Pagi ini Davit sudah diperbolehkan pulang karena keadaannya sudah membaik. Lintang pun membantu Pak Davit turun dari ranjang. Masih terlihat jelas wajah sembab Lintang, Semalaman ia menangis di taman rumah sakit sampai tidak sadar tertidur di bawah pohon. Pagi tadi dia dibangunkan oleh petugas kebersihan. Lintang sudah mencuci wajahnya, tapi matanya yang membengkak tidak bisa bohong.
Lintang sudah berjanji pada dirinya sendiri, setelah ia menangis semalaman, maka esok paginya ia harus baik-baik saja. Saat ini pun Lintang juga berusaha baik-baik saja di hadapan Davit.
“Pak hati-hati jalannya. Semua administrasi sudah diurus sama Kak Hukma. Kak Hukma juga sudah menanti di parkiran,” ucap Lintang. Davit menganggukkan kepalanya, ia melepas cekalan tangan Lintang dari tangannya karena ia merasa sudah baik-baik saja. Davit berjalan terlebih dahulu yang diikuti Lintang. Sepanjang perjalanan Lintang terus menundukkan kepalanya, ia sudah mencoba untuk senyum, tapi ia tidak bisa saat hatinya memang tengah berada di titik paling rapuh. Sedangkan Davit memilih berjalan terlebih dahulu karena tidak enak dengan Lintang. Ia lebih baik bertengkar dengan Lintang daripada harus seperti ini.
Davit masuk di kursi belakang, sedangkan Lintang di depan di samping Hukma yang tengah menyetir.
“Kak Hukma, nanti mampir dulu ya ke rumah. Biar aku masakkan sarapan buat kak Hukma,” ucap Lintang.
“Nanti biar aku yang masak, kamu kelihatan lelah,” ucap Hukma.
“Baiklah,” jawab Lintang.
Sesampainya di rumah, mereka bergegas keluar. Tanpa sengaja Lintang menatap Pak Bayu yang tengah angkat barbel di depan rumah pria itu.
“Pak Bayu sudah sehat?” tanya Lintang.
“Hai Lintang, sudah dong saya kan kuat,” jawab Bayu menekan kata Kuat untuk menyindir Davit.
“Dasar jomblo,” sinis Davit yang bisa didengar Bayu. Davit merutuki Bayu kenapa pria itu bisa tebar pesona saat Lintang datang.
“Saya hanya jomblo, bukan berarti saya tidak punya uang,” jawab Bayu. Davit ingin sekali menghajar Bayu, tapi Lintang menahannya.
“Pak, masuk sini. Pak Davit harus istirahat biar besok bisa mengajar lagi di kampus,” ucap Lintang.
“Iya, nanti usapin perut saya ya biar sembuh-nya cepet,” ucap Davit yang sengaja suaranya dikeraskan. Bayu mengacungkan barbelnya tinggi-tinggi ingin melemparnya pada Davit. Namun Davit segera menarik Lintang untuk masuk ke rumah.
Bayu benar-benar tidak habis pikir dengan kelakuan Davit. Katanya tidak mencintai Lintang, tapi saat Lintang dekat dengannya, Davit sudah kalang kabut.
“Lintang, kamu tidak usah masak. Beli di go-food saja. Saya masih ada urusan,” ucap Davit segera masuk ke kamarnya.
“Pak Davit mau ngajar?” tanya Lintang.
“Enggak, saya ada urusan paling penting. Kamu tidak usah kerja, istirahat saja di rumah. Telfon tuh bos kamu,” ucap Davit dari dalam kamar. Davit segera mengganti pakaiannya dengan pakaian olahraga. Setelahnya pria itu keluar dengan tergesa-gesa.
Lintang dan Hukma menatap Davit dengan pandangan bingung. Davit hanya mengenakan celana panjang dan kaos olahraga.
“Pak, Pak Davit mau lari-lari?” tanya Lintang menyusul Davit.
“Tidak,” jawab Davit.
“Pak Davit mau ke mana? Pak Davit masih sakit nanti malah sakit lagi.”
“Saya kuat Lintang!” tegas Davit yang sama seperti Bayu, menekan kata Kuat. Lintang menghela napasnya saat melihat Davit menaiki mobilnya dan segera melajukan keluar dari pekarangan rumah.
Lintang kembali masuk ke rumah, perempuan itu menjatuhkan dirinya di sofa di dekat Hukma.
“Kak Hukma, aku capek,” ucap Lintang menyandarkan kepalanya di pundak Hukma.
“Capek fisik?” tanya Hukma.
“Capek hati, capek pikiran,” jawab Lintang.
“Masalah Pak Davit?”
“Hem, kadang aku merasa Pak Davit suka aku, kadang aku merasa dia gak suka aku,” kata Lintang merangkul lengan Hukma.
“Kalau menurutku, dia suka kamu,” jawab Hukma.
“Mana mungkin, Kak. Mahasiswi yang dia ajar banyak, kenapa harus suka sama aku?” tanya Lintang merengek. Lintang benar-benar ingin menangis menghadapi Davit.
“Lintang, kalau gitu kamu ngode Pak Davit duluan. Kalau dia menangkap sinyal-sinyal kamu dan dia menyukai kamu, dia akan mengatakannya sama kamu,” ujar Hukma yang memberikan ide.
“Gak mau,” jawab Lintang. Lintang terlalu malu kalau bergerak terlebih dahulu, tapi kalau tidak bergerak bisa-bisa ia galau terus. Padahal semalam ia sudah berjanji pada dirinya sendiri, kalau saat ia bangun, ia akan baik-baik saja.
“Lintang, memancing cowok tuh gak apa-apa. Kalau dia menyukaimu, dia pasti merespon,” ujar Hukma mencoba meyakinkan. Hukma tim kawal Davit sama Lintang sampai bucin.
“Kalau dia tidak menyukaiku? Pasti aku yang akan malu,” kata Lintang.
“Kalau tidak dicoba, mana mungkin tahu isi hati Pak Davit?” tanya Hukma yang sudah mulai gemas dengan kakak iparnya. Sebenarnya ia bingung siapa yang kakak siapa yang adik. Lintang adalah kakak iparnya, tapi Lintang memanggilnya dengan sebutan Kak.
“Aku bingung, lapar, capek,” keluh Lintang.
“Kita jalan-jalan ke mall saja. Biar aku yang bayar, kamu mau beli apapun bebas,” ucap Hukma menarik tangan Lintang.
“Aku males mandi,” jawab Lintang.
“Gak mandi adalah trik kecantikan alami,” ujar Hukma yang membuat Lintang segera berdiri. Lintang malas mandi, perempuan itu hanya berganti baju dan segera mengikuti Hukma.
Sedangkan di sisi lain, Davit tengah memasuki ruangan fitnes. Pria itu tampak canggung saat melihat banyaknya alat olahraga yang bahkan tidak pernah ia sentuh. Davit suka melihat acara olahraga, tapi untuk olahraga sendiri dia jarang. Palingan hanya lari pagi setiap weekend.
Davit menatap barbel, dumbell, treadmill dan alat olahraga lainnya. Davit belum mencari tutor olahraga, tapi ia sudah menuju ke tempat fitnes. Davit ingin membuktikan pada Lintang kalau ia bisa kekar juga seperti Pak Bayu yang dengan songongnya mengangkat barbel di depan rumah
“Ekhem …” Suara deheman membuat Davit menolehkan kepalanya. Mata Davit membulat sempurna saat mendapati Bayu yang tengah berdiri sembari bersedekap dadaa menghadapnya.
“Kenapa kamu ke sini?” tanya Davit dengan tajam. Davit sungguh malu kedapatan di tempat fitnes oleh Bayu.
“Ini tempat umum dan sering saya kunjungi,” jawab Bayu. Bayu menuju ke arah kumpulan barbel dengan berat bermacam kilo. Bayu mengambil barbel dengan berat dua puluh kilogram dan mengangkatnya dengan tangan kiri. Dengan songong Bayu memamerkannya pada Pak Davit.
“Pak Davit mau fitnes? Butuh tutor?” tanya Bayu.
“Tidak, saya ke sini hanya melihat-lihat,” jawab Davit yang gengsinya setinggi langit.
“Oh … padahal kalau butuh tutor, saya siap untuk membantu Pak Davit,” ucap Bayu.
“Bisa sesat kalau tutor saya kamu,” jawab Davit.
“Yakin sesat? Nih lihat otot saya, kalau Lintang minta gendong dengan satu tangan pun saya sanggup,” ucap Bayu memperlihatkan otot tangannya. Davit menahan emosinya agar tidak meledak saat ini juga.
“Push up sana!” titah Bayu menendang kecil kaki Davit.
“Apaan sih?” tanya Davit dengan kesal.
“Saya bilang push up ya push up. Ini latihan dasar untuk pembentukan otot,” ucap Bayu meletakkan barbelnya.
“Saya belum setuju kamu jadi tutor saya,” kata Davit.
“Ya Pak Davit mau kekar apa enggak? Saya lihat kalau Pak Davit sangat ingin kekar. Makanya saya dengan senang hati bantuin Pak Davit,” ucap Bayu.
“Pasti ada udang di balik bakwan,” jawab Davit dengan sinis.
“Saya mau bersaing dengan Lintang secara sehat. Kalau Pak Davit mau bersaing juga, saingi perut kotak-kotak saya dong,” ucap Bayu.
“Kenapa kamu bantuin saya? Bukannya kamu juga suka sama Lintang?” tanya Davit.
“Memang saya suka sama dia. Tapi saya bantu kamu karena kamu adalah teman saya,” jawab Bayu.
Davit memicingkan matanya. Ia sangat tidak percaya dengan ucapan Bayu, bisa saja Bayu menyesatkannya dan ada udang di balik rempeyek.
“Cepetan Push-up!” teriak Bayu menendang lagi kaki Davit. Mau tidak mau pun Davit mengikuti arahan Bayu.
“Seratus kali!” titah Bayu.
“Kamu gila, ya?’ tanya Davit dengan ngegas.
“Mau kekar apa enggak?” tanya Bayu dengan tajam. Davit pun mulai push up, sedangkan Bayu duduk santai sembari menghitung. Sepuluh kali, dua puluh kali sampai tiga puluh kali Davit masih sanggup, menginjak angka ke tiga puluh ke atas, Davit sudah mulai lemas. Davit menyerah, ia merendahkan tubuhnya ke lantai. Namun dengan tidak berperasaan Bayu menendang kakinya lagi dan menyuruhnya mengangkat tubuhnya.
“Push up yang benar!” titah Bayu dengan kejam.
“Kalau push up yang diangkat punggungnya, bukan bokoong-nya!” tegas Bayu. Kini Davit yang notabene dosen galak menjadi lemah di hadapan Bayu. Bayu benar-benar berubah yang semula dosen ramah dan murah senyum menjadi tutor yang sangat galak.
“Angkat punggungnya!” titah Pak Bayu.
“Iya iya sabar,” ucap Davit yang mulai push up lagi.
“Gunanya push up untuk memperkuat otot lengan, jangan lemah jadi cowok,” kata Bayu dengan kejam.
Sebenarnya Bayu kasihan juga dengan Davit. Yang Bayu lihat Davit suka dengan Lintang, hanya saja Davit masih gengsi mengakuinya. Kalau Davit tidak suka dengan Lintang, tidak mungkin Davit sibuk membuktikan pada Lintang kalau dia mampu.
Bayu memang menyukai Lintang, tapi ia ingin bersaing dengan sehat. Membantu Davit untuk menjadi idaman Lintang pun akan ia lakukan karena kalau Lintang bisa bahagia dengan Davit, ia akan turut bahagia. Namun bila Davit menyakiti Lintang, ia juga tidak akan segan mengambil Lintang.
“Aduh aku capek,” ucap Davit merebahkan tubuhnya ke lantai dengan telentang. Push up seratus kali membuatnya tidak punya tenaga.
“Hah payah banget seratus kali saja sudah tepar,” ucap Bayu mencibir.
“Kamu bisa diam gak ?” tanya Davit dengan sewot. Davit benar-benar ingin menghajar Bayu karena Bayu yang semena-mena. Namun kalau tidak ada Bayu, ia pun tidak tahu bagaimana memulai olahraga di tempat ini.
Kini yang hadir di tempat fitnes itu menatap Davit dengan aneh. Tubuh Davit saat ini telentang dengan napas yang ngos-ngosan. Menjadi kekar tidak semudah yang ia bayangkan.
“Ayo sit up. Jangan lemas!” ucap Bayu menarik tangan Davit dengan kencang.
“Aku mau napas dulu,” ucap Davit.
“Udah tadi, sekarang giliran Sit up. Jangan sampai Lintang kecewa sama perut kamu. Lihat belut kamu, masak cowok punya belut di perut,” oceh Bayu melihat perut Davit yang sedikit bergelambir.
“Kamu kayak emak-emak,” cibir Davit. Bayu menarik tangan Davit hingga Davit bangun. Bayu menduduki kaki Davit dengan kencang membuat Davit mengaduh. Davit meringis karena kakinya terasa berat. Kalau ia menggendong Lintang jelas ia tidak akan keberatan, lha ini Bayu yang bobot tubuhnya jelas lebih banyak, apalagi Bayu juga termasuk tubuh kekar.
“Cepatan!” teriak Bayu dengan kencang membuat Davit segera melakukan sit up. Davit benar-benar setengah mati dalam mengangkat tubuhnya sendiri. Napas pria itu ngos-ngosan senin kamis. Benar-benar fisiknya diuji oleh Bayu yang menjadi tutornya. Push up seratus kali, sit up seratus kali dan kini mencoba angkat besi, angkat besi seberat lima kilo saja sudah membuat tubuh Davit seakan lemas tidak berdaya.
Dua jam Bayu menjadi tutor Davit, saat ini Bayu dan Davit tengah duduk di luar ruang fitnes sembari meneguk air mineralnya.
“Kamu benar-benar berhasil menganiaya saya,” ucap Davit setelah meneguk air mineralnya.
“Cowok tuh yang digedein jangan gengsinya doang, tapi ototnya juga,” ucap Bayu.
“Awas saja kalau kamu ada udang di balik bakwan setelah bantuin saya,” sinis Davit.
“Tidak, saya orangnya baik hati, ramah, suka menolong, meski saya suka Lintang saya tetap teman kamu. Bantuin kamu, saya anggap sebagai kebaikan saya,” jawab Bayu. Davit menendang kaki Bayu dengan kencang.
“Dasar manusia cupu,” sinis Bayu.
Davit tidak menanggapi, pria itu mengusap keringat di wajahnya dan segera pulang. Tidak bertemu istrinya dalam waktu dua jam sudah membuatnya sangat merindukan Lintang.
“Lintang, kakanda Davit datang!” ucap Davit menaiki mobilnya dan membelah jalanan kota jakarta yang tampak lenggang.