Davit menghentikan mobilnya tepat di depan rumahnya, pria itu menarik kaca depan mobilnya untuk melihat penampilannya sendiri. Davit juga mengambil sisir yang biasa dia simpan di dasbor mobilnya, pria itu menyisir rambutnya dengan pelan.
Tidak lupa Davit juga mengambil parfum yang turut ia simpan di dasbor. Pria itu menyemprot parfum di leher, di ketiak, dan di bawah perutnya tepat di benda pusakanya bersemayam.
Davit mengendus-endus tubuhnya sendiri, dirasa sudah wangi, ia pun segera keluar dari mobilnya. Ia akan menemui istrinya yang tadi ia suruh istirahat di rumah saja. Dengan kepercayaan diri yang penuh, Davit segera meraih kunci di saku celananya dan membuka pintu rumahnya. Dengan gayanya yang sok keren, Davit melepas sepatu dan meletakkan di rak samping pintu. Kepala pria itu celingak-celinguk mencari keberadaan istrinya. Davit sudah siap tebar pesona kepada Adinda Lintang.
“Lintang, kamu di mana?” tanya Davit yang berjalan lebih memasuki rumahnya. Namun tidak ada tanda-tanda Lintang ada di rumah.
“Lintang!” panggil Davit lagi. Namun tetap saja tidak ada sahutan. Davit mengecek dapur, kamar mandi dan kamar Lintang, tapi ia tidak menemukan tanda-tanda Lintang. Davit mendengus kesal, bahkan pria itu menendang angin.
Kecewa sudah hati Davit, ia pikir saat pulang ke rumah ia disambut istrinya, tapi ternyata istrinya tidak menunjukkan batang hidungnya. Davit menuju ke dapur, pria itu mengambil air mineral dan meneguknya cepat. Setelah air di gelasnya habis, Davit meletakkan gelasnya dengan kasar di meja yang membuat suaranya sangat kencang. Davit sudah siap tebar pesona, tapi istrinya tidak ada di rumah. Suami mana yang tidak kesal.
Davit mengambil beras dan mencucinya dengan kasar, sepanjang melakukan kegiatan pun ia terus menggerutu.
“Nasib punya istri begini, pergi gak pamit, suami pulang ke rumah gak ada orang,” ucap Davit ingin melempar berasnya, tapi bisa-bisa ia dimarahi Lintang kalau membuang beras atau makanan begitu saja.
Setelah mencuci beras, Davit meletakkan di rice cooker dan menutup rice cookernya dengan tak kalah keras.
Brakk!
Davit memencet tombol on dengan sekuat tenaga. Tidak ada Lintang di rumah membuat Davit kesal setengah pingsan. Jangan setengah mati karena takut kebablasan, padahal dia belum belah duren bersama Lintang.
Davit tidak tahan, pria itu mengambil hpnya di saku celananya dan menghubungi nomor Lintang.
“Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif,” ucap operator di seberang sana.
“Kenapa tidak aktif? Diaktifin kan bisa?” sentak Davit dengan kesal.
“Tunggu beberapa saat lagi,” kata operator lagi.
“Saya tidak bisa menunggu. Saya butuh istri saya!” umpat Davit. Davit definisi bucin setengah gila. Sudah tahu kalau yang bersuara di seberang sana adalah operator, tapi masih saja diajak ngomong.
Davit makin kesal, pria itu melempar hpnya di meja makan. Sudah ganteng-ganteng siap tebar pesona, Lintang malah tidak ada. Davit menarik kursi di meja makan dan duduk di sana. Pria itu menyangga dagunya sembari mengetuk-ketukkan tangannya di meja. Pria itu juga menatap jam di dinding, setiap menit itu tampak terasa lama saat Davit menunggu kehadiran seseorang.
Davit masih mengingat jelas ucapan Bayu yang mengajaknya bersaing sehat. Sebenarnya tanpa bersiang pun, Davit merasa ia lah pemenangnya karena ia sudah menikahi Lintang. Namun status kawin kontrak ini sangatlah mengganggu. Davit juga merasa kalau Bayu menilainya menyukai Lintang, bagi Davit ia tidak menyukai perempuan itu. Lintang bukanlah tipenya, tapi melihat Bayu yang mengejar Lintang membuatnya tidak terima. Bagi Davit ia hanya tidak ingin apa yang dimilikinya direbut orang lain, bukan karena ia suka dengan Lintang.
“Menyukai gadis itu? Kutup selatan aku pindah ke utara,” ucap Davit menghela napasnya.
Tidak berapa lama, yang ditunggu-tunggu Davit pun tiba. Suara dua gadis yang tertawa pun terdengar. Davit berdehem sebentar sebelum menuju ke ruang tamu. Pria itu bersedekap daada saat melihat Lintang dan Hukma datang membawa banyak belanjaan.
“Eh Kak Davit sudah pulang,” ucap Hukma.
“Dari mana?” tanya Davit dengan muka yang dibuat sedatar mungkin.
“Belanja,” jawab Lintang tanpa melihat Davit. Luntang sibuk mengeluarkan belanjaannya yang kebanyakan camilan dan makanan instan.
“Lintang, saya sudah pernah bilang sama kamu kalau saya tidak suka MSG, kenapa kau beli banyak camilan?” tanya Davit.
“Kan saya yang makan,” jawab Lintang mendongakkan kepalanya.
“Tentu saja. Ini daerah teritorial saya, saya tidak suka ada MSG di sini,” kata Davit dengan tegas.
“Oh, saya bawa cemilan saya ke kamar,” kata Lintang segera membawa banyak cemilannya ke kamar. Davit menatap melongo ke punggung Lintang. Sedangkan Hukma hanya cengengesan menatap Davit.
“Kak Davit, aku pulang dulu, ya. Mama sudah nyariin. Nitip Lintang, jangan dizolimi,” ujar Hukma membawa banyak kantong belanjaan dan segera ngacir pergi begitu saja.
Davit mendudukkan dirinya di sofa, pria itu tanpa sengaja menatap kain di salah satu kantong belanja, pria itu mengambil kain itu dengan menariknya pelan. Sweater berbahan rajut berwarna merah marun dengan motif keropi separuh. Davit menatap kantung itu lagi yang masih ada rajut satu lagi, karena penasaran Davit pun menariknya. Motifnya sama, keropi separuh. Kalau dua sweeter itu disandingkan, maka keropinya akan utuh.
“Eh Pak Davit, itu satunya milik saya,” ucap Lintang yang datang langsung menyambar sweater yang ukurannya kecil.
“Ini yang satunya?” tanya Davit memicing.
“Punya Pak Davit. Saya yang membelinya,” jawab Lintang.
Davit masih mencerna ucapan Lintang. Pria itu menatap sweaternya dan sweater yang dipegang Lintang bergantian.
“Kamu beliin saya sweater kekanakan ini?” tanya Davit. Lintang yang semula tersenyum menampilkan deretan giginya pun kini melengkungkan senyumnya ke bawah. Lintang menganggukkan kepalanya kecil.
“Kekanakan,” ucap Davit meletakkan sweeternya di sofa.
“Pak Davit gak suka?” tanya Lintang. Davit menggelengkan kepalanya.
“Kalau gak suka biar saya ambil lagi, biar saya kasih ke Kak Hukma,” ucap Lintang.
“Tapi bahannya bagus, saya simpan saja,” jawab Davit meraih kembali sweaternya. Davit membawa sweater ke kamarnya dan menutup pintunya dengan cepat. Lintang menghela napasnya dengan kasar. Ia pikir Davit akan suka dan berterima kasih padanya, tapi ternyata Davit malah tidak menyukainya.
Lintang menjatuhkan tubuhnya dengan lemas di sofa, Hukma bilang untuk memberikan kode pada pria dengan cara membelikan barang. Namun baru satu langkah saja Lintang mengkode, sudah tidak disambut baik oleh Davit. Lintang menyerah di percobaan pertama, ia tidak akan lagi memberikan apapun untuk Davit.
Dengan lemas Lintang menuju ke kamarnya, ia sangat lelah semalam tidak tidur dengan baik. Sekarang waktunya untuk memperistirahatkan diri. Nasib punya suami dosen kikir, pelit, galak, omongannya sengak, Lintang hanya bisa pasrah sambil menunggu detik-detik perpisahan mereka.
Malam harinya, Davit menuju ke kamar Lintang untuk melakukan bimbingan. Lintang sudah siap duduk di kursi sembari memakan cemilan. Perempuan itu juga tengah menghadap ke laptop dengan serius. Saat Davit datang pun Lintang pura-pura tidak melihat karena kekesalannya pada Davit. Davit sama sekali tidak tahu terimakasih.
“Hah kehidupan macam apa ini? Mencari masalah sendiri lalu diselesaikan sendiri,” ucap Lintang saat mencari rumusan masalah di sidang skripsinya. Mata perempuan itu sudah cenat-cenut karena tidak punya ide apapun. Sembari mencoba fokus, bibir Lintang tidak berhenti mengunyah camilan.
“Lintang bisa tidak cemilannya itu disingkirkan?” tanya Davit yang mengambil duduk di meja. Sama sekali tidak sopan.
“Enak, Pak. Saya tidak bisa berpikir kalau tidak ada camilan.” jawab Lintang.
“Saya mau kamu serius. Lihat ini, skirpsi kamu banyak yang salah. Saya mau kamu merubah judul skripsi kamu,” ucap Davit menyerahkan skripsi Lintang. Lintang menarik skripsinya dan banyak sekali coretan dari Pak davit. Padahal judul itu sudah disetujui oleh Bu Cika dan katanya hanya perlu perbaikan, sekarang Davit malah mencoret semuanya.
“Lintang, serius sebentar. Saya buang nanti camilan kamu!” ucap Davit dengan tegas. Lintang yang kesal pun segera memungut cemilannya dan memasukkannya ke dalam laci. Lintang mendengus, ia sudah lelah dengan skripsi tapi tidak punya ide.
“Belah duren di malam jumat, durennya nikmat banyak duitnya.” Lintang bernyanyi kecil sembari merebahkan kepalanya di meja.
“Belah duren ... belah duren, jangan mesuum jadi cewek!” ucap Davit menarik baju belakang Lintang dengan kencang membuat kepala Lintang mau tidak mau mendongak.
“Pengen banget belah duren,” ujar Lintang menatap Davit dengan sinis. Mendengar ucapan Lintang membuat Davit bergidik ngeri. Ia takut kalau Lintang akan menerjangnya lalu mengambil keperjakaan-nya.
“Belah duren ooohh belah duren.” Lintang kembali menyindir. Maksud ucapan Lintang adalah dia ingin membelah duren alias Pak Davit menjadi dua bagian. Pak Davit sungguh menyebalkan dan gudang kesengsaraannya.
“Pak Davit, bisa kasih ide judul gak?” tanya Lintang.
“Yang kuliah saya atau kamu?” tanya Davit balik. Lintang mendengus, perempuan iu memukul-mukul kepalanya bingung mencari judul baru. Sedangkan Davit hanya mengamati Lintang.
Dengan pelan-pelan, Lintang menarik lacinya kembali, perempuan itu ingin mengambil cemilannya dan memakannya. Bibir Lintang terasa gatal tanpa camilan.
“Ekheem ….’” deheman dari Davit membuat Lintang menarik tangannya kembali.
“Di mana pun saya berada, kalau dengan mahasiswa saya, saya selalu tegas. Kalau melanggar, saya tidak akan memberi ampun,” ucap Davit yang kini turun dari meja. Davit berdiri seraya menangkup wajah Lintang agar menatapnya. Davit sedikit merendahkan tubuhnya serta mendongakkan wajah Lintang.
“Jangan karena kita bimbingan di rumah, kamu jadi seenaknya. Sekarang cari ide buat judul dan kerjakan, saya akan bantu. Ingat, hanya bantu dan mengarahkan, selebihnya itu harus kamu sendiri yang mengerjakan!” tegas Davit melepas cengkramannya dari wajah Lintang.
“Huh ….” Lintang mendengus, perempuan itu kembali fokus pada laptopnya. Sesekali Davit akan mengarahkan Lintang.
Wajar saja teman-teman Lintang pernah bercerita kalau dosen pembimbing paling tidak enak adalah Pak Davit. Kekikiran Pak Davit dan kegalakan Pak Davit sudah bukan rahasia umum. Teman-teman Lintang memang pernah merasa beruntung saat mendapatkan dosen pembimbing Pak davit karena dinilai duren yang menggoda, tapi setelahnya mereka menyesal. Pasalnya di chat selalu slow respon, saat bertemu tidak pernah tidak ngamuk. Sekarang Lintang merasakan sendiri bagaimana tidak enaknya dibimbing Pak Davit. Sudah tidak ramah, pembawaannya sangat suram.
Tidak terasa sudah lebih dari dua jam Davit dan Lintang menghabiskan waktu bersama di kamar Lintang. Pria itu terus mengoceh memberikan pengarahan kepada Lintang, sedangkan Lintang yang sudah mengantuk pun menjatuhkan kepalanya di meja belajar. Lintang sudah tidak kuat, ia tidak tahan dengan rasa kantuk yang menyerangnya.
Davit menepuk pipi Lintang, tapi Lintang sudah pulas dengan tidurnya. Davit sedikit menggulung kaos panjangnya, pria itu menggendong tubuh Lintang dengan mudah dan meletakkan perempuan itu di ranjang. Tidak lupa Davit juga menyelimuti tubuh Lintang sampai sebatas leher. Davit menggelengkan kepalanya saat melihat cara tidur Lintang. Saat merasakan guling di sampingnya, Lintang langsung memeluknya.
Davit menuju ke laci meja Lintang, pria itu meraih snack yang tadi Lintang sembunyikan di sana. “Gara-gara snack ini Lintang gak fokus belajar,” ucap davit membuka snacknya. Tangan Davit mengambil satu snack dan mencoba memakannya.
Davit mengernyit saat merasakan rasa enak di snack itu. Pria itu kembali mengambilnya dan memakannya.
“Eghhh ….” Lintang mengerang pelan dalam tidurnya. Buru-buru Davit membungkus kembali snack-nya dan meletakan di meja. Pria itu segera ngacir keluar kamar Lintang sebelum Lintang terbangun dan mendapati dirinya makan snack yang mengandung MSG.