Bab 3
Setibanya di depan unit apartemen yang dulu pernah ditempatinya, Elora hanya diam menatap pintu tak beranjak sedikit pun. Ia masih sangat ragu untuk masuk ke dalam meski sudah memegang keycard yang didapatnya dari Gunadi–keamanan di apartemen itu.
“Seharusnya aku gak datang ke sini ….” Elora pun mulai membuka pintu. Saat pandangannya menemukan keberadaan Satria di sana, seketika rasa gugup seperti membuat jantung berdetak tak beraturan.
Satria yang sudah ada di dalam pun segera menoleh, melihat Elora yang kali ini tampak sederhana dengan mengenakan celana jeans, kaos dan sepatu kanvas. Rambutnya yang panjang tergerai indah dengan wajah pucat tanpa make up. Perempuan itu masih cantik seperti dulu, bahkan setelah dua tahun tak bertemu ia tampak lebih dewasa dan tenang.
“Masuklah!” perintah Satria saat melihat Elora hanya berdiri mematung di depan pintu.
Tanpa suara Elora masuk ke dalam dan menutup pintu perlahan. Ia melihat semua barang yang ada di apartemen masih sama dari yang terakhir kali dilihatnya. Hanya ada beberapa posisi yang berubah, menandakan Satria masih sering datang ke apartemen itu. Bahkan saat ini, Elora masih melihat sepatu-sepatu mahal miliknya berada di lemari sepatu dan tertata rapi.
“Kok gak dibuang, Mas?” tanya Elora spontan dengan suara lirih ketika melihat sepatu-sepatunya.
“Tak ada satu pun barang milikmu yang dipindahkan, lihat saja di lemari di dalam kamar, semua masih sama. Aku sudah memberikannya semua kepadamu dan kamu bisa mengambil semua barang-barang itu kapan pun kamu mau,” ucap Satria cepat sambil menghempaskan tubuhnya di sofa.
Baru saja Elora hendak bersenang hati dengan sikap Satria yang masih menyimpan barang-barang miliknya segera urung ketika ia melihat dan beberapa sepatu wanita yang bukan miliknya juga berada di lemari sepatu. Tentu saja itu pasti milik Miya.
“Duduklah,” suruh Satria ketika melihat Elora menatap sepatu highheels milik Miya yang juga berada di lemari sepatu.
Seperti robot Elora pun balik badan dan berjalan perlahan lalu duduk di salah satu sofa.
“Kapan kamu kembali?” tanya Satria sambil menuangkan wine untuk dirinya sendiri.
“Dua bulan yang lalu,” jawab Elora pelan.
“Tinggal dimana sekarang?”
“Tinggal sama mami, dirumah.”
“Apa kabar Tante Nirmala? Menurut Mama sejak kita berpisah, dia sudah nggak pernah datang ke acara keluarga besar.”
“Kabar Mami baik.”
“Terus terang aku cukup terkejut melihatmu di kantor pagi tadi. Aku nggak nyangka salah satu karyawan baruku ternyata kamu dan tentu saja rasanya jadi sangat canggung, apalagi ada Miya juga. “
Hening. Elora hanya bisa diam dan mengalihkan pandangannya. Sebenarnya ia rindu pada Satria dan ingin menatap wajah pria itu, tapi entah mengapa ia tak sanggup. Ada rasa sakit, rindu dan cinta yang bercampur bersamaan.
“Aku harap kamu masih ingat pembicaraan kita di pantry, aku harap nggak ada yang tahu tentang masa lalu kita juga siapa Miya. Aku tahu pasti canggung untukmu nanti saat mulai bekerja, karena Miya salah satu senior manager tim marketing and sales dan ia juga incharge dalam campaign product yang dibuat oleh tim creative. Kamu pasti akan sering bertemu dan berdiskusi dengannya. “
“Tenang saja, Mas, aku datang untuk bekerja, tapi juga mungkin nggak akan lama … jika kalian nggak nyaman melihatku, tolong bertahan saja selama 6 bulan sampai probation selesai,” ucap Elora perlahan.
Melihat Satria hanya diam dan meneguk winenya membuat Elora sedih, ia seolah membaca bahwa Satria tak keberatan jika ia bisa segera resign.
“Jika hanya ini yang mau Mas Satria bahas, aku sudah mengerti kok. Aku akan berusaha untuk nggak terlihat di mata kalian berdua selama di kantor. Nggak usah pedulikan aku, nggak perlu menyapa, dan pura-pura saja nggak kenal aku,” ucap Elora getir dan segera berdiri untuk segera pergi.
“Kamu nggak mau bawa barang-barangmu?” tanya Satria tiba-tiba.
“Kenapa? Barangku terlalu banyak dan menghabiskan tempat sampai nggak ada tempat untuk barang Mbak Miya?”
“Kami nggak selalu ke sini, memang ada beberapa barang Miya yang ditinggal disini, tapi nggak banyak.”
Jawaban Satria benar-benar menohok perasaan Elora. Rasanya ia ingin berteriak dan bertanya, apakah tak ada sedikit pun perasaan yang tersisa untuknya sehingga Satria bisa lebih menghargai?
“Apa no rekeningmu masih sama?” tanya Satria lagi.
“Gak usah, Mas! Kali ini aku sudah bisa mengatur keuanganku sendiri. Aku sudah nggak punya utang, kartu kredit dan juga paylater untuk aku bayar.”
“Nice! Tapi Elran masih kuliah bukan? Semester berapa dia sekarang?”
“Untuk Elran aku masih bisa membantu mami untuk mencari biaya kuliahnya, lagi pula ia sudah hampir selesai. Sudah ya, Mas, aku pamit pulang. Aku takut Mami marah jika aku pulang terlalu malam.”
“Ayo aku antar.”
“Nggak usah.”
“Sudah, ikut saja! Aku nggak tahu kapan lagi bisa bicara bebas sama kamu seperti ini.”
“Kenapa? Takut Mbak Miya marah?”
“Bukan marah, tapi aku ingin menjaga perasaannya. Dia pernah sangat cemburu sama kamu dan menganggap kita akan benar-benar menikah, apalagi sekarang Wira semakin posesif pada Miya dan membuat waktu kami jadi semakin terbatas. Aku nggak mau di waktu yang terbatas itu hanya habis dengan pertengkaran karena cemburu dan curiga.”
“Gak usah! Gak usah mengantarku!” ucap Elora cepat lalu berjalan menuju pintu, hanya saja langkahnya terhenti kembali saat mengingat ada sepatu kesayangannya yang masih ada di lemari.
Gerakan Elora yang berjalan cepat dan mendadak berhenti membuat Satria menabrak wanita itu hingga membuat tubuh Elora limbung dan nyaris jatuh ke belakang. Beruntung, Satria dengan sigap melingkarkan tangannya pada pinggang Elora. Menahan tubuh wanita itu agar tidak jatuh. Namun, karena hilang keseimbangan, Satria pun ikut terjatuh bersama Elora setelah menarik tangan wanita itu ke arahnya. Kini, Elora jatuh tepat di atas tubuh Satria. Keduanya saling menatap. Hanya diam seolah bicara dari sorot mata yang tak bisa terucap.
“Kenapa harus begini? Kenapa juga jantungku berdebar cepat seperti ini?” Elora masih diam. Tatapannya masih tak teralihkan. Wajah pria yang selama ini ia cintai, tampak begitu dekat dilihat.
Tiba-tiba, suara pintu apartemen terdengar akan dibuka oleh seseorang. Keduanya spontan menoleh. Menatap pintu apartemen masih dalam posisi yang sama.
“Apa itu Miya?” Satria bergumam. Khawatir jika Miya akan salah paham jika melihatnya bersama Elora di apartemen.
“Apa-apaan ini?!” tanya Miya ketus ketika melihat kekasihnya baru saja berdiri bersamaan dengan Elora. Kedua tampak canggung menatap kedatangan Miya yang tiba-tiba.
“Gimana ini? Bodoh kamu, El, bodoh, kenapa juga mau aja disuruh datang ke sini?” Elora tampak gugup. Masih tercengang dengan kedatangan Miya yang sungguh di luar dugaannya.
Bersambung