14. Lintang Pilih Yang Mana

2226 Kata
“Pak, Pak Davit yang semalam kelonin aku?” tanya Lintang menggoyangkan tangan Davit.  Davit berdehem sebentar, pria itu tanpa menjawab segera melenggang pergi begitu saja. Seluruh wajah Davit memerah bahkan sampai di daun telinga. Davit merutuki dirinya sendiri yang keceplosan.  “Pak, Pak Davit, jawab!” pinta Lintang mengikuti Pak Davit. Begitu pun dengan Hukma yang kepo dengan urusan kakak dan kakak iparnya.  “Pak Davit sudah keterlaluan sama saya. Apa maksudnya Pak Davit tidur di samping saya dengan diam-diam? Kalau Pak Davit bilang kan saya bisa balik meluk Pak Davit,” oceh Lintang. Davit menghentikan langkahnya dengan spontan yang membuat Lintang menabrak punggung Davit dengan kencang.  “Aduhh ….” Lintang meringis kecil karena rasa sakitnya. Davit membalikkan tubuhnya dan menatap Lintang dengan pandangan penuh minta penjelasan.  “Apa maksud kamu?” tanya Davit.  “Maksud apa?” tanya Lintang balik.  “Apa maksud kamu bilang kalau saya bilang tidur sama kamu, kamu akan balik memeluk saya?” ulang Davit.  “Ah itu, saya hanya asal bicara,” jawab Lintang. Davit mengepalkan tangannya dengan kuat, hidungnya kembang kempis bagai banteng di arena, dan tatapannya menusuk Lintang dengan tajam.  Baru saja Davit ingin percaya diri kalau Lintang memang suka tidur dengannya. Namun kepercayaan diri Davit langsung runtuh saat Lintang mengatakan kalau ia hanya asal bicara.  “Lintang ….” desis Davit dengan pandangan seolah ingin menghabisi Lintang saat ini juga.  “Kenapa? Kenapa Pak Davit terlihat marah?” tanya Lintang.  “Kelak, jangan pernah bicara yang buat saya senang kalau ujungnya kamu jatuhkan!” tandas Davit kembali membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan Lintang. Lintang mematung di tempatnya, ia tidak merasa salah bicara. Lagi-lagi Lintang terkena amarah Davit tanpa alasan.  Davit berjalan tergesa-gesa melangkahkan kakinya di koridor kampus. Pria itu melepas kancing kemeja teratasnya karena gerah. Kalau seperti ini caranya, Davit yakin akan terkena serangan darah tinggi di usianya yang masih muda. Punya istri hobinya memberi harapan palsu. Davit sudah terlanjur senang saat Lintang ingin balik memeluknya, tapi kesenangannya tidak bertahan lama saat Lintang langsung menghempaskannya. Bagi Davit, kalau ada perempuan tidak punya hati di dunia ini maka itu adalah Lintang.  “Awww Pak Davit … d**a-nya sandarable,” ucap para mahasiswi saat Davit kembali melepas kancing kemeja nomor duanya yang memperlihatkan d**a-nya sedikit.  “Beruntungnya istrinya dapetin Pak Davit,” ucap yang lainnya lagi.  “Kalau aku milih Pak Bayu saja, lebih kekar, lebih jantan.” Suara salah seorang gadis menarik perhatian Davit. Davit menghentikan langkahnya dan mundur sedikit tepat di antara para gadis.  “Eh Pak Davit,” sapa mereka dengan canggung. “Siapa yang bilang Pak Bayu lebih kekar dan lebih jantan?” tanya Davit.  “Eh maaf, Pak. Bukan maksud ghibahin dosen. Saya minta maaf,” kata mahasiswi itu yang tidak enak hati.  Davit semakin kehilangan kesabarannya. Kalau ini di negeri dongeng, sudah pasti ubun-ubunnya mengeluarkan asap panas, dan bibirnya mengeluarkan lahar untuk menyembur siapa pun yang sudah memancing emosinya.  Lintang dan Hukma mengejar Davit, Davit yang merasa istri dan adiknya mendekat pun kembali melangkahkan kakinya. Kenapa harus Bayu? Itulah yang menjadi pertanyaan Davit. Lintang dan mahasiswinya yang lain selalu menyebut nama Bayu yang katanya lebih kekar.  “Pak Duren … tungguin!” teriak Lintang.  “Pak Duren Sawit … tunggu!” teriak Lintang lagi.  Oh sungguh … kali ini emosi Davit benar-benar naik turun. Belum juga emosinya reda, Lintang kembali memancingnya dengan memanggilnya Duren Sawit di khalayak umum. Kalau memanggil di rumah ia senang-senang saja, tapi masalahnya ini di khalayak ramai.  “Kak Davit, Kak Davit sudah tidak ada jam mengajar kan? Ayo ikut kami makan!” ajak Hukma yang kini sudah menghadang Davit.  “Hukma, kakak beda dengan kamu. Meski kita sama-sama pernah hidup di rahim yang sama, kakak bukan generasi micin kayak kamu,” ucap Davit.  Davit sudah tahu tabiat adiknya yang kalau mengajaknya makan pasti di tempat yang banyak micinnya. Davit tidak suka makanan yang mengandung banyak MSG.  “Pak ayo ikut saja. Saya punya rekomendasi makanan enak buat Pak Davit. Saya sama Kak Hukma sering ke sana,” ucap Lintang.  “Asal kamu tahu, saya masih marah sama kamu,” ujar Davit menatap Lintang. Lintang menutup bibirnya dengan rapat. Ia tidak tahu salah apa, tapi Davit sudah uring-uringan begini.  “Dan sebagai dosen pembimbing kamu, saya tidak mengijinkan kamu pergi. Pulang dan kita cek skripsi kamu,” tambah Davit yang membuat Lintang membulatkan matanya.  “Pak Davit jangan menyiksa saya, dong. Hari ini saya gak kerja berniat istirahat, masak jam segini sudah bimbingan. Waktu kita di rumah panjang, saya janji setelah makan saya akan bimbingan sama bapak,” ucap Lintang protes. Davit menatap Lintang dari atas sampai bawah. Pakaian Lintang benar-benar tidak mencerminkan sebagai istri dosen. Lintang selalu memakai setelan casual, celana jeans dan kaos panjang. Beda dengan mahasiswinya yang lain yang lebih mengerti style.  “Kak Davit ngapain menatap tubuh Lintang kayak gitu? Awas saja kalau Kakak mikir macam-macam!” bisik Hukma mendesis. Davit berdehem sebentar.  “Kalian makan saja. Saya tunggu di rumah, dua jam dari sekarang sudah harus sampai rumah untuk bimbingan,” kata Davit dengan tegas.  “Baik!” jawab Lintang dengan menggerakkan tangan layaknya hormat bendera. Bibir Davit berkedut ingin tersenyum, hanya karena ulah sederhana Lintang saja Davit sudah tidak kuasa marah lama-lama.   “Lintang, hai!” teriak seorang pria yang datang tergesa-gesa menghampiri Lintang, Davit dan Hukma.  “Pak Bayu,” sapa Hukma dan Lintang.  “Kalian mau pulang?” tanya Pak Bayu.  “Kami mau makan ramen dulu, Pak. Pak Davit yang mau pulang,” jawab Lintang.  “Saya sudah selesai mengajar, saya boleh ikut kalian?” tanya Bayu.  “Boleh!”  “Tidak!”  Lintang dan Davit menjawab bersamaan. Bedanya kalau Lintang menjawab boleh, sedangkan Davit menjawab tidak. Bayu menatap Lintang dan Davit bergantian.  “Boleh kok, Pak, Ayo ikut saja!” ucap Hukma menengahi.  “Kalau gitu ayo!” ajak Bayu.  “Saya juga ikut,” ucap Davit pada akhirnya.  “Katanya Pak Davit di rumah saja? Pak Davit gak apa-apa pulang lebih dulu, nanti saya biar diantar sama Kak Hukma atau bareng Pak Bayu,” kata Lintang.  “Saya harus memastikan kalau tidak ada dosen modus sama mahasiswi saya,” kata Davit menarik tangan Lintang dengan paksa. Davit mengajak Lintang berjalan lebih dulu, sedangkan Hukma dan Bayu menatap tangan sepasang suami istri itu yang saling bertaut.  “Hawa-hawa panas mulai tercium,” batin Hukma.  Davit menarik tangan istrinya sampai ke parkiran, pria itu yang mulanya sudah meredakan amarahnya karena tingkah lucu Lintang, kini harus kembali tersulut saat Bayu ikut dalam makan ramen bersama Lintang.  “Pak, Pak Davit kan gak makan pedas. Kenapa ikut?” tanya Lintang.  Davit tidak menanggapi, pria itu memasukkan istrinya dengan paksa ke mobilnya.  “Kak, aku ikut mobil kakak,” ucap Hukma yang berlari memasuki mobil kakaknya. Sedangkan Bayu pun demikian, ia ikut masuk ke mobil Davit. Davit menatap kaca spion depannya dengan geram.  “Kenapa Pak Bayu juga masuk ke mobil saya?” tanya Davit mendesis.  “Bukankah tadi Pak Bayu bawa mobil sendiri?” tambahnya.  “Saya memang bawa mobil sendiri. Tapi kan kita akan makan sama-sama, masak naik kendaraan beda kayak orang lagi musuhan saja,” jawab Bayu.  Davit menghidupkan mobilnya dengan perasaan teramat dongkol. Sekarang ia merasa menjadi seorang sopir. Mau tidak mau pun Davit menjalankan mobilnya ke restoran ramen yang dimaksud istrinya.  Bayu benar-benar berniat mengusiknya, saat ini Bayu tengah berbincang dengan Lintang membahas drama romansa yang seru. Sedangkan Davit? Davit sama sekali tidak tahu harus menimpali apa, karena dia pun tidak pernah menonton drama romansa. Davit bagai daun salam di masakan yang setelah dipakai memasak lalu disisihkan. Ia sudah baik hati menumpangi Bayu mobil, tapi Bayu sama sekali tidak menganggapnya dan malah menyisihkannya. Bayu, Hukma dan Lintang asik membahas kisah romansa dalam drama.  “Lintang, duduk dengan benar!” titah Davit saat Lintang membalikkan tubuhnya menghadap Bayu. Lintang terdiam seketika.  “Hadap depan, Lintang!” titah Davit lagi dengan galak. Lintang pun buru-buru membenarkan posisi duduknya untuk menghadap ke depan. Perempuan itu menarik-narik bajunya seorang diri. Lintang sangat lelah menghadapi sikap Davit yang terus berubah-ubah di setiap menitnya.  Tidak berapa lama mereka sampai di kedai ramen. Mereka memilih tempat yang paling ujung sesuai permintaan Davit, Hukma ke tempat pemesanan untuk memesan ramen original.  “Di sini ramennya bisa dikasih pedas sesuai selera masing-masing. Pak Davit kalau gak bisa makan pedas gak usah makan pedas,” ucap Lintang.  “Pak Davit tetap gak bisa makan pedas, ya?” tanya Bayu setengah mengejek.  “Saya bisa,” jawab Davit.  Tidak berapa lama ramen dan beberapa jenis sambal pun datang. Tidak lupa topping yang turut Hukma pesan.  “Pak, ini ramennya, ini sumpitnya, ini toppingnya,” ucap Lintang menyiapkan untuk Davit. Davit menganggukkan kepalanya dan menggeser mangkuk ramen agar tepat di hadapannya.  Lintang menuangkan sepuluh sendok sambal hijau ke ramennya, bau cabai menusuk di hidung Davit membuat Davit menutup hidungnya dengan spontan.  “Apa aroma restoran ini tidak enak, Pak? Kenapa Pak Davit menutup hidung? Kalau pemilik restorannya tahu, Pak Davit dikira menghina loh,” ucap Pak Bayu yang menjadi kompor. Davit segera menarik tangannya kembali.  “Ayo makan saja, Pak. Gak usah pakai cabe,” kata Lintang.  “Ahh … cowok perkasa harus makan cabe yang banyak,” ucap Bayu yang membuat Davit merasa tersindir.  “Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh.” Bayu menuangkan sambal dengan sendok seraya menghitungnya. Sambal yang terlihat memerah itu sepuluh sendok Bayu tuangkan ke mangkuk ramennya.  Davit menatap bayu dengan tajam, sedangkan Bayu menatap Davit dengan meremehkan. Davit menarik mangkok sambal, ia menuangkan sambal seraya menghitungnya dengan sendok sama seperti Bayu tadi. Namun bedanya Davit menuangkan dua puluh sendok sambal cabe. Lintang dan Hukma menatap Davit dengan bingung.  “Pak, jangan banyak-banyak, Pak Davit katanya gak suka cabe,” ucap Lintang ingin mengambil alih mangkuk Davit, tapi Davit menahannya. Davit masih setia menatap Bayu dengan tajam.  Bayu pun menatap Davit tidak kalah tajam. Sorot mata keduanya saling beradu seolah saling menunjukkan kalau mereka siap untuk berperang. Bayu mengambil mangkok sambal dan kembali menuangkan sambalnya. Davit tidak mau kalah, sambal hijau pun ia masukkan ke mangkuknya yang sudah dia masuki sambal merah. Davit dan Bayu kalap, mereka sibuk menuangkan sambal sebanyak-banyaknya ke mangkuk sampai membuat Lintang dan Hukma membeo.  Saat sambal di mangkuk sudah habis, Davit dan Bayu mulai memakan ramennya. Suapan pertama Davit ingin berteriak sekuat tenaga sampai seluruh jakarta bergoncang, lidah Davit seperti terbakar, hidung dan telinganya pun turut panas. Namun ia tidak mau kalah, ia terus memakan ramennya dengan lahap untuk membuktikan pada Lintang kalau ia lebih baik dari Bayu. Padahal Lintang pun tidak pernah membandingkan Bayu dan Davit dari tingkat kuat atau tidaknya makan cabe.  Davit dan Bayu seperti orang tengah marathon makan, mereka beradu cepat memakan ramennya. Keringat sudah bercucuran di pelipis Davit, bibir Davit pun juga tampak memerah.  “Pak Davit, sudah. Kalau tidak bisa makan pedas gak usah dipaksakan,” ucap Lintang mencoba menghentikan.  “Saya bisa,” jawab Davit dengan yakin. Davit mengusap pelipisnya yang terasa panas dan berkeringat, begitupun dengan Bayu. Tidak menunggu waktu lama, ramen di mangkuk keduanya sudah habis. Davit menatap tajam Bayu, begitupun dengan Bayu yang menatap tajam Davit. Mereka masih mengibarkan bendera perangnya meski bibir sudah memerah dan seperti disengat lebah sampai membengkak.  “Saya ke kamar mandi dulu,” ucap Davit yang segera berdiri dari duduknya.  “Saya juga ke kamar mandi dulu,” ucap Bayu yang ikut-ikutan.  Davit memasuki toilet, pria itu segera ke wastafel dan membasuh bibirnya dengan air mengalir. Davit kepedasan, pria itu bahkan hampir ngiler saking pedasnya ramen yang dia makan. Ia merasa tidak makan ramen melainkan cabe dengan topping mie.  “Hah … hah … hah ….” Davit mengusap bibirnya dengan tergesa-gesa saat rasa pedasnya malah semakin menggila.  “Huh hah … huh hah ….” Bayu berlari ke kamar mandi dan menuju ke wastafel. Pria itu membasahi bibirnya dengan air mengalir juga. Perutnya terasa panas, sedangkan wajahnya sudah semerah tomat.  “Huh hahh ….”  “Huh … hah….” Kedua pria dewasa itu mengipasi bibirnya dengan tangan saking pedasnya. Perang makan cabe sungguh menyiksa. Menyadari kedatangan satu sama lain membuat Davit dan Bayu menolehkan kepalanya.  “Ngapain kamu menyusul saya?” sentak Davit dengan galak.  “Siapa yang nyusul kamu?” tanya Bayu tidak terima. Davit dan Bayu menatap bibir satu sama lain yang sudah membengkak.  “Sok-sokan mau ikutin saya makan pedas. Gak kuat kan,” sinis Bayu.  “Kamu juga kepedasan, gak usah sok-sokan jadi orang,” ucap Davit.  “Saya tidak kepedasan,” jawab Bayu menegakkan dirinya.  “Saya juga tidak kepedasan,” kata Davit mengusap bibirnya dan menetralkan ekspresinya. Ia mencoba terlihat tidak kepedasan di hadapan Bayu, begitu pun dengan sebaliknya. Davit pun tidak tahu kenapa harus melakukan ini. Yang pasti ia tidak ingin Lintang menganggap Bayu lebih unggul darinya. Kedua pria dewasa itu yang sama-sama sudah kepedasan, meninggikan egonya agar terlihat baik-baik saja. Padahal ingus dan air mata tanda kepedasan sudah mendesak ingin keluar.  “Ingat Pak Bayu, kamu tidak akan bisa menyaingi saya. Karena bagi Lintang, pria yang keren itu bukan yang perkasa, tapi yang banyak duitnya,” desis Davit dengan tajam.  “Pak Davit ... saya pilih yang perkasa!” ucap Lintang menyembulkan kepalanya dari balik tembok.  “Kenapa kamu ngintip?” teriak Davit dan Bayu bersamaan. Hancur sudah harga diri kedua pria dewasa itu yang ketahuan tengah kepedasan di kamar mandi, karena Lintang yang diam-diam mengikuti mereka lalu mengintip.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN