Davit menghampiri Lintang, pria itu menarik tangan istrinya dan membawanya keluar kamar mandi, “Kamu kenapa sih pakai ngintip? Apa maksud kamu kalau kamu suka yang perkasa?” tanya Davit dengan kesal.
“Lah Pak Davit memfitnah saya kalau saya suka yang banyak duitnya. Saya kan gak begitu meski begitu juga,” kata Lintang mengoceh.
“Apa maksud kamu sih? Gak suka yang banyak duitnya tapi juga suka?” tanya Davit.
“Ehehe … kadang suka yang banyak duitnya, kadang suka yang perkasa,” jawab Lintang cengengesan.
Davit menatap tajam istrinya, dengan Lintang ia berhasil jungkir balik sampai koprol-koprol. Hatinya juga berhasil diporak-porandakan Lintang, terlebih ia rela balapan makan cabai dengan si pengganggu Pak Bayu.
“Ayo kita pulang!” ajak Davit menarik tangan Lintang.
“Tapi Pak Bayu masih di dalam,” kata Lintang.
“Jangan pikirkan Pak Bayu. Pak Bayu punya kaki sendiri buat jalan,” jawab Davit.
“Tapi mobil Pak Bayu masih di kampus.”
“Dia punya uang untuk memesan taksi,” jawab Davit. Davit menarik Lintang sampai keluar dari restoran ramen. sedangkan Hukma sudah menunggu di sana setelah membayar.
“Kak Davit, kak Davit baik-baik saja kan makan pedas?” tanya Hukma yang khawatir.
“Baik,” jawab Davit.
“Kalau baik kenapa bibirnya sampai jontor begitu?” tanya Hukma. Davit menutup bibirnya dengan spontan, Lintang menatap wajah Davit yang masih berkeringat.
“Lain kali gak usah makan pedas kalau gak bisa makan, Pak,” ucap Lintang.
“Lintang, saya nebeng pulang, ya,” ucap Pak Bayu yang datang menyusul mereka. Davit mengepalkan tangannya. Bisakah Bayu musnah saja dari dunia ini? Setiap saat Bayu mengganggu hidupnya.
“Pak Bayu, apa Pak Bayu tidak malu nebeng di mobil suami istri?” tanya Davit.
“Pak, kita teman kuliah kalau Pak Davit lupa. Dan lagi, Lintang hanya istri kontrak. Istri kontrak jangan Pak Davit anggap serius, kasihan Lintang yang terus Bapak kekang. Mulai saat ini Lintang harus dekat dengan pria lain, supaya kalau Pak Davit ceraikan nanti, Lintang bisa mendapatkan pria yang bisa menyayanginya apa adanya,” bisik Bayu di telinga Davit. Davit tercekat, bibir pria itu terasa kelu.
“Pak, jadi kita pulang?” tanya Lintang. Davit mengangguk, pria itu segera menuju ke mobilnya dan duduk di kursi kemudi. Lintang pun menyusul suaminya duduk di bangku depan, sedangkan Hukma dan Bayu di belakang. Tanpa sepatah kata pun Davit segera melajukan mobilnya membelah jalanan. Beda dengan saat berangkat tadi yang riuh karena Bayu yang menggoda Lintang, sekarang suasana sangat awkward saat Davit menampilkan raut datarnya. Lintang yang merasakan perubahan mood Davit yang sangat kentara pun hanya bisa diam. Ia beberapa kali ingin membuka suaranya, tapi ia tahan dan katupkan lagi.
Suasana canggung berlangsung hingga mereka sampai ke rumah. Bayu segera turun dan menuju ke rumahnya. Lintang menatap Bayu dan Davit yang tampak aneh. Setelah Bayu berbisik pada Davit, kedua pria dewasa itu sama-sama bungkam. Davit keluar dari mobilnya dan membanting pintunya dengan kencang hingga membuat Lintang tersentak.
Perasaan Davit tidak terima dengan ucapan Bayu, tapi itulah adanya. Ia tidak boleh egois, tapi ia pun tidak bisa membiarkan Lintang berdekatan dengan pria lain selain dirinya. Davit harus apa? Ia tidak tahu juga apa yang harus ia lakukan.
“Pak, Pak Davit. Apa saya salah ngomong sama Pak Davit?” tanya Lintang mendekati Davit. Melihat keterdiaman Davit membuat Lintang takut dan was-was.
“Tidak. Kamu istirahatlah, saya mau ke kamar mandi dulu,” ucap Davit.
“Tidak jadi bimbingan?” tanya Lintang.
“Nanti saya ke kamar kamu,” jawab Davit. Lintang mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kak Hukma, kak Hukma nginep saja di sini, ya. Nemenin aku, kayaknya Pak Davit lagi marah, deh. Aku takut,” bisik Lintang pada Hukma.
“Ayo ke kamar kamu,” ajak Hukma.
Lintang pun menarik Hukma ke kamarnya. Sedangkan Pak Davit sudah merasakan perutnya bagai diaduk-aduk dan terasa sangat panas. Davit mendudukkan diri di kloset duduk, pria itu sembari mengeluarkan isi perutnya juga tengah memainkan botol shampo. Keberadaan Bayu sungguh mengusik lahir dan batin Davit. Lintang istrinya, tapi Bayu sangat gencar mendekatinya. Padahal Bayu juga bilang kalau Lintang biasa saja.
Mengingat Bayu membuat Davit merasa emosi, dengan kencang ia melempar botol shampo-nya hingga terbentur pintu kamar mandi.
Brakkk!
Napas Davit ngos-ngosan, kali ini ia benar-benar marah dengan Bayu. Bisa-bisanya Bayu mengibarkan perang padaya. Davit menyudahi buang hajatnya, pria itu segera membersihkan diri dan berjalan tergesa-gesa keluar dari kamar mandinya.
“Sialann kamu, Bayu!” umpat Davit melepas kancing kemejanya satu persatu hingga membuatnya telanjang dadaa. Pria itu membuka pintu utamanya dengan kencang dan segera melompat tembok pembatas.
Brak … Brakk … Brakk!
Davit memukul pintu rumah Bayu dengan kencang. Tidak berapa lama, sang empu datang membukakan pintu seraya memegangi perutnya.
Davit mendorong Bayu dengan kencang hingga membuat Bayu terhuyung ke belakang.
“Pak Davit, ada apa?” tanya Bayu yang bingung. Tiba-tiba Davit datang selayaknya preman menagih hutang.
“Saya mau bicara sama kamu!” ucap Davit dengan tegas.
“Bicara saja, Pak. Tapi yang cepat, karena saya kebelet pup,” ucap Bayu.
“Jauhi Lintang!” tegas Davit yang membuat Bayu tercekat.
“Kenapa saya harus menjauhi Lintang?”
“Dia istri saya.”
“Pak Davit sadar, baru tiga hari Pak Davit menjadi istri Lintang. Apa Pak Davit sudah cinta sama Lintang sampai menyuruh saya jauhi Lintang?”
“Cinta? Cinta tidak ada di kamus saya. Saya hanya tidak ingin mahasiswi saya berhubungan dengan laki-laki selama belum lulus kuliah,” jawab Davit.
“Jangan egois. Lintang seorang wanita, mulai saat ini ia sudah harus mencari pria yang bisa menerima dia apa adanya. Kalau duda bisa menggoda, tapi kalau janda? Pak Davit sadar gak kalau status janda banyak yang dijadikan olok-olokan. Kalau Lintang telat punya pacar, lalu siapa yang akan mau sama dia?” oceh Bayu yang keukeuh.
“Menurutmu siapa yang pantas menjadi pacar Lintang?” tanya Davit.
“Saya,” jawab Bayu tanpa ragu sedikit pun. Napas Davit mulai memburu, pria itu menatap Bayu dengan tajam.
“Kenapa kamu pantas dengan Lintang? Kamu pernah bilang kalau Lintang biasa saja.”
“Awalnya saya mengira Lintang biasa saja. Namun makin kesini saya lihat dia gadis luar biasa. Hubungan Pak Davit dengan Lintang hanya sebagai suami istri kontrak, setelah kontrak itu berakhir, saya akan menjadi suami Sah Lintang,” tegas Bayu yang benar-benar menyulut amarah Davit.
Davit menarik kerah baju Bayu, pria itu memukul wajah Bayu dengan kencang. Namun meski sangat kencang pukulannya, Davit tidak berhasil melimbungkan Bayu.
“Ingat ya Bayu, sebelum Lintang pisah sama saya. Dia masih milik saya. Tidak ada yang boleh menyentuh Lintang seujung kuku pun termasuk kamu!” tegas Davit.
“Tapi setelah dia pisah dengan Kamu, dia adalah milik saya. Kalau kamu cinta dengan dia dan mau bersaing, bersainglah dengan sehat!” ucap Bayu mengusap pipinya.
“Namun kalau kamu tidak cinta dia, lepaskan dia dan berikan dengan sukarela pada saya. Saya akan mencintai Lintang lebih dari saya mencintai diri saya sendiri,” tambah Bayu lagi.
Davit masih menatap Bayu dengan tajam. Cinta? Davit tersenyum sinis, ia yakin kalau ia tidak mencintai Lintang.
“Saya akan berikan dia dengan sukarela. Saya tidak cinta sama gadis bodooh itu,” ucap Davit.
“Baik, Lintang memang tidak pantas sama pria yang tidak bisa mengerti potensi yang dimilikinya,” kata Bayu.
Davit ingin melayangkan pukulannya lagi pada Bayu, tapi perutnya tiba-tiba terasa sangat mulas. Davit memegangi perutnya, begitu pun dengan Bayu yang perutnya turut mulas.
Davit dengan cepat menuju ke toilet Bayu, Bayu yang tidak terima pun mengejar Davit dan memukul pintu kamar mandinya dengan membabi buta.
“Pak Davit … buka, Pak. Saya kebelet!” teriak Bayu menggedor pintu kamar mandinya. Davit adalah definisi tamu laknat, datang membawa keributan dan juga menumpang buang kotoraan.
“Pak Bayu bentar, saya mules banget,” ucap Davit sambil meringis.
“Lha terus Pak Davit kira saya lagi laper apa? Saya juga lagi mules,” teriak Bayu.
“Sabar dikit, Pak. Belum keluar semua,” kata Davit masih memegangi perutnya. Davit benar-benar tidak tahu malu, tadi dia datang dan menonjok Bayu, sekarang malah numpang di kamar mandinya.
“Pak, ini sudah di ujung, Pak!” teriak Bayu.
“Ini sebentar lagi keluar!”
“Ayo, Pak. Cepetan!”
“Jangan ditarik-tarik itunya!”
“Ayo dong, udah gak tahan!”
Hukma dan Lintang menutup mulutnya rapat-rapat saat mendengar suara yang sangat tabu dari rumah sebelah. Suaranya sangat kencang sampai di kamar Lintang. Kata-kata di ujung, sebentar lagi keluar, cepetan, membuat Hukma dan Lintang berpikir traveling.
“Apa yang dilakukan Pak Davit sama Pak Bayu?” tanya Hukma pada Lintang. Lintang menggelengkan kepalanya.
“Apa Pak Davit sama Pak Bayu main pedang-pedangan? Apanya yang disuruh cepatan? Apanya yang gak tahan?” tanya Hukma bergidik ngeri.
Hukma segera turun dari ranjang, perempuan itu keluar dari kamar Lintang dan menuju ke rumah Bayu, begitu pun dengan Lintang yang ikut menyusul.
“Pak Bayu, Pak Davit!” teriak Hukma dan Lintang. Davit yang sudah selesai pun segera membuka kamar mandi, sedangkan Bayu segera masuk. Saat mendengar suara dua perempuan, mereka mematung di dalam kamar mandi bersamaan.
Hukma dan Lintang membulatkan matanya saat melihat Pak Bayu dan Pak Davit di dalam kamar mandi yang setengah terbuka, apalagi Davit dalam keadaan bertelanjang dadaa.
“Kak, Apa yang kakak lakukan di kamar mandi sama Pak Bayu?” tanya Hukma penuh selidik. Bayu dan Davit saling berpandangan, sadar apa yang dipikirkan Hukma. Bayu segera mendorong Davit agar keluar kamar mandi. Bayu segera menutup pintunya dengan cepat dan duduk di atas kloset.
“Kalian kenapa nyusul ke sini?” tanya Davit pada istri dan adiknya.
“Kak Davit, Kak Davit gak lagi kikuk-kikuk kan sama Pak Bayu?” tanya Hukma lagi.
“Kikuk-kikuk?” tanya Davit dengan bingung. Namun sedetik kemudian ia sadar apa yang dimaksud Hukma.
“Enak saja, kamu kira kakakmu suka main pedang-pedangan? Gak usah ngawur kamu!” sentak Davit. Tidak berapa lama perut Davit kembali bergejolak, perutnya terasa diaduk-aduk dan membuatnya sangat lemas.
“Pak Bayu … gantian, Pak!” ucap Davit menggedor pintu kamar mandi. Bayu membuka pintunya, giliran Davit yang masuk. Belum ada lima menit Davit masuk, Bayu sudah menggedor pintu kamar mandinya. Davit keluar, gantian Bayu yang masuk. Begitu terus sampai Lintang dan Hukma mematung di tempatnya.
Kini Davit dan Bayu saling berebut kamar mandi di rumah bayu. Davit seola sudah tidak punya tenaga lagi, pria itu menjatuhkan dirinya di lantai depan kamar mandi saking sakit di perutnya sudah tidak bisa ditahan lagi. Kehilangan banyak cairan membuatnya sangat lemas.
“Pak, Pak Davit kenapa bisa jadi gini?” tanya Lintang mencoba membantu Davit berdiri.
“Lintang, perut saya sakit,” ringis Davit.
“Ini pasti gara-gara Pak Davit banyak makan sambal. Makanya kalau tidak kuat gak usah banyak makan,” oceh Lintang menarik sekuat tenaga tubuh Davit agar berdiri. Lintang menahan beban tubuh Davit yang sangat berat.
“Ahhh … Lintang, perut saya sakit banget,” ucap Davit lagi. Keringat sebiji jagung juga bercucuran di pelipis Davit.
“Lintang, perut saya juga sakit,” ucap Bayu keluar dari pintu kamar mandi.
“Ayo ke sofa, saya belikan obat buat kalian,” ucap Lintang membawa Davit ke sofa.
“Lintang, saya mau kamu elus perut saya biar sakitnya reda,” ucap Davit merengek.
“Lintang, saya juga mau kamu elus perut saya biar sakitnya juga reda,” ucap Bayu yang ikut-ikutan.
Kaki Davit menendang ke belakang tepat ke arah kaki Bayu yang membuat Bayu mengaduh kesakitan.