Hukma membelikan obat diare untuk Pak Davit dan Pak Bayu. Sedangkan Lintang mengambilkan air hangat untuk kedua dosen yang saat ini kehilangan wibawanya.
“Pak Bayu, Pak Davit, silahkan minum dulu biar sakitnya reda,” ucap Lintang menyerahkan air minum satu-satu.
“Lintang, panas,” rengek Davit setelah menempelkan bibirnya ke gelas. Pria itu menyodorkan gelasnya lagi pada Lintang.
“Pak ini hangat. Air hangat cocok untuk penderita diare,” ucap Lintang menyerahkan kembali gelasnya.
“Tapi panas, bibirku semakin panas ini, tiupin!” pinta Davit.
Lintang menahan dirinya untuk tidak menghujat Davit. Saat makan ramen pedas saja sok-sokkan kuat, tapi setelahnya langsung lemas kayak kerupuk disiram air. Lintang mengambil gelas Davit dan meniupnya perlahan.
“Maksudnya tiupin bibirku yang panas,” ucap Davit yang membuat Lintang semakin memelototkan matanya.
“Pak, Pak Davit apa-apaan sih kayak gitu? Tadi saja sok bisa makan pedas, sekarang sakit perut rewelnya minta ampun,” ucap Lintang dengan kesal. Bukannya takut dengan kemarahan Lintang, Davit malah semakin merengek.
“Lintang, panas ….” rengek Davit yang persis anak usia lima tahun yang sedang manja dengan emaknya. Lintang menarik napasnya dalam-dalam, emosinya benar-benar dipermainkan oleh Davit. Dengan kesal Lintang mendekatkan bibirnya dengan bibir Davit, perempuan itu meniup-niup bibir Davit dengan pelan. Davit melirik Bayu yang juga meliriknya, dalam hati Davit tersenyum penuh kemenangan. Ia merasa satu langkah lebih hebat dari Bayu.
“Rasain jomblo ngenes,” batin Davit.
“Awas saja kamu. Saat ini kamu tersenyum di atas penderitaaku, ada gilirannya aku tertawa melihat kesedihanmu,” ucap Bayu yang juga dalam hati. Mereka seolah bisa bicara via telepati. Sembari melirik, Davit mencebikkan bibirnya dengan sinis ke arah Bayu, begitu pun dengan Bayu. Kedua pria dewasa itu tengah perang dalam diam.
Hanya karena satu perempuan, wibawa kedua dosen itu sudah runtuh. Davit sang dosen yang terkenal galak dan pelit nilai saat ini mati-matian mencari perhatian Lintang, begitupun sang dosen Tipologi Bangunan bernama Bayu yang turut haus perhatian Lintang.
“Lintang, aku bawain nih obatnya!” teriak Hukma yang datang tergesa-gesa menghampiri Lintang.
Lintang segera menerima obat itu, ia memberikan satu persatu pada Davit dan Bayu. “Ini silahkan diminum. Aku akan ambilkan handuk buat kompres perut biar lebih enakan. Pak Bayu punya handuk kecil apa enggak?” oceh Lintang.
“Ada di kamar mandi, tapi hanya satu,” jawab Bayu. Lintang mengangguk, perempuan itu segera mengambil handuk dan air hangat untuk mengompres suami dan pak Bayu.
Setelah mendapat apa yang ia butuhkan, Lintang segera menghampiri dua pria dewasa yang kelakuannya persis seperti bocah itu.
“Pak Davit, duduk yang tegak biar aku kompres,” ucap Lintang. Davit duduk dengan tegak yang memperlihatkan perutnya one pack alias rata dan punya satu belut yang sangat memalukan.
“Lintang, saya juga mau dikompres,” ucap Bayu melepas bajunya dengan cepat dan memperlihatkan bentuk tubuhnya yang ber-abs, sangat kotak-kotak dan pelukable. Lintang membulatkan matanya seraya bibirnya menganga lebar. Tahu arah padangan Lintang membuat Davit ikut memandang ke arah Bayu.
Hidung Davit kembang kempis melihat Bayu yang melepas bajunya memperlihatkan perut bagusnya. Bayu menatap Davit dengan senyum penuh kemenangan seolah berkata ‘Perut gue lebih bagus’
Dengan spontan Davit menutup mata Lintang dengan telapak tangannya, “Kita kompres-kompresan di rumah,” ucap Davit segera menarik Lintang keluar dari rumah Bayu.
“Eh .. ehh .. eh Pak Davit, lepasin saya!” pekik Lintang memberontak dari tarikan Davit. Apalagi Davit juga menutup matanya dengan telapak tangan pria itu.
“Lintang, jangan tinggalin saya!” ucap Bayu mendramatisir keadaan.
Mendengar teriakan Bayu membuat Davit semakin cepat membawa kabur istrinya dari penampakan indahnya perut sixpack milik Bayu. Hukma yang bingung dengan situasinya pun segera mengejar kakak dan kakak iparnya.
“Pak Davit, lepasin saya,” ucap Lintang. Davit melepaskan Lintang saat sudah masuk ke rumahnya dan mendudukkan dirinya di sofa. Lintang mengucek matanya yang terasa perih karena Davit.
“Pak Davit keterlaluan sekali,” ucap Lintang dengan marah.
“Lintang jangan marah-marah, nanti Lintang lekas tua ….” Davit bernyanyi pelan yang semakin membuat Lintang berang. Namun meski Lintang menampilkan raut garangnya, Davit malah terkekeh kecil. Ia hanya mengimbangi cara Lintang, biasanya Lintang yang bernyanyi menyindirnya dengan sebutan dosen galak, sekarang saat ia sendiri yang bernyanyi menyindir Lintang, giliran Lintang yang marah.
“Sakit perut ini kalau Pak Davit gak makan banyak sambal juga gak akan terjadi. Saya capek ngurusin Bapak yang kekanakan begini, sudah urus saja perut pak Davit sendiri,” ucap Lintang menghentakkan kakinya.
“Lintang, kamu tega ninggalin saya dalam keadaan lemah tidak berdaya begini?” tanya Davit. Davit meringkuk di sofa, perutnya kembali terasa sakit.
“Lintang, kita bawa Kak Davit ke rumah sakit saja. Kak Davit gak bisa makan cabe banyak-banyak, takutnya infeksi usus,” ucap Hukma yang membuat Lintang tercenung.
“Apa begitu parah?” tanya Lintang.
“Iya, dulu pernah kejadian kayak gini,” jawab Hukma.
“Ya sudah kalau gitu ayo kita bawa ke rumah sakit!” ucap Lintang. Lintang menuju ke kamar Davit untuk mengambil baju, dompet pria itu, dan kunci mobil.
“Kak Hukma bisa nyetir?” tanya Lintang yang sudah datang membawa apa yang ia cari.
“Bisa. Ayo bantuin aku bopong Kak Davit,” ucap Hukma. Lintang mengangguk, pria itu menyerahkan kaos Davit yang langsung dipakai pria itu.
“Aku maunya dituntun sama Lintang,” ucap Davit. Hukma memicingkan matanya. Dalam keadaan begini saja Davit masih banyak maunya. Lintang yang tadi mengatakan tidak akan mau mengurus Davit yang sakit pun ternyata hanya basa-basi semata. melihat Davit yang semakin lemas membuatnya tidak tega. Dengan hati-hati Lintang membawa tubuh Davit ke mobil dan mendudukkan di kursi belakang. Lintang ikut duduk di samping Davit dan membiarkan Hukma menyetir.
“Makanya Pak, besok-besok gak usah makan cabe. Gini perut mules diri sendiri yang merasakan sakit dan saya yang merasa repot. Andai itu saya yang mules, pasti Pak Davit bukannya membawa saya ke rumah sakit malah buang saya ke jalanan,” ucap Lintang.
“Saya tidak sekejam itu Lintang,” sangkal Davit.
“Saya kira saya menikahi dosen yang sempurna, ternyata malah kayak gini. Huh, kisah indah hanya ada di drama romantis,” cibir Lintang.
“Kamu jangan mancing-mancing emosi saya,” ucap Davit memperingati. Lintang memilih diam daripada bicara malah dianggap salah.
Tidak beberapa lama mereka sampai di rumah sakit. Dengan dibantu perawat yang siap siaga, Davit dibawa ke ruang unit gawat darurat sedangkan Huma mengurus administrasi. Setelah pemeriksaan, ternyata Davit keracunan makan pedas yang membuatnya diare berkepanjangan dan kehilangan banyak cairan. Davit harus opname di rumah sakit, pria itu dipindahkan ke ruang rawat dan harus diinfus karena tubuhnya yang lemah.
Lintang mendudukkan dirinya di kursi samping ranjang Davit, perempuan itu menatap Davit yang terlihat sangat lemah. Hanya karena cabe bisa membuat Davit terbaring di rumah sakit.
Davit menatap Lintang yang juga menatapnya. Sebenarnya Davit sangat malu saat dirinya lemah begini, ia merasa menjadi laki-laki seperti mie yang melehoy.
“Kenapa kamu menatap saya kayak gitu?” tanya Davit menyentak Lintang. Lintang menggelengkan kepalanya.
“Saya mau bangun,” ucap Davit yang membuat Lintang mengerutkan dahinya.
“Ya bangun sendiri kan bisa. Yang sakit perutnya, tangannya bisa menyangga buat bangun,” jawab Lintang,
“Ya bantuin!” titah Davit. Hukma yang duduk tidak jauh dari sana pun hanya menatap kakaknya dengan jengah. Hukma merasa kalau hawa-hawa bucin sudah ada ada pada diri kakaknya.
“Hukma, pulang sana!” titah Davit saat mendapati Hukma.
“Kakak menyuruhku pulang setelah aku bantuin kakak?” tanya Hukma tidak percaya.
“Iya, cepetan!” ucap Davit mendesak. Hukma selalu peka dengan apa yang dilihat dan dirasakan. Davit tidak mau Hukma salah sangka kepadanya seperti Bayu yang menilainya suka dengan Lintang.
“Iya iya aku pergi, dasar gak tau terimakasih,” ucap Hukma dengan kesal. Hukma menghentakkan kakinya dan pergi dari ruang rawat kakaknya seraya membanting pintunya dengan kasar.
“Pak Davit keterlaluan, sudah dibantuin sama Kak Hukma, sekarang nyuruh Kak Hukma pergi,” ucap Lintang.
Davit tidak menanggapi, pria itu mencoba untuk duduk. Gara-gara cabai membuat perutnya sangat panas dan mual. Alergi yang sudah lama tidak kambuh kini kambuh lagi, ususnya terasa muntir saking sakitnya. Wibawanya runtuh seketika saat dilihat Lintang ia tengah terbaring lemah.
Namun ucapan Bayu masih saja mengganggu Davit. Kata Bayu, Lintang harus segera punya pacar yang mau menerima dia apa adanya.
“Lintang, saya mau tanya sama kamu,” ucap Davit.
“Iya tanya saja,” jawab Lintang.
“Kamu terpaksa menikah sama saya?”
“Iya,” jawab Lintang tanpa berpikir. Raut wajah Davit sudah berubah menjadi keruh.
“Kamu gak suka sama saya?” tanya Davit lagi.
“Suka dalam artian apa, Pak?” tanya Lintang balik. Davit gelagapan, pria itu berdehem untuk menetralkan ekspresinya.
“Lupakan,” jawab davit memalingkan wajahnya.
“Pak, suka apa?” desak Lintang lagi.
“Lupakan, Lintang. Gak penting!” kata Davit.
“Tapi Pak Davit sudah bertanya, kalau bertanya itu harus berakhir dengan jelas,” desak Lintang yang masih kepo dengan artian suka.
Terkadang Lintang bingung dengan sikap Davit, Davit selalu melarangnya dekat dengan Pak Bayu seolah Pak Davit suka padanya. Namun terkadang Pak Davit juga terlihat tidak menyukainya.
Lintang menundukkan kepalanya, ia harus sadar diri. Ia dan Davit berbeda jauh, mana mungkin Davit menyukainya. Bagaimanapun hubungan mereka ada batas tidak kasat mata yang menjadi benang pemisah antara mereka.
Davit masih memalingkan wajahnya, pria itu ingin menahan waktu agar tidak cepat berlalu. Agar pernikahan kontrak ini juga tidak cepat berakhir. Meski awalnya ia pun terpaksa menjalani pernikahan ini, lambat laun ia mulai terbiasa dengan hadirnya Lintang, gadis yang sangat ceroboh dan suka tidur.
****
Malam harinya, Davit kembali merengek bak anak kecil. Pria itu memaksa Lintang untuk duduk di ranjangnya seraya mengelus rambutnya. Benar-benar sikap Davit seolah anak kecil berusia lima ahun yang sangat manja kepada ibunya.
“Lintang, cepetan sini!” ucap Davit mendesak Lintang agar duduk di ranjangnya. Dengan berat hati pun Lintang duduk di ranjang Davit, Davit segera meletakkan kepalanya di pahaa Lintang yang membuat Lintang terkesiap.
“Pak Davit apa-apaan sih tidur di pahaa saya. Pak Davit sudah melewati batas,” ucap Lintang mencoba mendorong kepala Davit. Namun Davit menahannya.
“Lintang, saya sedang sakit. Tidak adakah sedikit simpati kamu untuk saya?” tanya Davit mendramatisir.
“Kalau sakit itu harusnya tidur dengan nyenyak, bukan malah tidur di pahaa saya. Memangnya Pak Davit merasa kepala Pak Davit gak berat apa?” tanya Lintang dengan marah.
“Kepala saya berat karena stok kepintaran saya full sampai overdosis gak muat di kepala,” jawab Davit.
“Ya ampun, Pak. Pak Davit bikin saya emosi saja kerjaannya,” keluh Lintang dengan frustasi.
“Lintang jangan marah-marah, nanti Lintang lekas tua. Davit baik hati orangnya, banyak duit dompetnya ….” Davit kembali menyanyi yang membuat Lintang ingin membelah tubuh Davit menjadi dua bagian sekarang juga. Ternyata disindir menggunakan lagu rasanya tidak enak.
“Lintang jangan marah hpphhh ….” Davit kembali menyanyi yang bibirnya langsung dibungkam Lintang menggunakan telapak tangannya.
“Diam!” desis Lintang dengan tajam. Davit mengumpat dalam hati. Awas saja Lintang, saat ia sembuh ia akan membalas Lintang yang sudah merampas hak menyanyinya.