3. Satu Hari Menjadi Istri

1087 Kata
Dini hari ketika Kaisar kembali pulang ke rumah keluarganya. Suasana sudah sepi. Hanya hening yang menyambut kepulangannya kali ini. Pria itu langsung menaiki anak tangga menuju lantai dua rumahnya. Hatinya masih gundah gulana akan tetapi setidaknya jiwanya sedikit tenang setelah pertemuan singkatnya dengan Dias tadi. Pintu kamarnya perlahan terbuka. Nampak di matanya seorang perempuan tidur meringkuk di atas ranjangnya. Hela napas keluar dari sela bibirnya. Ingin Kaisar marah pada perempuan bernama Alea yang telah mengubah jalan hidupnya. Namun, Kaisar sadar jika Alea sendiri pun tak ada pilihan menolak ketika mamanya menjodohkan mereka. Kaisar masuk ke dalam kamar, lalu kembali menutup pintunya. Melepas jaket yang membungkus badannya. Ada lelah yang mendera dan memaksanya untuk merebahkan badan di atas ranjang tepat di samping tubuh Alea. Awalnya, Kaisar enggan berdekatan dengan perempuan yang baru beberapa jam lalu dia nikahi. Namun, untuk tidur di atas sofa, tak mungkin Kaisar lakukan sebab tubuhnya yang besar tak akan mungkin bisa tertampung di dalam sofanya yang kecil. Dari awalnya yang terpaksa, kini Kaisar malah memejamkan matanya. Tak perduli dengan seseorang yang ikut menghuni ranjangnya. Dalam sekejap mata pria itu telah tertidur dalam mimpi yang tak sepenuhnya indah. Hingga di pagi harinya, ketika Alea membuka mata lantaran terganggu oleh pergerakan seseorang yang tidur di sebelahnya. Awalnya sempat terkejut tapi ingatannya begitu saja berputar pada akad nikah yang telah dilangsungkan kemarin. Wanita itu tersenyum getir. Sosok lelaki yang kini bergelar suami, tidur tengkurap di sampingnya. Tak terlihat wajahnya karena posisi kepala membelakangi Alea. Perlahan-lahan Alea beringsut bangun dari atas ranjang. Mencoba memelankan pergerakannya agar Kaisar tidak terganggu oleh keberadaannya. Berjalan cepat menuju kamar mandi karena hari ini dirinya harus bekerja kembali. Setengah jam berlalu, Alea sudah rapi dengan seragam khas perawat yang ia kenakan. Wanita itu sedang mengoles make up di wajah cantiknya ketika dari cermin di hadapannya Alea dapat melihat jika Kaisar terbangun dari tidurnya. Pria itu mengucek mata sebentar lalu beringsut bangun dan bersandar di kepala ranjang. Sempat terkejut karena mendapati adanya orang lain di kamarnya. Namun hanya sebentar keterkejutan itu melanda karena setelahnya Kaisar ingat bahwa wanita itu adalah istrinya. Hanya mengingatnya wajah Kaisar mendadak berubah. Ekspresinya datar. Tanpa kata pria itu menyingkap selimut dan turun dari atas ranjang. Alea hanya melirik sekilas. Tak berniat juga untuk bertanya atau sekedar menyapa. Bahkan ketika Kaisar membanting sedikit keras pintu kamar mandi, Alea hanya geleng-geleng kepala. Mempercepat aktifitasnya. Alea memastikan tak ada yang salah dengan penampilannya pagi ini. Beranjak berdiri dan meraih tas kerja yang ia letakkan dia atas sofa. Perempuan itu keluar kamar lalu menuruni anak tangga menuju lantai satu rumah mertuanya. Rumah yang sejak kemarin dan entah sampai kapan akan menjadi tempat tinggalnya. "Selamat pagi!" sapa Alea ketika bertemu dengan Kaivan yang sudah duduk di kursi makan. Pemuda dua puluh tahun yang masih berstatus mahasiswa itu mendongak. Melebarkan senyuman seraya menjawab, "Pagi " Lalu pandangan mata Kaivan memindai penampilannya Alea pagi ini. "Sudah rapi. Apa kamu mau kerja pagi ini?" Alea mengangguk. "Iya." "Nggak ada cuti?" Kepala Alea menggeleng. "Nggak ada lah." "Bukannya kamu baru menikah kemarin?" "Tapi pernikahan itu juga tertutup dan hanya pernikahan biasa yang aku tidak harus ijin untuk cuti bekerja." Kaivan mengangguk paham, tak mau ikut campur urusan kakak iparnya. "Bu Kristi mana?" tanya Alea sembari menarik kursi lalu duduk di seberang Kaivan. Meski mereka berdua hanya pernah bertemu dua atau tiga kali, akan tetapi hubungan mereka terjalin cukup baik. Itu disebabkan karena sifat Kaivan yang lebih ramah jika dibandingkan dengan Kaisar. Belum juga Kaivan menjawab, sosok wanita paruh baya yang tadi dicari oleh Alea muncul dari arah dapur sembari membawa satu mangkok besar nasi goreng. Alea lekas beranjak berdiri dan mengambil alih mangkok tersebut dari tangan Kristi. "Saya bantu, Bu." "Makasih Alea. Tapi jangan panggil Bu. Panggil saja mama, seperti Kai dan Ivan memanggilku mama." Ale tersenyum canggih lalu menjawab, "Baik, Ma." Seperti halnya Kaivan, Kristi pun memperhatikan penampilan Alea pagi ini. "Loh, Le. Kamu kok sudah rapi begini? Apa kamu sudah mau kerja lagi?" Alea menganggukkan kepalanya. "Iya .. Ma." "Mama pikir kamu ambil cuti?" Alea menggelengkan kepalanya. "Nggak bisa, Ma, kalau harus cuti dadakan. Nggak ada yang gantiin nanti." "Oh. Apa kamu nggak capek?" "Tidak, Ma." Kristi menghela napas panjang. "Ya sudah kalau begitu. Kaisar mana? Apa dia masih tidur? Eh, sebentar. Tapi dia pulang kan semalam?" tanya Kristi penasaran sebab takut jika putranya tidak pulang ke rumah setelah semalam keluar di waktu hampir tengah malam. "Saya nggak tau jam berapa pulangnya. Tiba-tiba sudah ada di kamar pagi tadi." Kristi menyentuh lengan Alea. "Yang sabar ya, Le, menghadapi Kaisar. Maafkan mama yang egois harus memaksa kalian untuk menikah. Karena hanya dengan cara ini mama bisa menjagamu sayang." Ales mengulas senyuman. "Nggak apa-apa, Ma. Saya ikhlas kok jadi menantu mama." "Terima kasih, Alea. Oh ya Kaisar sekarang mana? Apa dia masih tidur?" "Sudah bangun, Ma. masih mandi." "Ya sudah biar nanti kamu diantar oleh Kaisar saja." "Nggak usah, Ma. Saya bisa naik taksi nanti." "Jangan Lea. Selagi ada Kaisar ... biar dia saja yang mengantarnya kamu kerja." "Beneran, Ma. Saya nggak apa-apa." "Bareng aku aja gimana? Sepertinya rumah sakit tempat kamu kerja searah sama kampus." Kristi menolehkan kepala menatap pada putra keduanya. Sebenarnya kurang setuju ketika malah Kaivan yang berbaik hati ingin mengantar sang kakak ipar. Kristi maunya Kaisar lah yang bertanggungjawab pada diri Alea. Namun ternyata Alea malah menganggukkan kepalanya menyetujui penawaran Kaivan. "Apa tidak merepotkan kamu nanti, Van?" "Ya nggak lah wong kita searah." "Baiklah." Mereka pun bersiap untuk sarapan. Papa dan Kaisar juga sudah bergabung di meja makan. Hening tak ada banyak obrolan terlebih Kaisar yang terlihat enggan sekali berdekatan dengan Alea. Sampai makan pun tidak tenang dan lekas beranjak berdiri begitu makanan di atas piringnya telah habis tak bersisa. "Aku sudah selesai. Pa ... Ma. Aku berangkat dulu," pamit pria itu pada kedua orangtuanya. Jika Kristi menjawab, "Hati-hati di jalan." Lain dengan sang papa yang malah berkata , "Kamu antar Alea sekalian ke tempat kerjanya, Kai." Kaisar menoleh sekilas ke arah papanya. Siapa sangka Alea malah dengan berani menolak. "Tidak usah, Pa. Nanti saya bisa berangkat sendiri." Hanya saja Kaivan malah menyela. "Bukannya kamu mau berangkat sama aku nanti?" Alea salah tingkah. Lalu kepalanya mengangguk. "Iya. Boleh." Kaisar menatap adiknya tanpa ekspresi lalu pria itu pergi begitu saja meninggalkan meja makan. Membuat Kristi dan suaminya merasa tak enak hati pada menantunya yang baru satu hari dinikahi oleh putra sulungnya itu. "Ayo kita berangkat sekarang!" ajak Kaivan menyentak lamunan Alea. Perempuan itu beranjak berdiri. Berpamitan pada kedua mertuanya. "Pa ... Ma. Saya berangkt dulu." "Hati-hati di jalan. Van, jaga kakak iparmu dengan baik." "Siap!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN