17. Kepedihan Lintang

2163 Kata
Lintang tengah menyuapi Davit dengan bubur yang dia beli di luar. Waktu sudah menunjukkan tengah malam, tapi Davit sangatlah rewel. Davit benar-benar bertingkah seperti anak TK yang haus akan kasih sayang emaknya.  “Lintang, gak enak buburnya. Rasanya hambar,” rengek Davit.  “Namanya juga Pak Davit lagi sakit. Ayo makan cepat habisin, saya sudah ngantuk berat, Pak,” ucap Lintang mengeluh.  “Kamu mengurus suami setengah hati banget. Suami sakit itu harusnya disayang-sayang, bukan malah digalakin,” omel Davit.  “Pak Davit jangan keterlaluan ya. Hubungan kita hanya sebatas kontrak!”  “Meskipun kontrak, hubungan kita tetap sah di mata agama dan negara. Selama kita belum pisah, wajib hukumnya kamu menuruti saya!” tegas Davit.  “Apa perlu saya ingatkan lagi kalau di kontrak, kita tidak boleh mencampuri urusan masing-masing? Pak Davit yang membuat kontrak itu, Pak Davit yang menyetujuinya, lalu sekarang memaksa saya menuruti ucapan Pak Davit. Sebenarnya mau Pak Davit apa?” sentak Lintang meletakkan mangkuk bubur dengan kasar ke atas nakas membuat Davit tersentak. Kini Lintang benar-benar marah, Davit benar-bear memancing emosinya. Ia bagai babuu yang harus menuruti Davi, padahal di surat kontrak jelas tidak boleh mencampuri urusan masing-masing.  “Saya bersama Pak Bayu, Pak Davit juga marah. Itu namanya mencampuri urusan masing-masing,” tambah Lintang lagi.  “Lintang, kamu istri dosen. Selama kita masih bersama, kamu harus menjaga martabat saya. Saya gak mau mendengar berita kalau kamu selingkuh dengan pria lain di luar sana. Masalah kontrak, saya berhak merubahnya. Saya akan bawa pengacara untuk menambahkan poin bahwa kamu tidak boleh dekat dengan laki-laki manapun,” ucap Davit menatap Lintang dengan tajam. Lintang menatap Davit dengan nanar. “Apa maksud semua itu, Pak?” tanya Lintang.  “Apa maksudnya Pak Davit berhak merubah kontrak sesuai keinginan Bapak? Saya pihak kedua merasa dirugikan,” ujar Lintang menatap lekat Davit. Ia tidak akan mundur bila Davit menindasnya. Jelas di kontrak kalau Davit dan dirinya tidak boleh mencampuri urusan masing-masing. Namun Davit selalu mencampuri urusannya.  Lagi-lagi Lintang dihadapkan dua kemungkinan, antara Davit suka padanya atau Davit hanya ingin mengekangnya karena menjaga martabatnya. Ternyata hubungan kontrak tidak semulus yang Lintang duga, baru empat hari saja sudah seperti ini. Seorang pria dan wanita yang sering bertemu, banyak kemungkinan akan saling jatuh cinta. Kalau Lintang merasa ia mungkin bisa mencintai Davit, tapi Davit? Lintang sadar diri ia hanya rumput liar di antara banyaknya padi.  “Lintang, kamu sudah mendapatkan tempat tinggal, makan gratis, dan uang, semua sudah setimpal,” kata Davit.  “Itu bentuk nafkah yang bapak berikan sama saya. Pantesan dulu bapak bercerai dengan istri bapak, ternyata bapak perhitungan soal nafkah,” sinis Lintang.  “Lintang, saya belum pernah menikah!” sangkal Davit.  “Gak usah bohong. Jelas-jelas Pak Davit seorang duda,” ketus Lintang yang memilih keluar dari kamar Davit. Perempuan itu membanting pintu ruang rawat Davit dengan kencang membuat Davit lagi-lagi tersentak.  Napas Lintang memburu, perempuan itu mendudukkan dirinya di kursi depan ruang rawat suaminya. Bisakah Lintang meminta kejelasan dengan hubungan kontrak ini? Andai Davit memperlakukannya biasa saja, mungkin saat ini Lintang juga baik-baik saja. Tidak ada kata berharap dan terbawa perasaan. Sedangkan sekarang, Davit sering cemburu tanpa alasan kepada Pak Bayu. Andai Pak Davit tidak mempedulikan kedekatannya dengan Bayu, saat ini Lintang bisa mengurus Davit dengan biasa saja, tanpa adanya perasaan sedikit pun.  Wanita selalu lemah soal perasaan. Baru empat hari mereka menikah, tapi sudah banyak hal yang terjadi. Meski mulut Davit sangat pedas, tapi Lintang merasakan perhatian pria itu, apalagi saat di hujan deras Davit menggendongnya. Lintang mengangkat kakinya sedikit, luka robekan masih ada di telapak kakinya. Di umurnya yang ke dua puluh dua tahun, baru Davit yang memperhatikan dirinya dan mau mengobati lukanya. Bagaimana Lintang tidak terbawa perasaan kalau begitu cara Davit.  Lintang memejamkan matanya, perempuan itu sangat lelah memikirkan pernikahan kontraknya yang sangat rumit. Lambat laun, perempuan itu pun tertidur pulas dengan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.  Davit keluar dari ruang rawatnya seraya membawa infusnya. Pria itu merasa kepergian Lintang sangatlah lama, ia ingin mencari istrinya. Pertengkaran tadi membuat Davit tidak tenang. Ia rasa ia memang sudah egois dengan Lintang, tapi ia tidak ingin Lintang mengakhiri kontrak ini. Saat keluar, Davit dikagetkan dengan Lintang yang tengah tertidur pulas di kursi. Perempuan itu tampak sangat lelah.  Tangan Davit terulur menyentuh wajah Lintang. Meski kulit Lintang tidak seputih susuu, tapi wajah Lintang tidak terlalu jeleek-jeleek amat. Wajah Lintang sangat teduh, apalagi saat perempuan itu memejamkan matanya.  Davit mengambil duduk di samping Lintang, pria itu dengan pelan menarik kepala Lintang untuk dia sandarkan di pundaknya. Davit menarik napasnya dalam-dalam saat Lintang merasa terusik. Namun ternyata Lintang kembali pulas saat kepalanya sudah benar-benar bersandar di pundaknya.  Kini Lintang tertidur di pundak Davit, sedangkan Davit menatap wajah Lintang dari samping. Tidak pernah terlintas di pikiran Davit bahwa dia akan menikah, apalagi pernikahannya adalah pernikahan kontrak. Dulu secuil keinginan menikah pun Davit tidak ada. Karena baginya, perempuan itu sangat rumit, saat mandi membutuhkan waktu lama, saat dandan selalu menor, saat belanja sangat ribet. Namun saat awal mengajar di kelas Lintang, ia sadar bahwa ada seorang wanita yang biasa saja. Bahkan saat di kampus pun hanya mengenakan polesan bedak tipis, yaitu Lintang. Davit sering mengamati Lintang yang style nya tidak mencerminkan anak kuliah masa kini. Lintang selalu mengenakan celana jins panjang dan kaos lengan panjang, sama sekali tidak menarik dipandang. Lintang juga tidak pernah aktif dalam kegiatan kampus, hanya datang belajar lalu pulang. Beasiswa yang diterima lIntang pun bukan beasiswa jalur prestasi, melainkan beasiswa tidak mampu. Menikah dengan Lintang pun juga tidak pernah masuk dalam praduganya. Namun semakin mengenal Lintang, ada rasa nyaman di hati Davit saat berdekatan dengan perempuan itu. Katanya ada cinta yang bisa hadir karena terbiasa, katanya juga ada cinta yang hadir karena pandangan pertama. Davit menatap wajah Lintang yang damai saat tertidur. Namun saat mata itu terbuka, seolah banyak beban yang ditanggung Lintang.  Hawa dingin rumah sakit menusuk tubuh Davit, tapi pria itu enggan beranjak dan masuk ke ruangannya. Davit ingin menghentikan waktu, ia ingin menikmati wajah istrinya yang tampak teduh. Menahan kepala Lintang dengan pundaknya begini membuat Davit merasa menjadi pria yang sangat berguna, ia pun merasa menjadi pria yang sangat dibutuhkan. Bolehkah Davit serakah. Ia ingin bersama Lintang dalam waktu yang lama, bertengkar dengan perempuan itu membuat hari-hari Davit semakin berwarna. Davit yang dulu tidak ingin barang apapun yang ia miliki disentuh orang lain kini sudah terbiasa berbagi dengan Lintang. “Ayah, ibu ….” Suara racauan Lintang terdengar. Davit tercenung, sudah dua kali ia mendengar Lintang berbicara dalam tidurnya.  “Ayah, Ibu, Lintang rindu,” ucap Lintang lagi dalam tidurnya.  Davit masih menatap wajah Lintang. Lintang gelisah dalam tidurnya, perempuan itu juga tampak berkeringat.  “Ayah, Ibu!” teriak Lintang yang tergagap langsung terbangun. Napas perempuan itu naik turun, Lintang mengusap d**a-nya yang berdetak sangat cepat. Davit segera berdiri, pria itu merasa canggung saat kedapatan duduk di samping lintang.  “Pak, Pak Davit kenapa di sini?” tanya Lintang.  “Apa Pak Davit bangun karena teriakan saya?” tanya Lintang. Lintang tidak sadar bila sudah tidur di pundak Davit.  “Tidak,” jawab Davit menggelengkan kepalanya.  “Maaf, Pak, Semenjak ayah dan ibu saya meninggal. Saya tidak pernah bisa tidur nyenyak. Maafkan saya,” ucap Lintang yang matanya sudah berkaca-kaca.  “Saya tidak terganggu dengan kamu. Kamu istirahatlah di dalam. Di sini dingin,” ucap Davit. Lintang menggelengkan kepalanya.  “Saya di sini saja,” jawab Lintang.  “Lintang, di sini dingin. Kamu di dalam saja!” paksa Davit.  “Saya pernah di posisi ini,” ucap Lintang menundukkan kepalanya.  “Lima tahun lalu saat ayah dan ibu saya kecelakaan. Saya menunggu di kursi seperti ini, di rumah sakit sendirian. Saat itu saya berharap kalau Dokter akan memberikan kabar baik bahwa orang tua saya selamat. Namun, kabar yang diberikan dokter membuat hati dan hidup saya hancur,” isak Lintang yang kini mulai menangis. Saat di rumah sakit, ingatan Lintang berputar tentang hal yang buruk-buruk. Di tempat ini juga ayah dan ibunya menghembuskan napas terakhirnya.  “Dokter mengatakan ayah dan ibu sudah meninggal. Saat itu saya tidak tahu harus sapa. Dunia saya sudah mati, dan kini saya harus duduk lagi di sini untuk menunggu suami saya,” tambah Lintang.  “Lintang, tenang, ya!” kata Davit yang bingung mau berbicara apa lagi. Lintang memegang tangan Davit yang ada selang infusnya.  “Pak Davit, meski Pak Davit hanya suami kontrak, bisakah Pak Davit berjanji satu hal sama saya?” tanya Lintang mendongakkan kepalanya. Kini wajah Lintang sudah penuh dengan air mata. Hati Davit merasakan nyeri melihat Lintang yang seperti ini. Selama ini ia hanya melihat Lintang yang pura-pura tegar, sering bertengkar dengannya dan sering membantah ucapannya. Kini yang ia lihat malam ini adalah Lintang yang benar-benar rapuh, tanpa topeng pura-pura.  “Janji apa?” tanya Davit.  “Bisakah Pak Davit janji untuk terus baik-baik saja?” tanya Lintang.  Davit menatap Lintang dengan intens, bibirnya ingin berteriak ‘atas dasar apa kamu menyuruh saya baik-baik saja?’ Namun bibir Davit terasa sangat kelu. Kepala Davit pun hanya mengangguk kecil.  Lintang menghapus air matanya, perempuan itu berdiri dengan berpegangan pada tembok, “Ayo saya antar ke dalam, Pak. Pak Davit harus istirahat,” ucap Lintang membantu Davit untuk masuk.  “Lintang,” cegah Davit.  “Hem,” jawab Lintang berdehem.  “Lintang, meski kamu sudah tidak bersama orang tua kamu. Masih ada saya, kalau kamu butuh apa-apa, bilang sama saya. Karena saya yang bertanggung jawab atas kamu,” ucap Davit. Ucapan Davit membuat air mata Lintang mendesak ingin keluar lagi. Kini ia merasa menyesal sudah bercerita kepedihannya pada Davit. Sekarang Davit mengasihaninya. Lintang tidak ingin dikasihani, tapi ucapan Davit membuatnya memupuk harapan. Atas dasar apa Davit mau bertanggung jawab atas dirinya? Hubungan ini akan segera berakhir, Lintang mengusap air matanya, ia tidak ingin berekspektasi tinggi. Sudah cukup Lintang hancur karena kepergian orang tuanya, ia tidak ingin hancur kedua kalinya karena saat sudah memiliki perasaan pada Davit, ia harus dihadapkan kenyataan dengan perpisahan.  “Ayo, Pak!” Lintang membantu Davit untuk ke kamar. Perempuan itu juga membantu suami kontraknya untuk merebahkan tubuhnya di ranjang. Tidak lupa Lintang juga menyelimuti tubuh Davit. Dirasa sudah selesai, Lintang kembali melenggang pergi meninggalkan Davit. Davit ingin mencegahnya. Namun Lintang sudah pergi dan menutup pintunya seperti tadi, bedanya kali ini Lintang menutup pintunya dengan pelan.  Lintang berlari ke taman rumah sakit, perempuan itu duduk di samping pot bunga seraya menatap langit yang tampak mendung. Suasana seperti ini membuatnya dejavu. Masih ia ingat jelas di lima tahun yang lalu. Saat itu hujan tiada henti, seolah pertanda kalau hatinya akan hujan deras juga. Kecelakaan orang tuanya adalah titik akhir kebahagiaannya, juga awal baru Lintang memulai kehidupannya tanpa orang terkasihnya. Jeritan dan air mata masih Lintang ingat jelas, saat itu tidak ada satu pun yang menguatkannya. Kini Lintang terbiasa berdiri tegak seorang diri, tapi perasaannya dengan Davit memporak-porandakan hatinya. Lintang menatap cincin yang melingkar di jari manisnya, Lintang menangis tersedu-sedu menatap cincin itu.  “Ayah, Ibu, Lintang sudah menikah. Apa kalian bahagia?” tanya Lintang seorang diri.  “Kalau nanti Lintang tidak bahagia, bisakah Lintang ikut dengan ayah dan ibu?” tanya Lintang lagi.  “Terkadang Lintang bingung, buat apa Lintang menggapai cita-cita kalau kalian tidak ada di samping Lintang. Tidak ada yang harus Lintang bahagiakan. Saat Lintang mencapai itu semua, lalu apa tujuan hidup Lintang lagi, Yah, Bu?” Lintang menangis sembari menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Hati Lintang yang sebenarnya sangatlah rapuh. Ia tidak ingin hatinya begitu lemah, tapi mau bagaimana lagi. Ia tidak bisa menahan tangisan yang keluar.  Malam yang semakin dingin dan terasa sepi membuat Lintang menumpahkan seluruh isi hatinya. Perempuan itu menangis sejadi-jadinya. Dengan adanya Pak Davit, ia merasa ada pegangan, tapi lagi-lagi kenyataannya mereka akan berpisah lagi. “Yah, Bu, Lintang bertemu pria yang baik, tapi dia sangat galak. Bersama dia, Lintang sedikit bahagia,” bisik Lintang.  Tanpa Lintang duga, taman itu ada di samping kiri kamar inap Davit. Davit menatap dari jendela Lintang yang tengah menangis membelakangi ruang rawatnya. Ia tidak tahu apa yang diungkapkan istrinya dalam tangisan itu, yang dia tahu bahu Lintang bergetar menandakan perempuan itu sedang menangis.  Davit ingin menjadi sandaran Lintang, ia ingin selalu ada untuk Lintang. Namun ia sadar ia siapa. Hubungan awalnya hanya dosen dan mahasiswi, hanya kebetulan saja mereka menikah. Hati Davit terasa nyeri dan tersayat-sayat melihat air mata Lintang tumpah ruah. Melihat bahu Lintang yang bergetar membuat Davit ingin memeluk perempuan itu dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Kalau boleh memilih, Davit lebih memilih melihat Lintang marah dan bertengkar dengannya daripada menangis seperti ini.  Kehilangan orang tua adalah patah hati terbesar untuk Lintang. Setiap malam bagi Lintang adalah mimpi buruk, di mana tragedi kecelakaan itu selalu menghampirinya setiap malam. Lintang tidak ingin tidur, ia ingin terus membuka matanya agar tragedi itu tidak terulang di memori otaknya bagai kilasan film. Bila ini takdirnya, Lintang akan berusaha terus berdiri tegak, menjaga hatinya agar terus kuat. Ia tidak ingin berharap lebih pada manusia, terlebih pada Pak Davit yang bisa saja menjatuhkannya dalam waktu dekat. “Aku siapa sampai aku berharap Pak Davit menyukaiku,” bisik Lintang menertawakan dirinya sendiri. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN