Elora tertegun ketika melihat masih ada sisa sate diatas meja tepat ketika Nirmala masuk ke ruang makan dan melihat anak perempuannya berdiri termenung sambil memakai sepatu heelsnya.
“Tadi malam kamu pulang sama Satria ya?” tanya Nirmala tanpa basa-basi.
“Kok mami tahu?”
“Tuh, sisa sate yang kamu pesan. Tadi malam Satria datang dan mengantarkannya kesini. Dia sempat masuk dan ngobrol sama mami sambil makan nasi goreng dan sate yang kalian pesan.”
Elora terdiam.
“Dia juga udah cerita kalau kalian satu perkantoran sehingga tak sengaja bertemu lalu ia mengantarkan kamu pulang. Gimana pun kita masih bersaudara, jadi memang gak bisa terlalu memutus hubungan silaturahmi walau sudah tidak bisa berhubungan.”
Elora hanya diam dan membereskan isi tasnya sebelum ia berpamitan pada sang ibu.
“Elora pamit ya mi.”
“Mami ngerti kenapa kamu sedih, tadi malam dia juga bilang kalau sudah punya kekasih. Saatnya move on, El.”
Ucapan Nirmala membuat Elora tersedak sampai terbatuk- batuk sendiri dan segera mencium punggung tangan sang ibu sebelum ia bergerak meninggalkan rumah.
Untuk apa Satria sampai bilang bahwa ia sudah memiliki kekasih?! Umpat Elora kesal dalam hatinya. Sebegitunya kah ia tak ingin terganggu lagi dengan kehadiran dirinya sehingga ia segera memberikan batasan.
Belum pulih luka dihatinya tadi malam tetapi saat ini Elora seolah tak diberi nafas. Elora hanya bisa mengambil handphonenya dan mengirimkan pesan pada Risma untuk bertemu. Ia butuh sahabatnya untuk mengeluarkan isi hatinya.
***
“Menurutku ini masih mentah! Ini kurang menarik jika kita mensosialisasikannya kepada konsumen, mereka tidak memiliki alasan mengapa harus menggunakan product kita! Jangankan untuk repeat order, tertarik pun tidak!” ucap Miya tegas terlihat kesal setelah melihat hasil presentasi tim creative, dimana Elora yang menjadi PIC untuk pengembangan product.
Elora hanya bisa menundukan kepalanya dan mencoba mendengarkan dengan jernih apa yang diinginkan Miya akan pekerjaannya, tetap saja walau berusaha netral dan tenang, hatinya merasa tidak enak, mungkin karena yang menegurnya adalah Miya.
“Aku tunggu revisinya hari Senin! Sudah tidak bisa menunggu lama, karena product ini harus terus bergerak disosialisasikan di market!” ucap Miya cepat sambil menutup laptopnya dan menghela nafas panjang sambil melirik ke arah Elora yang tengah tertunduk di depan sebelum akhirnya ia berdiri dan meninggalkan ruangan meeting diikuti timnya yang lain.
“Gak usah dimasukin ke hati ya,” bujuk Fitra mencoba menenangkan hati Elora.
Elora hanya tersenyum dan mengangguk cepat lalu segera membereskan laptopnya untuk kembali keruangan kerjanya.
“Gimana kalau kita makan siang dulu, biar pikiran tenang perut kenyang,” ajak Fitra pada Elora.
Elora menggelengkan kepalanya.
“Aku gak mood mas, aku ingin kembali ke ruangan untuk bikin kopi lagi pula perutku gak lapar.”
Fitra hanya bisa mengangguk lalu berpisah dengan Elora karena ia ingin langsung menuju foodcourt. Sedangkan Elora berjalan menuju pantry untuk mengambil gelas dan membuat secangkir kopi. Tetapi langkahnya terhenti ketika ia melihat Satria yang tengah berbincang di pantry bersama 2 atasannya yang lain dengan posisi memunggungi.
Elora segera bergerak mundur dan memutuskan untuk kembali keruangan dulu agar ia bisa menyimpan laptop dan menunggu Satria dan lainnya beranjak pergi dari pantry. Ia sudah berjanji di dalam hatinya agar membatasi pertemuannya dengan Satria.
Elora tak menyadari bahwa Satria melihat bayangannya yang berbalik arah dari kaca jendela. Perlahan Satria menoleh kebelakang dan melihat Elora yang berjalan menjauh menuju ruangannya. Ucapan Elora yang masih memendam rasa padanya membuat Satria merasa bersalah. Bagaimanapun ia mengakui bahwa saat mereka bersama ia menikmati perhatian dan perasaan Elora padanya, sehingga gadis itu semakin terikat dan seolah tak bisa kemana-mana.
Tadi pagi Satria sempat bertengkar dengan Miya karena Miya tak suka Satria mengantar Elora pulang.
“Aku hanya mengantarnya tak ada maksud lain!”
“Tidak! Tidak mas! Aku tidak mau! Aku tidak mau kamu mengantar perempuan lain kemana pun jika tak ada urgensinya! Apalagi mengantar Elora! Jelas-jelas dia menyukaimu! Kali ini aku tidak akan memberikan celah pada siapapun untuk mendekati kamu!”
“Miya, jangan berlebihan!”
“Bagaimana aku tak berlebihan?! Aku takut mas! Setiap hari aku berdoa agar kita bisa segera bersama! Sedangkan aku tak memiliki alasan lain agar bisa bercerai dengan mas Wira! Tapi hatiku buat kamu!”
Ingin rasanya Satria memeluk Miya dan menciumi bibir kekasihnya saat mendengar kekasihnya merajuk sedih, tetapi ia tak bisa. Yang ia lakukan hanyalah menyentuh lembut jemari tangan Miya yang berada diatas meja agar tak ada orang lain yang melihat.
“Percaya padaku, sudah 4 tahun kita bersama, aku akan selalu menunggumu … bisakah kita tak berdebat akan hal ini? Aku sendiri sudah tak sabar menunggu waktu kita untuk menonton konser dan menghabiskan malam bersama setelahnya. Waktu kita hanya sedikit dan lebih baik jangan habis untuk berdebat hal sepele seperti ini,” bujuk Satria setengah berbisik mencoba menenangkan Miya.
Miya hanya bisa menghela nafas panjang dan menatap Satria penuh rindu dan cinta. Rasanya tak pernah cukup untuk dirinya bersama Satria walau mereka setiap hari bertemu. Andai saja ia tak diancam dikeluarkan dari keluarga jika meminta cerai pada Wira tentu saja sudah sejak lama ia akan terus berusaha menerus untuk meminta perpisahan dengan suaminya. Kondisi orang tuanya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan membuat Miya menahan dirinya agar tak semakin membuat keluarganya malu.
“Tenangkan hatimu sayang, dua hari kita akan kembali bersama,” bisik Satria perlahan mencoba kembali meyakinkan Miya.
Satria hanya bisa menatap kepergian Elora yang terlihat tak ingin bertemu dengannya. Mungkin itu yang terbaik agar Elora bisa move on dan mendapatkan pria lain yang terbaik untuknya.
***
Wira menatap tiket konser musik yang kini telah berada ditangannya. Beberapa hari yang lalu ia tak sengaja melihat Miya browsing tiket konser ini di laptopnya.
“Sedang apa Mi?” tanya Wira.
“Ah, browsing biasa aja … ohya mas, tanggal 18 nanti kamu jadi tugas ke German?” tanya Miya sambil menutup laptopnya perlahan dan berdiri untuk menyediakan sarapan pagi Wira.
Wira mengangguk cepat dan segera duduk di kursi meja makannya.
“Kamu mau ikut?” tanya Wira tiba-tiba.
“Akh, mana bisa mas, apalagi kamu sampai seminggu disana, ada pekerjaan yang harus aku selesaikan dan sisa cutiku hanya tinggal sedikit yang akan aku gunakan untuk lebaran nanti.”
“Aku akan berangkat seminggu, kamu tinggal saja dirumah ibu, biar tidak kesepian dirumah.”
“Bisa saja, mas Wira berangkat tanggal 18 apa tanggal 17?”
Pertanyaan Miya membuat Wira mengangkat wajahnya, entah mengapa ia merasa Miya seolah ingin memastikan kepergiannya.
“Kok kamu kayanya ingin banget aku pergi?”
“Apa sih mas, aku cuma nanya aja tak ada maksud lebih.”
“Memangnya kamu ada rencana untuk pergi saat aku tidak ada nanti?”
“Hmm, belum tentu juga … ada temanku yang ingin mengajakku bertemu, tetapi belum aku iyakan… gimana nanti,” jawab Miya berbohong.
Entah mengapa Wira merasa ingin sekali menanyakan apakah teman itu adalah Satria, tetapi ia berusaha tetap tenang dan biasa saja, jika ia tak bisa menahan dirinya, Miya pasti akan menutup segala akses perselingkuhannya.
Sebuah telepon masuk dari kantornya sehingga Wira segera beranjak dari tempat duduk dan berpindah keruangan lain untuk membahas pekerjaan. Saat ia kembali, ia melihat Miya tampaknya tengah mengirimkan pesan dari handphone. Wajahnya terlihat ceria dan terlihat senyuman yang tersungging dibibirnya.
“Dari siapa? Kok senyum- senyum sendiri?” tanya Wira lagi.
“Akh, dari Sinta … dia mengirimkan video lucu,” jawab Miya cepat dan segera melangkah menjauh dari Wira dan meletakkan handphonenya di sudut yang lain.
Baru saja Wira hendak mengatakan bahwa kantornya menghubungi dan memberitahu bahwa keberangkatannya diundur menjadi tanggal 20, tetapi hatinya enggan dan entah mengapa ingin merahasiakannya dari Miya.
Kini ia berada di sebuah bar menatap tiket konser yang akan berlangsung 2 hari lagi yang baru saja ia beli dari seorang LC yang biasa menemaninya saat menghabiskan waktu di bar atau berkaraoke.
Ia juga bukan pria yang setia-setia amat, sesekali ia juga bersenang- senang dengan perempuan - perempuan bar dan karaoke bersama teman-temannya, bahkan ia kini selalu memanggil Sarita salah satu LC untuk menemaninya, karena perempuan ini begitu sabar dan tulus mendengar ceritanya. Tetapi hanya disitu, ia hanya melampiaskan nafsunya saja, tetapi tak pernah membawanya sampai keluar ruangan atau membuat hubungan lanjutan.
“Kamu yakin mas, mau memergoki istrimu dan selingkuhannya? Apa kamu yakin ia masih bersama pria itu?” tanya Sarita sambil menuangkan wine ke gelas Wira yang kosong.
“Andai kamu tahu rasanya hidup bersama seseorang yang kamu cintai, tetapi ia sudah tak mencintaimu. Sikapnya yang baik terasa kosong untukku, tak ada rasa dan perasaan lagi disana. Ia tak pernah menatapku dengan tatapan cinta.”
Wira mendecakkan lidahnya dan menatap Sarita lalu mencium bibir perempuan itu mesra dan melepaskannya perlahan. Betapa nikmatnya bisa melampiaskan nafsu pada perempuan yang ada di hadapannya ini, walau alasan demi uang tetapi ia melayani dirinya bak seorang raja. Wira menghempaskan tubuhnya kembali ke Sofa saat teringat bahwa Miya mungkin juga melakukan hal yang sama dengan Satria. Ada rasa sakit dihatinya jika mengingat hal itu, dan kini ia pun melakukan hal yang sama dengan apa yang istrinya lakukan.
Pernikahan macam apa ini?! Pikir Wira dengan perasaan sedih dan marah.
“Kenapa kamu tak berpisah saja daripada tersiksa seperti ini terus?” tanya Sarita sambil menyandarkan tubuhnya didada Wira dan membiarkan pria itu memeluknya erat.
Bercerai? Tidak! Ia tidak akan memberikan kemudahan itu agar jalan Miya bersama Satria meluncur mudah! Harga dirinya sudah hancur oleh sang istri, dan kemarahannya yang akan membuatnya selalu bertahan untuk menyiksa mereka agar tak bisa bersama.
Wira kembali menatap tiket konser yang berada di tangannya sambil memeluk Sarita. Kali ini ia telah membuat rencana, dan ia akan mempermalukan tak hanya Miya tetapi juga Satria.
Bersambung.