20. Servise dari Istri

2189 Kata
Malam ini tubuh Davit terasa sangat remuk, pria itu sampai order koyo via online yang langsung sampai tidak menunggu waktu lama, untuk meredakan nyeri otot di tangan, kaki dan punggungnya. Fitnes benar-benar membuat tubuh Davit terasa remuk. Setelah koyonya sampai, Davit buru-buru memasangkan di lengan atas kanan kiri, pundak, sampai kakinya. Pria itu duduk di ruang tamu dengan menengadahkan kepalanya ke atas. Pria yang hanya memakai kolor itu tengah meratapi nasibnya sendiri yang sangat menyedihkan. Mau otot tubuh yang bagus saja perjuangannya sangat melelahkan. Davit ingin menelpon Bayu dan memaki-maki pria itu, tapi dia menahannya. Tenaganya seolah sudah habis meski hanya untuk bersuara. Tadi saat siang sampai malam bimbingan bersama Lintang, ia merasa dirinya baik-baik saja. Bahkan ia sempat setrika baju dan dia masih sehat-sehat saja. Namun menuju ke tengah malam, rasa nyeri tidak bisa terelakkan lagi. Davit seolah tidak bisa menggerakkan tubuhnya saking nyerinya. “Akhh sialan,” maki Davit menendang meja dengan kencang. Di meja itu juga ada tugas-tugas mahasiswanya yang harus dia koreksi malam ini, karena besok ia mengajar di kelas tersebut dan akan melakukan evaluasi. Lintang terbangun tengah malam karena merasa haus, perempuan itu menyingkap selimutnya. Lintang menatap bajunya sendiri, “Masih utuh,” batin Lintang. Meski Davit tidak menyukainya, Lintang takut kalau Davit mencuri-curi kesempatan. Terlebih saat ia tahu beberapa hari lalu yang memeluknya bukan genderuwo melainkan Davit. Lintang menyadari kalau tempat tidurnya semula bukan di ranjang, melainkan di kursi, saat ia tidak bisa menahan kantuk saat bimbingan. Lintang segera melompat turun, perempuan itu menggerayangi tubuhnya sendiri memastikan setiap jengkalnya masih utuh. “Kemarin saat dipeluk Pak Davit aku dalam keadaan tidur, semalam pun digendong Pak Davit juga dalam keadaan tidur. Huff ….” oceh Lintang. Padahal kalau dia sedang bangun, ia bisa menikmatinya. Lintang memang aneh, takut digrepe-grepe Pak Davit, tapi juga pengen merasakan dipeluk Pak Davit. Padahal umur Lintang sudah dua puluh dua tahun, seharusnya dia bisa bersikap dewasa, tapi Lintang memiliki sifat yang plin plan. Lintang segera keluar kamarnya untuk menuju ke depur. Namun saat berada di pembatas dapur, perempuan itu berteriak dengan nyaring. “Ahhhhhh!” teriak Lintang menutup matanya dengan telapak tangannya. Davit yang kaget pun segera berdiri dan menatap Lintang. “Lintang, kamu kenapa?” tanya Davit mulai berjalan mendekati Lintang. “Jangan mendekat!” cegah Lintang mengisyaratkan Davit untuk berhenti. “Kamu kenapa sih?” tanya Davit dengan bingung. Enak-enakan meratapi nasibnya ia malah dikagetkan dengan suara jeritan. “Kenapa Pak Davit di rumah tidak berpakaian? Pak Davit juga hanya pakai kolor begitu,” ujar Lintang. “Apa saya harus selalu pakai pakaian tertutup di rumah?” tanya Davit dengan ngegas. “Ya bukan begitu, Pak. Pa Davit hanya pakai kolor sedangkan di rumah ini ada gadis periwin,” ujar Lintang. “Ya kamu kira saya tidak perjiki?” tanya Davit yang masih ngegas. “Kan Pak Davit sudah belah duren, perjaka dari mananya,” kata Lintang dengan kesal. “Kamu mau saya membuktikan? Saya bisa porotin nih kolor sekarang juga,” ujar Davit. “Kyaaa … Pak Davit mesuum!” teriak Lintang lagi dengan kencang. “Heh heh heh … diam. Jangan teriak-teriak, nanti kedengaran tetangga,” ucap Davit memperingati. Lintang segera terdiam, perempuan itu masih menutup matanya dengan kedua telapak tangannya. Namun Lintang tidak tahan, perempuan itu sedikit membuka sela-sela tangannya untuk melihat Pak Davit. Tubuh Pak Davit bersih seolah tanpa noda, mungkin mandi dengan sabun cuci piring yang berwarna hijau yang bikin kinclong dan keset. Tubuh Davit yang hanya memakai kolor saja membuat pikiran Lintang traveling. Apalagi membayangkan isi di balik kolor pendek itu. “Lintang!” panggil Davit yang membuat Lintang tersentak. “Eh iya, Pak. Saya gak lihat Pak Davit kok, beneran. Saya mau ambil minum, haus,” ujar Lintang yang salah tingkah. Perempuan itu segera menuju dapur dan mengambil gelas. Lintang menuangkan air di teko ke gelasnya, sesekali perempuan itu melirik Pak Davit yang kini sudah membalikkan tubuhnya dan duduk di sofa. Saking sibuk melirik Pak Davit membuat Lintang tidak fokus hingga airnya tumpah. Lintang memekik kecil dan segera mengambil lap untuk membersihkan tumpahan air-nya. Tengah malam melihat pemandangan cowok telanjaang membuat Lintang salah tingkah. Namun ada yang salah, Lintang baru menyadari kalau di lengan atas Pak Davit ada koyonya, plester panas pereda nyeri. Lintang segera meneguk airnya, setelah selesai perempuan itu segera menghampiri suaminya. “Pak Davit, kenapa Pak Davit pakai koyo?” tanya Lintang penasaran. Kini mata Lintang sudah tidak lagi ditutupi menggunakan tangan. Hanya saja Lintang harus pintar-pintar menjaga matanya agar tetap fokus pada Pak Davit, bukan pada di bawah perut Pak Davit. “Nyeri otot,” jawab Davit. “Oh saya tahu. Pasti gara-gara Pak Davit gendong saya ya? Tadi saya tidur di kursi tapi bangun sudah di ranjang. Pasti Pak Davit yang gendong dan sekarang nyeri otot. Makanya Pak, kalau tidak pernah angkat-angkat ga usah angkat saya,” ujar Lintang bertubi-tubi. “Iya, saya mengangkat kamu kayak ngangkat sapi. Berat,” jawab Davit. “Enak saja. Saya ga segendut sapi, Pak Davit saja yang cupu karena gak kuat ngangkat saya,” ujar Lintang dengan ngegas. “Hahahaha … Pak Davit lemah. Pak Davit gak kuat ngangkat beban yang hanya empat puluh lima kilo,” cibir Lintang mengejek Pak Davit. Bahkan perempuan itu dengan senangnya tertawa, sangat berniat mengejek suaminya. Davit merasa ternistakan, harga dirinya seolah dijatuhkan oleh Lintang. “Saya nyeri otot bukan karena gedong kamu,” ucap Davit mengelak. “Halah ngaku saja, Pak. Pak Davit gini aja gak kuat. Padahal saya punya temen yang cungkring namanya Mas Fajar, dia kuat gendong saya dan gak pernah mengeluh nyeri pinggang,” ujar Lintang. Davit sudah kesal ditambah Lintang menyebut nama Fajar, jelas kekesalan Davit semakin menjadi. Ia heran kenapa istrinya dikelilingi cowok. “Bisa gak sih gak usah sebut nama-nama cowok lain di depan saya?” tanya Davit. “Kenapa?” tanya Lintang. Davit hanya diam, pria itu menatap jam dinding dengan kesal. Jam bergerak cepat, sedangkan dia tidak bisa tidur karena rasa nyeri di seluruh tubuhnya. “Pak, Pak Davit tampak tidak baik-baik saja,” ucap Lintang mengalihkan pembicaraan. Davit tidak menanggapi, pria itu menarik koyo lagi yang ada di meja dan membuka bungkusnya kasar. Dengan kasar pula Davit menempelkan koyonya di pelipisnya yang terasa cenut-cenut. “Pak Davit butuh pijatan?” tanya Lintang dengan takut-takut, ia takut salah bicara malah disantap Pak Davit. “Memangnya kamu bisa memijat?” tanya Davit. “Bisa, Pak,” jawab Lintang. “Ikut saya ke kamar saya!” titah Davit. “Hah, ngapain ke kamar, Pak?” tanya Lintang kaget. “Ya pijat saya. Masak pijat di sini?” tanya Davit. “Tapi itu kertas-kertas lembaran? Bukannya mau Pak davit kerjakan?” tanya Lintang. “Kerjakan di kamar saja,” jawab Davit menyambar kertasnya. Pria itu berjalan terlebih dahulu menuju ke kamarnya yang diikuti oleh Lintang. Saat memasuki kamar Davit, penciuman Lintang ditusuk oleh aroma khas Pak Davit. Penataan ruang kamar pun rapi dan bersih, tampak elegan karena cat didominasi warna hitam dan abu-abu, beda dengan cat kamarnya yang putih. Entah kenapa desain rumah ini sangat berbeda di setiap ruangannya. “Pak, katanya daerah teritorial Pak Davit gak boleh disentuh orang lain. Ini saya malah menginjaknya,” cicit Lintang dengan pelan. “Ya karena saya butuh kamu. Sekarang pijat saya!” titah Davit yang segera merebahkan tubuhnya tengkurap di ranjang. Lintang pun naik ke ranjang Pak Davit, perempuan itu mulai memijat kaki Davit yang ada koyonya. Sedangkan Davit sembari mengoreksi pekerjaan mahasiswanya. Lintang memijat pelan kaki Davit, kaki Davit ditumbuhi bulu-bulu yang lumayan panjang membuat Lintang gemas ingin mencabutnya. Namun ia tidak akan berani mencabut, bisa-bisa Davit menendangnya sampai keluar dari rumah pria itu. Davit yang semula fokus mengoreksi pekerjaan mahasiswanya pun kini lambat laun kehilangan fokus saat merasakan pijatan Lintang sangatlah enak. Tangan lembut Lintang membuat Davit merem melek. Pria itu meletakkan tugas-tugas mahasiswanya dan memilih memejamkan matanya menikmati pijatan sang istri. Pijatan Lintang yang semula di kaki, mulai naik ke paha atas Davit karena Davit pun memberikan koyo di sana membuat Lintang menilai tempat itu juga merasa nyeri. Namun apa yang dilakukan Lintang adalah ujian terbesar Davit. Sesuatu yang menyempil di tengah-tengah sudah bergerak gelisah. Davit makin memejamkan matanya, burung-nya sangat baperan akut, kesenggol dikit sudah pengen nyundul-nyundul. “Lintang, lewatin bagian itu. Di punggung saja!” titah Davit. “Oh, baiklah,” jawab Lintang. Lintang mulai memijat punggung Davit dengan pelan, Davit menarik napasnya untuk menetralkan deru napasnya yang sangat cepat dan wajahnya yang terasa memanas. “Pak, kok telinga Pak Davit merah?” tanya Lintang saat mendapati telinga Davit memerah. “Pak Davit marah ya sama saya?” tanya Lintang. “Kenapa kamu berpikir saya marah?” tanya Davit balik yang suaranya sudah serak. “Ya telinga Pak Davit merah, biasanya kalau merah itu tandanya marah,” jawab Lintang. “Saya heran dengan cara pikir kamu,” ujar Davit. “Ya kan telinga Pak Davit merah, siapa tahu Pak Davit benar-benar marah sama saya,” kata Lintang. “Kuping saya merah bukan karena saya marah, tapi saya bergairahh!” pekik Davit dengan kesal. Dengan spontan Lintang menarik tangannya, perempuan itu sedikit memundurkan tubuhnya. Davit menatap Lintang yang tampak ketakutan. “Kenapa kamu takut?” tanya Davit. “Ya karena Pak Davit bilang bergairahh. Katanya kalau cowok bergairahh, dia akan berubah menjadi predator yang menyeramkan,” ujar Lintang dengan canggung. “Saya tidak seperti itu, cepat pijat lagi!” titah Davit dengan galak. Sudah memerintah, galaknya minta ampun. Lintang kembali memijat punggung Davit dengan canggung, “Pak, kok ada yang beda?” tanya Lintang saat merasakan ada yang berbeda dari tubuh Davit. “Apanya?” “Tadi saya pertama kali mijat Pak Davit, tubuh Pak Davit dingin, sekarang kok anget bahkan melebihi panas?” tanya Lintang. “Kamu jangan sengaja mancing-mancing saya, Lintang!” desis Davit dengan tajam. Lintang mengatupkan bibirnya dengan rapat. Sedangkan Davit menarik napasnya lebih dalam lagi. Ia ingin menyuruh Lintang keluar dari kamarnya, tapi tubuhnya butuh pijatan biar rasa nyeri itu hilang. Sedangkan kalau Lintang terus berada di kamarnya, gairah-nya benar-benar diuji. Cobaan kenikmatan batin memang sangat menyiksa. Apalagi tubuhnya dalam keadaan tengkurap membuat Davit semakin tersiksa. ***** Pagi harinya Davit terbangun dengan keadaan tubuh yang sangat fres. Pria itu segera duduk dan mengucek matanya. Pria itu celingukan mencari seseorang di kamarnya, tapi ia tidak menemukan orang yang dia cari. Seingatnya Lintang memijatnya sampai larut malam dan lambat laun ia mengantuk sampai jatuh tertidur. Mengingat semalam membuat Davit tersenyum sinting, pria itu menarik semua koyo yang ada di tubuhnya. Kaki dan tangannya sudah tidak merasakan nyeri lagi. Pijatan Lintang sangat ampuh membuat tubuhnya kembali segar. Buru-buru Davit bangun dari ranjangnya dan segera keluar kamar untuk menuju ke kamar mandi. Hari ini ia ada jadwal mengajar. Sepanjang mandi pun, pikiran Davit terus mengarah pada Lintang. “Meski tidak cantik, perempuan itu pintar mijat juga,” ucap Davit seraya terkekeh pelan. Mulut Davit memang minta dicabein, di sisi lain menghina tapi di sisi lain mamuji. Setelah mandi, Davit kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian dengan kemeja yang semalam setelah melakukan bimbingan dengan Lintang sempat ia setrika. Kemeja biru dan celana hitam menjadi pilihan Davit. Tidak lupa parfum turut Davit semprotkan ke seluruh tubuhnya. Setelahnya Davit keluar dari kamarnya dengan menenteng dasi. Kali ini Davit akan menyuruh sang istri untuk memasangkan dasi untuknya. “Lintang!” panggil Davit dengan suara kencang. Namun tidak ada sahutan dari Lintang. “Lintang, ayo sarapan!” teriak Davit lagi. Namun tetap tidak ada sahutan. Saat Davit menuju ke dapur pun tidak ada Lintang di sana. Seporsi makanan di meja mengalihkan fokus Davit. Davit segera menuju ke meja makan dan melihat makanan apa yang ada di sana. Ternyata ada nasi goreng, sosis, telur dan lengkap dengan sayurannya. Ada kopi juga yang disiapkan Lintang. Note kecil yang ada di samping nasi itu mengalihkan perhatian Davit. Pria itu mengambilnya. “Pak Davit maaf ya, saya pergi dulu karena bos sudah ngamuk menyuruh saya bekerja. Saya hanya masak nasi goreng. Semoga suka.” Davit tertawa kecil membaca tulisan Lintang, apalagi ada emot tersenyum yang turut Lintang gambar. “Lintang saat diam tampak cupu, tapi bergerak mengalihkan duniaku,” ucap Davit tersenyum cerah. Pria itu mengambil kopi dan menyeruputnya. Pria itu memejamkan matanya menikmati rasa kopi yang sangat enak di lidahnya. Davit menarik napasnya dalam-dalam untuk menarik udara segar, indahnya hidup jika secangkir kopi setiap pagi Lintang siapkan. Davit segera memakan sarapannya. Lintang sengaja menambahkan banyak MSG di nasi goreng Davit, tapi saking sudah bucin akut dan sedang senang-senangnya karena Lintang, lidah pria itu tidak menangkap rasa MSG. Rasa nasi goreng yang sengaja Lintang buat tidak seenak mungkin itu terasa enak di lidah Davit. Lintang kesal dengan Davit karena semalam yang menyuruhnya memijat sampai dia sangat ngantuk. Sebagai upaya kekesalannya, ia membalas Davit dengan memasakkan nasi goreng penuh MSG agar Davit ngamuk, tapi yang terjadi Davit malah menikmatinya. Setelah sarapan, pria itu keluar dari rumahnya. Saat akan memasuki mobil, tanpa sengaja ia melihat Bayu yang juga akan masuk mobil. Bayu mengerutkan dahinya saat melihat Davit tampak sumringah, “Pak Davit, pagi ini kok kelihatan sangat senang?” tanya Bayu, “Biasalah, servis dari istri sangat memuaskan.” jawab Davit seraya tersenyum penuh kemenangan. Sedangkan Bayu langsung tersedak angin, pria itu terbatuk-batuk dengan kencang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN