Pyar
Begitu kerasnya Ana menampar pipi halus Zeva, sampai sudut bibir Zeva sedikit mengeluarkan cairan merah segar akibat dari tamparan Ana.
"Kamu sudah kelewatan, Zeva!" ujar Ana dengan nada dinginnya
"Jadi kata-kataku jauh lebih kelewatan daripada kelakuan Sera, Bu?" tanya Zeva dengan senyum hambar nya. Zeva mulai melangkah mendahului Ana dan juga Sera menuju jalan raya.
Raka dan Fathir sendiri bukannya tidak menyaksikan perdebatan Zeva dan Ana, hanya saja mereka memilih diam, apalagi Raka semakin merasa bersalah pada Zeva, karena kesalahan dirinya telah mengantar Zeva ke dalam penderitaan.
"Selamat ya! Selamat karena kamu bisa menjadi kekasihku Selama satu tahun lebih, dan setelah itu kedepannya akan menjadi suami adikku. Selamat!" ujar Zeva sambil memperlihatkan senyum termanisnya, membuat Raka tidak mengerti kenapa Zeva terlihat tidak kecewa pada dirinya, seperti reaksi yang ditunjukkan saat di rumah sakit.
"Zeva, apa yang terjadi denganmu, kalau memang kamu kecewa sama aku, perlihatkan kekecewaan kamu, jangan pura-pura tegar seperti ini?" dengan bodohnya Raka melempar pertanyaan tersebut hingga membuat tawa Zeva semakin terdengar sedikit nyaring.
"Memangnya aku harus apa! Apa aku harus menangis tersedu-sedu karena kekasihku direbut adikku? Atau aku harus kecewa seperti yang kamu katakan?" Zeva masih memperlihatkan senyumnya, dan justru semakin melebarkan senyumnya saat mendengar pertanyaan Raka, hingga membuat Sera dan juga Ana yang sudah sampai di jalan Raya, lebih tepatnya di dekat Zeva dan dua lelaki yang masih setia memandang Zeva dengan pandangan menyedihkan, langsung menghentikan langkahnya.
"Untuk apa aku menangis, aku tidak salah, aku tidak mengambil siapapun dari dia, dan justru dialah yang mengambil segalanya dariku. Yah, SEGALANYA! Kenapa kamu tega banget sama kakak. Oh tidak! Tidak hanya kamu, tapi kamu juga Mas. Kalian telah melupakan aku saat kalian memandangi tubuh polos kalian masing-masing, kalian benar-benar b******k!" berbagai macam kata Zeva lontarkan, namun kedua orang yang telah pengkhianat bagi dirinya hanya diam saja, hingga Zeva kembali berkata dengan nada yang sudah naik beberapa oktaf.
"KENAPA KALIAN TEGA…
"Zeva, cukup! Ini masih di jalan, dan bukan kamu yang pusing dengan setiap masalah yang ada di keluarga kita. Jadi sekarang, ayo selesaikan di rumah!" Ana membentak Zeva dengan begitu kerasnya, bahkan suara Ana berhasil membuat orang yang ingin lewat langsung menghentikan langkahnya dan melihat ke arah dimana satu keluarga telah terjadi perdebatan sengit, antara ibu dan anak.
"Sampai dirumah pun jalan yang ibu ambil untuk menyelesaikan masalah ini hanya satu, yaitu menikahkan mereka.
Bukan itu yang Ibu bilang saat di rumah sakit kemarin?" ujar Zeva dengan santainya yang langsung pergi begitu saja, mengabaikan tatapan orang padanya, dan mengabaikan kemarahan ibunya yang semakin terlihat marah padanya.
Benar, Ana semakin marah saat melihat keberanian Zeva semakin tidak bisa dikendalikan. Terlihat jelas kemarahan Ana dari raut wajah yang terlihat merah, dan bahkan pandangan Ana masih belum teralihkan dari Zeva, meski sosok Zeva sudah cukup jauh jaraknya dari posisi Ana.
Dua hari setelah kematian Yudda, Ana langsung meminta Raka untuk segera menikahi Sera.
Ana tidak meminta resepsi atau pernikahan yang mewah, Ana hanya minta gelar status istri saja dari Raka, jadi yang terpenting saat ini hanya akad saja.
"Sera, katakan pada Raka, agar Raka segera menikahimu, nanti malam atau nanti sore!" ujar Ana dengan nada dinginnya, namun berhasil membuat orang lain jantungan. Bukan Sera yang terkejut mendengar ucapan Ana, melainkan Zeva.
Zeva yang ikut bergabung untuk sarapan dengan ibu dan adiknya langsung meletakkan sendok dan garpu nya dengan kasar saat mendengar kata menikah.
"Ibu, tanah kuburan Ayah masih basah, kita masih dalam keadaan berduka, bisa-bisanya Ibu menyuruh Raka segera menikahi Sera, dan bahkan Ibu minta sore ini." Zeva langsung membantah keinginan Ana mengenai pernikahan Sera.
"Apa kamu masih keberatan melepaskan Raka untuk adik kamu, dan membiarkan satu keluarga menanggung malu karena perut Sera yang akan semakin membesar? Pikirkan baik-baik itu, Zeva! Jangan hanya memelihara EGO!" Ana langsung membalas perkataan Zeva dengan sengitnya, hingga membuat Zeva dengan refleks nya menggelengkan kepalanya sebagai tanda membantah tuduhan Ana.
Zeva tidak membalas ucapan Ana, karena menurut Zeva membalas pun akan percuma. Lagi pula, menurut Zeva siapa yang egois, dia yang disakiti, adiknya yang berbuat salah, adiknya yang hamil tanpa suami, tapi dirinya yang dikatakan egois sama ibunya.
Zeva langsung mendorong kursi yang didudukinya saat makan, lalu berdiri dan meninggalkan makanan nya yang baru saja di habiskan dua suap. Zeva sudah merasa tidak berselera untuk melanjutkan sarapannya, karena lagi-lagi ibunya menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi pada Sera.
"Aku rindu kebersamaan saat bersama Ayah, meski perlakuan baik Ibu terhadapku, PALSU. Padahal baru kemarin Ayah pergi selamanya, tapi sudah merasa rindu dan sudah berasa lama ninggalin aku." Gumam Zeva yang diiringi dengan air mata yang mulai menetes.
Yah, sebenarnya perlakuan manis Ana pada Zeva semua palsu. Perlakuan manis itu saat ada Yudda, beda lagi kalau sudah tidak ada Yudda, Ana pasti akan memperlihatkan perlakuan yang sebenarnya pada Zeva.
"Ngerasa jadi anak tiri, tapi aku anak kandungnya." Ujar Zeva lagi sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Zeva kembali merebahkan tubuhnya di ranjang, karena masa cuti kerjanya masih ada, jadi Zeva akan menggunakan kesempatan itu dengan istirahat.
Baru saja Zeva merebahkan tubuhnya, Ana sudah berteriak memanggilnya, hingga membuat Zeva langsung bangun dan beranjak keluar.
Ceklek
"Ada ap…
"Kamu temui mantan mafia itu, Ibu tidak tahu bagaimana cara mengatasinya karena permasalahan nya sama kamu, bukan sama Ibu." Dengan cepat Ana langsung meminta agar Zeva menemui mantan mafia yang tak lain adalah Arga. Zeva cukup terkejut mendengar ibunya menyebut mantan mafia, yang artinya Arga ada dirumahnya.
Dengan langkah cepat, Zeva langsung keluar dari kamarnya, untuk menemui Arga.
"Tuan!" lirih Zeva pelan saat melihat keberadaan Arga di depan pintu dengan posisi berdiri.
Arga yang mendengar suara yang begitu sangat merdu ditelinga nya langsung menoleh dan tersenyum saat melihat Zeva.
"Urusan pemakaman ayahmu sudah selesai. Ayo, kita selesaikan masalah kita!" Zeva yang mendengar ucapan Arga langsung menggelengkan kepalanya cepat, bersamaan dengan air mata yang mulai menetes dari kelopak mata indahnya.
"Tuan, Ayah baru saja meninggal, dan bahkan tanah kuburan Ayah masih basah, bagaimana bisa aku harus menikah dalam keadaan berduka seperti ini," Zeva menolak Arga dengan terang-terangan, membuat Arga terlihat murka mendapat penolakan dari Zeva.
"Menikah denganku, atau aku bongkar kuburan ayahmu!" dengan penuh ancaman, Arga memaksa Zeva untuk menikah.
"Aku tahu anda sangat kejam Tuan. Tapi tolong, mengerti dengan kondisi saya saat ini." Zeva memohon pada Arga, agar Arga tidak memaksa dirinya menikah disaat dirinya sedang berduka.
Benar dugaan Zeva, tidak menikah di hari kematian ayahnya, bukan berarti akan menikah tahun depan, baru saja dua hari ayahnya dikebumikan, sekarang Arga sudah datang dan mengajaknya menikah.
"Aku tidak peduli dengan kondisi mu. Menikah denganku, atau aku bongkar kuburan ayahmu. Detik ini juga aku akan meminta anak buahku untuk…
"Ikuti saja apa kemauan Tuan muda ini Zeva. Bukankah kamu ingin tetap melanjutkan pernikahanmu. Kamu akan tetap menikah seperti niat awal mu, karena adikmu juga akan menikah." Dengan cepat Ana langsung meminta Zeva menuruti kemauan Arga untuk menikah, hingga kalimat Arga terpaksa terhenti saat mendengar ucapan Ana.
"Ibu. Kenapa Ibu tega melakukan semua ini Zeva, baru saja Zeva terluka karena sebuah pengkhianatan, dan ditambah kematian Ayah, sekarang Ibu memaksa aku menikah. Punya dendam apa sih Ibu sama aku." Pecah sudah tangis Zeva yang sejak tadi Zeva tahan, hingga membuat Ana yang mendengar ucapan Zeva langsung bergetar. Entah apa yang membuat hati Ana bergetar mendengar ucapan Zeva, yang jelas perkataan Zeva berhasil membungkam mulut Ana.
Arga yang melihat Zeva masih tetap fokus menatap Ana, dengan segera mengambil ponselnya dan
"Bongkar kuburan Tuan Yudda, dan hancurkannya semua keluarga yang ditinggalkannya…