdengar penuh ketegasan, mengatakan bahwa Tuan Yudda telah tiada.
"Apa, Dokter! Dokter tidak bisa menyelamatkan Ayah!" sudut mata Zeva langsung meneteskan air mata dengan begitu deras.
"Kenapa, Tuhan! Kenapa kau tidak ambil saja nyawaku sekalian! Kenapa kau mengambil semua orang yang aku sayang! Kenapa kau memberiku cobaan yang diluar batas kemampuanku. Aku tidak mampu, aku tidak mampu!!!" Zeva berteriak dengan histerisnya, sambil menjambak rambutnya dengan posisi duduk di lantai, hingga membuat orang yang menyaksikan kondisi Zeva sejak terjadinya pertengkaran dengan keluarga lainnya, langsung ikut meneteskan air matanya, mengerti dengan posisi yang begitu sangat memilukan.
Sedangkan keadaan Ana setelah mengetahui sang suami tidak bisa diselamatkan langsung pingsan tak sadarkan.
Sera yang melihat keadaan Zeva hatinya ikut nyeri, tapi Sera memilih membantu Ana untuk dibawa ke ruang rawat dengan dibantu oleh Raka. Siapa sih yang tidak tega melihat kondisi Zeva saat ini. Dikhianati oleh orang tersayangnya, terlibat masalah dengan putra dari mantan mafia hingga ingin menikahinya, dan ditambah dengan kabar kematian sang Ayah, dihari yang sama, di waktu yang sama, kalau bukan karena ketebalan hati Zeva dalam bersabar mungkin siapapun pasti tidak akan sanggup menghadapi masalah sebesar itu. Masih untung mental Zeva tidak lemah, kalau sampai lemah, mungkin bisa saja Zeva gila, atau bahkan memilih jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya.
Karena Zeva merasa sudah tidak mampu menerima cobaan secara bersamaan hanya dengan menumpahkan air matanya, akhirnya tubuh Zeva ambruk juga.
Bruk
Bagian orang yang masih melihat di sekitar Zeva Langsung menolong Zeva dan meminta bantuan dokter juga.
Fathir yang mendengar kabar duka dari rumah sakit, segera menuju ke rumah sakit, karena Fathir yakin keluarga Yudda pasti butuh pertolongannya, karena kalau ada apa-apa, pasti dirinyalah yang dimintai bantuan.
Setelah Fathir sampai di rumah sakit, dokter segera menunjuk dimana posisi Zeva berada, dan dimana posisi Ana berada.
Setelah dokter memberitahu keberadaan Zeva pada Fathir, akhirnya Fathir lah yang mengurus jenazah Yudda, dan membimbing dokter untuk mengantar jenazah Yudda dalam keadaan sudah bersih ke kediaman keluarganya.
Ana yang baru sadar dari pingsannya, dan disampingnya terdapat Sera dan juga Raka, segera bertanya dimana Yudda.
"Sera, dimana ayahmu?" tanya Ana
"Ibu, ayo kita pulang, Kak Fathir sudah membawa jenazah Ayah pulang," Sera mengajak Ana pulang, dengan dalih karena sang ayah sudah dibawa pulang. Mendengar Sera menyebut Yudda sebagai jenazah langsung menampar pipi Sera dengan keras.
"Jangan sebut ayahmu sebagai jenazah, karena ayahmu masih hidup. Dengar baik-baik kata Ibu, Sera! Ayahmu belum mati, ayahmu masih hidup, dokter saja sejak kemarin mengatakan bahwa ayahmu hanya lemah namun belum mati. Kalau sampai Ibu mendengar kamu menyebut ayahmu jenazah, maka akan kubuat kamu menjadi jenazah seperti yang kamu katakan pada ayahmu. "Dengan lantangnya Ana membantah perkataan Sera, yang menyatakan bahwa ayahnya sudah menjadi jenazah. Ana tidak terima sang suami disebut jenazah, karena bagi Ana, Yudda masih hidup, dan sampai kapanpun akan tetap hidup, dan terus mengira bahwa perkataan Dokter tadi hanyalah lemah saja seperti biasanya saat memberikan kabar mengenai keadaan Yudda. Sera tidak lagi mengeluarkan suaranya, karena Sera sudah mengerti dengan kondisi sang ibu.
Sera memberi kode pada Raka, agar Raka membantu ibunya untuk segera dibawa pulang. Raka pun membantu Ana untuk turun dari ranjang rumah sakit, lalu menuju ke mobil untuk segera pulang.
Sepanjang perjalanan dari rumah sakit menuju ke rumah, Ana selalu mengatakan bahwa Yudda tidak mati, dan mau tidak mau Sera maupun Raka mengiyakan perkataan Ana demi kenyamanan bersama dalam berkendaraan.
Sesampainya di rumah, Ana yang melihat banyaknya orang di halaman dan juga di dalam rumah langsung turun dari mobil tanpa Sera sempat untuk mencegahnya.
"Mau apa kalian rame-rame dirumah saya, pergi kalian dari rumah saya, saya tidak punya acara apapun!" Ana mengusir semua orang yang sedang turut berduka akan meninggalnya Yudda. Semua orang yang melihat Ana bersikap seperti orang yang sudah kehilangan akalnya, merasa kasihan.
'kasian ya Bu Ana'
'tidak menyangka ya, Pak Yudda meninggal dengan begitu cepat, padahal belum Sampai 1 bulan sakit'
'Kasihan ya, Pak Yudda meninggal dengan memberi kenang-kenangan masalah besar pada Tuan Wijaya '
'bakal jadi pengangguran kedua anak pak Yudda '
Begitulah kira-kira bisikan para tetangga yang Sera dengar, namun Sera mengabaikan bisikan para tetangganya, dan lebih memilih menenangkan sang Ibu yang terus berteriak mengusir orang-orang yang ada di rumahnya.
"Bu Ana, turut berduka cita ya atas meninggalnya Pak Yudda," ibu RT memberikan ucapan belasungkawa nya pada Ana, membuat Ana langsung menghentikan tangisannya.
"Tapi suami saya belum meninggal Bu RT." Ujar Ana dengan nada yang mulai terdengar lemah, mulai menyadari kesalahannya karena mencoba untuk menolak takdir.
"Harusnya Bu Ana merasa bersyukur, kalau memang Bu Ana sayang pada Pak Yudda, Bu Ana harus mengikhlaskan kepergian Pak Yudda, dan bersyukur karena Pak Yudda sudah lepas dari sakitnya. Apa Bu Ana tidak kasihan pada Pak Yudda, meski Pak Yudda belum meninggal, tapi Pak Yudda terus-terusan menahan sakit, Bu Ana tidak tega kan!" Bu RT mencoba menyadarkan Ana, bahwa Bu Ana harus ikhlas menerima kepergian Yudda.
Zeva sendiri baru saja sadar dari pingsannya, dan dokter mengatakan agar Zeva tidak terlalu memikirkan kepergian Yudda. Dokter mengatakan bahwa kondisi Zeva saat ini sangat lemah, tidak hanya fisiknya, tapi batin Zeva juga lemah, apalagi mental Zeva. Zeva yang mendengar nasehat dari dokter hanya mengiyakan saja namun tetap tidak bisa santai begitu saja seperti saran dokter karena ayahnya yang meninggal.
Zeva keluar dari rumah sakit, dan menunggu taxi, karena Zeva tidak mungkin pulang jalan kaki dalam keadaan lemah.
Cukup lama Zeva menunggu, akhirnya ada juga taxi yang bisa mengantar dirinya. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah, Zeva terus dihantui oleh bayang-bayang kebersamaan dengan Yudda yang dipenuhi oleh kebahagiaan. Tanpa Zeva sadari, sudut mata Zeva kembali mengeluarkan air mata hangatnya, karena masih tidak percaya bahwa ayah tercintanya akan meninggalkan dirinya selamanya. Kabar buruk yang ia dapat dari dokter tidak hanya kondisi ayahnya yang lemah, bahkan kabar kematian langsung yang ia dapatkan. Tanpa Zeva sadari, taxi yang membawa dirinya pun sampai dirumah. Supir taxi pun memanggil Zeva, dan mengatakan bahwa mereka sudah sampai. Zeva yang sadar karena dirinya banyak melamun, langsung menyerahkan uang beberapa lembar pada supir taxi sebagai ongkosnya.
Zeva keluar dari taxi dan berjalan dengan pelan untuk masuk kedalam rumahnya. Dari kejauhan Zeva melihat ada gambar sang Ayah yang sudah di kalungi bunga kematian, membuat mata bengkak Zeva kembali meneteskan air matanya, seakan-akan air mata Zeva tidak pernah habis meski terus menangis.
"Siapa yang menyuruhmu datang kesini, hah?" dengan lantangnya Ana melayangkan kalimat tanya, yang pertanyaan tersebut tidak pantas dilayangkan pada Zeva, karena Zeva sendiri adalah anak dari Yudda. Zeva cukup terkejut mendengar suara Ana yang terdengar sangat marah padanya, namun tidak membuat langkah Zeva terhenti.
Ana yang melihat Zeva abai dengan ucapannya langsung menarik tangan Zeva, dan berniat ingin menyeret Zeva keluar dari rumah.
"Aku tidak mau bertemu dengan siapapun, aku hanya ingin bertemu dengan Ayah yang selalu berperilaku adil denganku, dialah Ayah yang sesungguhnya menurutku." Ujar Zeva dengan nada dinginnya, membuat hati Ana sedikit tersentil mendengar deretan kalimat yang Zeva lontarkan tadi.
Zeva terus membawa langkahnya mendekati tubuh ayahnya yang sudah terbujur kaku dengan seluruh tubuh yang sudah tertutup oleh kain. Tubuh Zeva langsung ambruk tepat di dekat jenazah Yudda, dengan tangan gemetar, Zeva menyentuh wajah Yudda tanpa membuka kain tersebut.
"Ayah, ucapkan selamat menempuh hidup baru yang akan dipenuhi oleh penderitaan untuk putri sulung mu ini. Kalau Ayah tidak mampu mengucapkan kalimat itu, maka izinkan aku untuk ikut dengan Ayah. Aku ikhlas Ayah pergi untuk selamanya, tapi aku tidak ikhlas menerima perlakuan orang yang menyakiti aku. Ayah, tunggu putri sulung mu ini, karena cepat atau lambat, kita pasti akan bertemu." Perkataan Zeva kali ini mampu menimbulkan tanda tanya, dan bahkan berhasil membuat orang yang mendengar kalimat Zeva dengan penuh kesungguhan tadi meneteskan air matanya.
Tanpa Zeva sadari, rupanya saat Zeva mengucapkan kalimat panjang tadi ada seseorang yang menyunggingkan senyumnya. Dari banyaknya orang yang menangis karena mendengar kata-kata Zeva, hanya satu orang yang memperlihatkan senyumannya.
"Tidak semudah dan secepat itu kamu bisa bertemu dengan ayahmu, karena aku yang akan menjadi penghalang terberat mu." Ujar seseorang tepat di dekat telinga Zeva, membuat jantung Zeva seperti sudah tidak berfungsi karena berhenti berdetak, akibat terlalu terkejut mendengar suara yang sangat teramat Zeva kenal.
Zeva menoleh dengan gerakan pelan ke arah sampingnya, guna memastikan dugaannya mengenai orang yang berbisik di dekat telinganya.
Degh