Tiga hari sudah Kaisar tidak bertemu dengan Alea. Demi gengsi dan keegoisannya, bahkan Kaisar enggan sekali bertanya pada sang mama ke mana Alea pergi tiga hari ini. Jika memang benar Alea shift malam, seharusnya saat Kaisar pulang di sore harinya, dia masih bisa bertemu dengan istrinya itu sebelum berangkat ker rumah sakit. Sayangnya meski Kaisar sampai rumah di pukul enam petang, tak juga nampak tanda-tanda keberadaan Alea. Yang makin membuat Kaisar bertanya-tanya dalam hati, kondisi kamar yang dia tinggalkan di pagi hari, masih tetaplah sama dengan kondisi kamar saat dia pulang kerja seperti ini. Seolah memang kamar ini tak berpenghuni. Lantas, ke mana Alea? Apakah istrinya itu tidak pulang ke rumah ini? Tapi kenapa?
Jawaban yang seharusnya bisa ia dapatkan dengan mudah hanya dengan bertanya pada mamanya, tapi Kaisar tak berani melakukannya. Bahkan permintaan mamanya tempo hari saja masih belum bisa ia beri jawaban.
Argh! Kaisar mengacak rambutnya frustasi. Ditambah sudah tiga hari ini Kaisar kesusahan sekedar untuk tidur di malam hari. Padahal tidak biasanya dia seperti itu.
Pun demikian dengan malam ini. Usai mandi, makan malam dengan keluarganya, lalu ia kembali ke kamar. Menelpon Dias sudah ia lakukan hingga hampir tengah malam, sampai kekasihnya itu tertidur duluan. Tapi, kedua netra Kaisar masih juga enggan terpejam.
Kaisar melirik pada bantal yang biasa ditiduri oleh Alea. Dan sudah tiga malam ini, Kaisar akan menggunakan bantal tersebut sebagai alas kepalanya. Samar-samar kantuk pun datang tanpa diminta. Kaisar tak paham apa yang membuat bantal Alea terasa lebih nyaman ketimbang bantal miliknya sendiri. Mungkin karena pada bantal Alea, terdapat sisa harum parfum yang biasa dikenakan istrinya.
Pagi hari terbangun dengan suasana hati yang masih tidak baik-baik saja. Pria itu mendesah panjang, mengacak kembali rambutnya yang sudah berantakan, lalu turun dari atas ranjang. Membersihkan dirinya karena pagi ini Kaisar harus segera pergi bekerja.
Usai mandi, mengecek ponsel yang rupanya dia mendapat sebuah pesan dari Dias, kekasihnya. Wanita itu meminta padanya agar menjemput pagi ini. Kaisar tak akan bisa menolak sehingga yang pria itu lakukan adalah memberikan balasan pesan pada kekasihnya bahwa satu jam dari sekarang dia sudah sampai di tujuan.
Setelah berpakaian rapi, Kaisar keluar dari dalam kamarnya berpapasan dengan Kaivan yang menyandang tas ransel di pundaknya.
Keduanya saling bertatapan sebelum Kaivan memberikan celetukan. "Kusut amat itu wajah. Rindu belaian Alea, ya?" Pemuda itu berkata sembari menaik-turunkan alisnya menggoda kakaknya.
Kaisar mendelikkan matanya. "Anak kecil nggak usah bicara sembarangan!" sinis Kaisar lalu berjalan mendahului adiknya untuk menuruni anak tangga menuju lantai satu rumahnya.
Kaivan mengekor di belakang kakaknya. "Alea nginep sementara di rumah kosnya selama shift malam. Sambil nunggu mobil yang papa belikan siap dipakai Alea."
Langkah kaki Kaisar terhenti seketika mendengar perkataan adiknya. Kepalanya menoleh tepat di saat Kaivan menabrak punggungnya. "Yaelah, Kak. Kalau berhenti jangan dadakan begitu kenapa! Kita bisa jatuh barengan nantinya," gerutu Kaivan sembari mengusap dahinya.
Bukannya menanggapi omelan adiknya, Kaisar justru bertanya, "Apa kamu bilang tadi? Papa membelikan Alea mobil?"
"Nggak usah kaget begitu. Lagian kasihan Alea kerjanya jadi jauh dari rumah ini kalau harus mengandalkan transportasi umum. Apalagi kalau pas shift malam. Perempuan malam-malam berangkat sendirian naik grab kan bahaya. Mana kamunya juga enggak ada perhatian-perhatiannya sama sekali sama istri sendiri. Lalu kalau Alea nggak pulang ke rumah ini dan tidur di kosannya, kamunya juga yang uring-uringan, kan?"
Sungguh, Kaisar ingin sekali menyumpal mulut adiknya yang sejak tadi banyak bicara. Mengatainya seolah-oleh paling tau isi hatinya.
"Sok tau kamu! Siapa juga yang uring-uringan. Jangan asal bicara jika tidak tau apa-apa."
"Iya-iya nggak usah sewot begitu. Buruan gih jalan lagi. Masak iya ngobrol di tengah tangga begini. Ketahuan mama kita bisa diteriaki."
Kaisar mendengus. Tak ayal pria itu pun melangkahkan kakinya kembali menuju ruang makan. Berharap di ruang makan mamanya membicarakan perihal Alea. Namun, nyatanya tak ada satu orang pun anggota keluarganya yang membicarakan soalan istrinya. Ditambah rasa penasaran Kaisar tentang mobil seperti apa yang Kaivan ceritakan, makin menambah rasa ingin tahu di hati Kaisar. Akan tetapi dasarnya Kaisar yang memiliki ego terlalu tinggi, begitu susah membuka mulutnya untuk sekedar bertanya hingga membuat suasana hatinya tak jua membaik dan malah lebih buruk dari sebelumnya.
Bahkan hingga pria itu meninggal rumah dan menjemput Dias, Kaisar justru lebih banyak diam dengan isi kepalanya yang carut marut tak karuan.
"Kai!"
Kaisar tersentak akan lamunan sebab panggilan dari kekasihnya. Kepala pria itu menoleh. "Ya?" jawabnya singkat seolah tak berminat.
"Kamu kenapa?"
Bukannya menjawab, Kaisar malah balik bertanya. "Memangnya aku kenapa?"
"Sejak tadi kamu diem aja, Kai. Seperti ada yang sedang kamu pikirkan."
Kaisar mengusap tengkuknya. Lalu memaksakan senyuman. "Tidak, sayang. Aku baik-baik saja. Hanya saja ... mungkin lagi lelah banyak proyek yang aku pegang."
"Oh, aku pikir ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan sama aku. Soalnya, aku lihat sejak kamu datang hingga sekarang, kamu tuh hanya diam dan kelihatan enggak fokus. Kai, kita ini sudah lama pacaran. Jangan segan cerita ke aku kalau kamu ada masalah. Mungkin aku tidak bisa kasih banyak solusi sama kamu. Tapi setidaknya sedikit bebanmu jadi berkurang jika kamu mau berbagi."
Sungguh, Kaisar makin merasa bersalah saja pada kekasihnya ini. Di saat pikiran Kaisar sibuk pada Alea, tapi ada Dias yang memberikan dia banyak perhatian seperti ini.
Tangan Kaisar terulur menyentuh pipi Dias. "Makasih, sayang. Karena kamu selalu perhatian. Percayalah aku baik-baik saja."
"Ya, aku harap juga begitu, Kai."
Kaisar tersenyum. Mencoba meyakinkan Dias bahwa dia memang betulan baik-baik saja.
Sementara itu, Alea yang pagi ini sudah selesai shift nya berniat pulang ke kosan tapi perempuan itu dikejutkan oleh kedatangan Kristi.
"Mama!" ucap Alea yang sungguhan tidak menyangka jika mama mertuanya datang menemuinya setelah ada tiga harian dia tidak pulang.
Ratih yang sedang bersamanya, merasa terheran-heran mendengar panggilan Alea pada wanita cantik di usia yang tak lagi muda itu.
"Le, sudah mau pulang kan? Mama sengaja jemput kamu. Mama rindu kamu sayang. Sudah tiga hari kamu tidak pulang."
"Maafkan aku, Ma. Rencananya baru lusa aku pulang sekalian menghabiskan jadwal shif malam."
Ratih menyenggol lengan Alea. "Lea, bukankah mama kamu sudah meninggal? Lalu, Tante ini kenapa kamu panggh mama?" Ratih yang berteman baik dengan Alea, tentu saja dibuat bertanya-tanya. Karena baru satu kali ini Ratih mengetahui Alea memanggil mama pada seorang wanita.
Kristi yang melihat kebingungan dan mendengar pertanyaan Ratih, mengulas senyuman. "Kamu temannya Alea, ya? Kenalkan saya Kristi. Mama mertuanya Alea."