Miya segera membereskan tas kerjanya dan hendak mengambil laptop dibangku belakang mobil ketika mobil yang dikendarai Wira – sang suami hampir sampai ke lobby. Wira yang mulai memelankan mobilnya setengah melirik kepada sang istri yang segera kembali menyemprot parfum dan merapikan dirinya.
Ia hanya bisa menghela nafas panjang ketika melihat Miya tampak bersemangat jika sudah sampai di kantor, tidak jika bersamanya. Walau bersikap biasa saja tetapi Wira bisa merasakan bahwa tak ada lagi rasa cinta dari sang istri. Sikap baik dan manisnya terasa datar.
“Ada rencana meeting kemana hari ini?” tanya Wira sebelum memberhentikan mobilnya.
“Hanya lunch meeting aja, tetapi aku belum tahu tempatnya dimana. Sudah ya, kita bertemu lagi nanti malam,” ucap Miya sambil membuka safety beltnya.
Tiba-tiba pandangan Miya dan Wira tertuju pada seseorang yang melintas menyebrangi mobil mereka, ke arah lobby. Elora.
“Loh, dia disini?” tanya Wira spontan ketika melihat Elora. Miya hanya menganggukan kepala seraya berkata,
“Elora bekerja disini sekarang, jadi bagian dari tim design dan creative product. Sudah ya mas, aku pamit dulu, kita ketemu lagi nanti,” pamit Miya cepat dan mengecup pipi sang suami padahal Wira berusaha mengecup bibirnya.
Miya segera turun dan berjalan bergegas menuju lobby tanpa menoleh lagi kebelakang. Sedangkan Wira masih menatap kepergian istrinya dengan pandangan dalam dan tampak sedih. Entah sampai kapan ia bisa bertahan untuk menahan emosinya menghadapi Miya dan Satria.
Sebagai suami, instingnya mengatakan bahwa mereka berdua memiliki hubungan yang lebih dari sekedar rekan kerja. Apalagi sekarang, sudah dua tahun lebih mereka satu kantor. Berkali-kali Wira mencoba melabrak mereka, tetapi keduanya selalu selamat oleh keadaan, salah satunya adalah karena Elora.
Wira segera mengendarai kendaraannya sambil menoleh sesaat ke lobby mencari sosok Elora yang tadi dilihatnya, tetapi perempuan itu sudah tak terlihat lagi, berbaur dengan karyawan lain. Entah apa yang dilakukan Satria pada gadis itu, tetapi dulu Elora begitu membela Satria mati-matian. Sikap Elora yang menurut Wira berlebihan membuat pria itu yakin bahwa Satria dan Miya memiliki affair.
Wira mengendarai mobilnya sambil setengah melamun. Jika saja dulu Intan mantan kekasih Satria datang menemuinya, tentu saja ia tidak akan membaca perselingkuhan sang istri. Sejak ia naik jabatan untuk memegang kawasan Indonesia bagian timur diperusahaannya menuntut Wira untuk lebih sering berada disana sehingga banyak meninggalkan Miya seorang diri.
Tentu saja, awalnya banyak pertengkaran dan keluhan dari Miya karena ia merasa kesepian karena sering ditinggal suaminya. Tetapi sampai suatu titik, Miya berubah dan tak mengeluh lagi. Ia tetap terlihat senang bahagia jika Wira pulang, dan Wira pikir Miya mulai terbiasa dengan bentuk hubungan mereka. Ternyata itu hanya karena Miya telah mendapatkan pelampiasan perasaan lain yang bisa memenuhi kekosongan hatinya, walau efek ke dalam hubungannya dengan Wira menjadi lebih baik dan mesra jika bersama.
Sudah banyak hari dan kejadian dimana ia bertengkar dengan Miya dan mengkonfrontasi Satria bersama Intan. Tetapi hal itu tak menghasilkan apa-apa. Miya sudah beberapa kali minta cerai karena merasa dicurigai dan tak dipercaya, tetapi Wira tetap bertahan. Selain karena kemarahan dan egonya yang merasa diinjak karena diselingkuhi, Wira masih sangat mencintai Miya. Apalagi keluarga Miya lebih mendukungnya untuk tetap bersama membuat Miya tak bisa berkutik.
Kini ia sudah mendapatkan jabatan lebih tinggi, sehingga bisa tetap tinggal di Jakarta dan tak perlu banyak keluar kota lagi. Wira sengaja untuk membatasi ruang gerak Miya dengan salah satunya mengantar jemput istrinya setiap hari dimanapun Miya berada. Repot, tentu saja! Tetapi itu salah satu cara terbaik agar Miya dan Satria ruang gerak mereka semakin terbatas, walau Wira tahu, ia tak bisa mengawasi mereka berdua saat bersama di kantor. Tapi ia juga percaya bahwa mereka berdua tak akan terlalu frontal untuk bermesraan didepan umum dan tak bersikap profesional.
Ditempat lain, setelah melihat Wira meninggalkan lobby kantor, Miya menghentikan langkahnya. Ia tidak segera menuju lift yang akan membawanya ke lantai dimana ia bekerja, tetapi berjalan menuju coffee shop yang berada diantara beberapa restoran lain yang memang buka sejak pagi di lobby itu.
Senyumnya mengembang ketika melihat Satria yang tengah duduk sambil membaca dengan secangkir kopi dan beberapa potong sandwich dihadapannya. Melihat seseorang jalan menghampiri membuat Satri segera mengangkat wajahnya dan membalas senyuman Miya. Mereka berdua saling tersenyum mesra dan duduk berhadapan lalu Miya segera memesan sarapan paginya.
“Apa kita jadi makan siang bersama?” tanya Miya setengah berbisik dan bersikap biasa saja seolh tengah berbicara dengan atasan atau rekan kerja.
“Tentu saja, pak Santoso mengundurkan waktu meetingnya ke pukul 3 sore untuk coffee break di restoran yang sama, jadi kita bisa berduaan dari makan siang sampai menunggu ia datang,” jawab Satria perlahan sambil menyesap kopinya.
Tak ada suara, yang ada hanya sekilas tatapan saling pandang dari sepasang kekasih rahasia itu yang seolah penuh rindu ingin bersama.
***
Elora masih asik mengerjakan pekerjaannya walau waktu telah menunjukan pukul 8.30 malam. Ia sengaja mencoba menyelesaikan semua pekerjaannya sampai selesai agar tak menjadi celah bahan teguran dari Miya atau atasan langsungnya. Lagi pula desktop di kantornya lebih canggih dari pada laptop butut yang ia miliki saat ini.
Ruangan kerja itu sudah gelap sebagian, hanya bagian tempat duduk Elora yang masih menyala. Bahkan satpam sudah ada yang menyapanya dan bertanya ia akan berada di dalam ruangan sampai pukul berapa agar mereka bisa mengetahui kapan Elora akan pulang.
“Kamu masih disini?” pertanyaan seseorang membuat Elora mengangkat wajahnya perlahan karena tengah asik tenggelam dalam pekerjaannya.
Raut wajahnya berubah ketika yang ia lihat adalah Satria yang sengaja masuk ke dalam ruangannya.
“Loh, mas Satria masih disini juga? Bukannya ruangan mas Satria berada di lantai atas?” tanya Elora dengan suara pelan.
“Aku turun ke lantai ini untuk mengambil beberapa barang yang masih tertinggal di ruangan yang lama dan melihat masih ada bayangan cahaya dari ruangan ini. Ada dateline? Kenapa tidak dikerjakan besok saja? Pukul 9 malam AC dan lampu di lantai ini akan segera mati.”
“Nanggung mas, soalnya masih ada beberapa research yang harus aku lakukan dan detail journey campaign yang harus aku hubungkan.”
“Sudah besok saja dilanjutkan, tempat tinggalmu sekarang cukup jauh dari kantor ini. Lebih baik kamu pulang.”
Elora hanya mengangguk perlahan dan Satria pun segera meninggalkannya sendiri. Seharusnya ia merasa senang karena bisa melihat Satria hari ini, karena tujuannya untuk pindah kerja adalah agar bisa melihat pria itu setiap hari. Tetapi itu hanya rencana yang sering kali tak sesuai dengan harapan.
Sudah dua minggu ia masuk perusahaan ini, dan baru hari ini ia bisa bertemu Satria kembali. Jantungnya berdetak cepat tetapi perasaannya juga sekaligus gelisah. Rasa ini lebih banyak terasa nelangsa daripada bahagia. Setiap ia bisa melepas rindu untuk melihat Satria disaat yang sama juga hal itu mengingatkan ia bahwa ada Miya disana.
Elora menoleh kearah kalender mejanya. Ia tak sabar menunggu 6 bulan untuk keluar dari tempat ini, tetapi mengapa waktu berjalan begitu pelan.
Elora segera membereskan meja dan tasnya. Kehadiran Satria mengubah moodnya. Ia ingin segera pulang dan mampir makan nasi goreng pinggir jalan yang tak jauh dari rumahnya. Sepiring nasi goreng dan sate bisa membuat hatinya lebih tenang malam ini.
Elora baru saja keluar dari lobby ketika sebuah mobil yang tadi terparkir kini bergerak lambat mendekati dirinya yang berdiri ditengah.
“Naiklah, biar aku antar kamu pulang,” ucap Satria saat ia membuka kaca jendela dan menampakan wajahnya pada Elora.
Elora hanya diam tertegun tetapi beberapa detik kemudian ia segera membuka pintu mobil dan naik ke dalamnya.
Bersambung.