13. Duren Sawit

1723 Kata
Hawa dingin menyelimuti pagi ini. Bau tanah basah juga tercium di indra penciuman Davit. Sayup-sayup Davit terbangun, saat menyadari dia tengah memeluk sesuatu, Davit segera terduduk. Matanya membulat sempurna saat menundukkan kepalanya melihat dirinya sendiri tengah telanjang dadaa. Pikiran Davit berkelana pada semalam, Davit ingat dirinya memang sengaja memeluk Lintang untuk membantu meredakan demam istrinya. Tangan Davit menempel di kening Lintang, pria itu menghela napasnya lega saat merasa tubuh Lintang tidak lagi demam.  Lintang menggeliat pelan, dengan secepat kilat Davit melompat dari ranjang serta menyambar bajunya dan lari tunggang langgang dari kamar Lintang sebelum Lintang benar-benar bangun. Davit tidak ingin dikira mengambil kesempatan dengan memeluk Lintang.  Pria berumur tiga puluh tahun itu segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri, sekaligus untuk menuntaskan sesuatu yang sudah seharusnya dituntaskan. Semalam adalah cobaan berat bagi Davit. Ibarat kucing kalau dikasih ikan asin, sudah pasti langsung disantap. Namun Davit tidak seperti kucing yang bisa langsung menyantap Lintang, karena ada batasan-batasan yang harus ia jaga. Meski begini, berhasil kelonin Lintang semalam membuat Davit mesam-mesem bak orang sinting.  Sepanjang mandi, bibir Davit berkedut ingin tersenyum. Semalam tubuhnya hanya menempel dengan Lintang, tapi sudah membuat laju jantungnya bertalu-talu. Itu hanya menempel, apalagi kalau lebih.  Davit menggosokkan sabun ke tubuhnya dengan setengah hati, karena ia sedikit tidak rela saat bekas pelukan Lintang hilang begitu saja. Setelah selesai mandi, Davit segera berganti paaian dan bergegas menuju ke dapur untuk memasakkan bubur. Meski mulutnya pedas, Davit masih punya sedikit perhatian untuk Lintang.  Lintang terbangun dan segera duduk, perempuan itu merapikan selimutnya dan segera berdiri dengan sedikit tertatih. Baskom dan handuk di meja menarik perhatian Lintang, perempuan itu merasa tidak pernah mengambil dan membawa benda tersebut ke kamarnya. Lintang menarik selimutnya dan menciumnya, ia merasa aroma Pak Davit tertinggal di sana.  Dengan tergesa-gesa Lintang keluar kamarnya, saat membukanya pun kamarnya tidak terkunci. Padahal Lintang yakin kalau semalam sudah menguncinya rapat. “Pak Davit!” teriak Lintang memanggil Davit.  “Di dapur,” jawab Davit yang juga berteriak. Lintang segera ke dapur, perempuan itu menatap tajam Pak Davit.  “Pak Davit masuk ke kamar saya tanpa izin, ya?” tanya Lintang yang tepat sasaran.  “Iya, saya mengompres tubuh kamu. Sekarang bagaimana? Sudah tidak demam?” tanya Davit yang mencoba sesantai mungkin.  “Kalau hanya mengompres, kenapa selimut saya ada aroma Pak Davit? Pasti Pak Davit nyari-nyari kesempatan sama saya,” ucap Lintang menggebu-gebu. “Saya nyari kesempatan sama kamu? Kamu gak salah bilang begitu?” tanya Davit. Lintang memalingkan wajahnya, perempuan itu segera mengambil gelas dan menuangkan air. Perempuan itu meneguknya dengan cepat.  “Pak Davit beneran gak ngapa-ngapain?” tanya Lintang lagi.  “Tidak, Lintang. Saya gak ngapa-ngapain. Saya mau minta maaf sama kamu soal ucapan saya semalam. Saya tahu saya keterlaluan, ini saya masakkan bubur buat kamu. Makan gih selagi hangat,” ucap Davit menyerahkan semangkuk bubur. Lintang menatap buburnya sebentar sebelum memutuskan untuk makan. Davit ikut duduk di depan Lintang, pria itu juga memakan bubur yang ia masak dengan kilat setelah dari kamar mandi. Setelah berpikir sangat lama, pada akhirnya Davit menyadari kecerobohannya yang mengatai Lintang dengan keterlaluan sampai membuat Lintang menangis semalam.  “Lintang, kamu mau maafin saya?” tanya Davit. Lintang sama sekali tidak mendengar kalimat tulus yang keluar dari bibir Davit. Cara minta maaf Davit seperti orang memaksa. Namun karena tidak mau berlarut-larut, Lintang pun menganggukkan kepalanya.  Beginilah Lintang, ia gampang tidak enak hati. Asal sudah minta maaf, pasti dengan mudah ia akan memaafkannya meski cara minta maafnya sama sekali tidak tulus.  “Iya,” jawab Lintang.  “Ini kartu rekening isinya bisa buat kebutuhan kamu. Mulai sekarang kamu yang mengatur keuangan untuk belanja kebutuhan rumah. Kalau mau ingin apapun tidak perlu ijin, itu uang kamu,” ucap Davit menyerahkan satu kartu pada Lintang. “Pak, tidak usah kartu begini. Cukup uang cash yang pas untuk kebutuhan bulanan saja. Saya tidak ingin apa-apa,” jawab Lintang.  “Kamu bawa saja. Itu bentuk nafkah dari saya. Kalau kamu kurang, bisa minta saya lagi,” kata Davit memaksa. Lintang mengambil kartu itu dengan senyum malu-malu.  “Ini beneran bisa saya terima?” tanya Lintang.  “Iya,” jawab Davit.  “Wah … Pak Bayu memang perkasa, Pak Davit banyak duitnya ….” Lintang bernyanyi sambil memandangi kartu itu. Davit melotot mendengar nyanyian Lintang, “Apa maksud kamu?” tanya Davit.  “Pak Bayu memang perkasa, Pak Davit banyak duitnya,” jawab Lintang memperjelas. Davit tersenyum sinting, ia satu langkah lebih maju daripada Bayu.  “Iya memang saya punya banyak duit, kalau kurang minta saja!” ucap Davit dengan congak.  “Wah Pak Davit benar-benar Duren Sawit, Duda Keren Sarang Duit,” ucap Lintang yang semakin gencar memuji.  “Sudah, lanjutkan makan kamu!” titah Davit.  “Pak, kayaknya rumah Pak Davit menjadi sarang hantu deh,” ucap Lintang tiba-tiba.  “Apa maksud kamu?”  “Semalam saya merasa ada yang peluk,” jawab Lintang yang membuat Davit tersedak buburnya sendiri.  “Ukhuk … ukhuk ….” Buru-buru Lintang menyerahkan air putih pada Davit yang langsung diteguk Davit sampai tandas.  “Pak Davit, beneran loh Pak saya merasa ada yang meluk. Terus gitu peluknya kenceng banget. Karena saya gak enak badan saya malas buka mata, tapi pelukan itu nyata, Pak. Apa jangan-jangan itu genderuwo? Kalau pelukan genderuwo senyaman itu, aku mau deh dipeluk genderuwo terus,” oceh Lintang membuat Davit hampir menyemburkan airnya.  “Terus kamar saya semalam saya kunci, tapi saat pagi terbuka. kalau bukan ulah genderuwo ulah siapa lagi?” oceh Lintang. Davit menghela napasnya, pria itu menggelengkan kepalanya.  “Saya gak habis pikir dengan jalan pikiran kamu,” jawab Davit dengan suara seraknya.  Lintang sungguh lemah bila Davit sudah mengeluarkan suara seraknya. Terkadang Lintang sangat labil. Terkadang ia menilai Davit sangat menyebalkan, terkadang ia juga menilai Davit sangat mempesona. Suara serak Davit yang membuat Davit terkesan berkharisma. Suara serak-seraknya bisa melelehkan jantung, hati, paru-paru, sampai rahim Lintang.  “Pak Davit tidak percaya hantu?”  “Saya percaya, dan benar yang kelonin kamu semalam adalah genderuwo,” jawab Davit yang malas meladeni otak lemot istrinya. Lintang mengangguk-anggukkan kepalanya.  Lintang memakan makanannya dengan lahap. Tanpa Lintang sadari, Davit tengah tersenyum-senyum seorang diri. Hanya karena dipuji Lintang banyak duitnya, Davit sudah kasmaran sampai dirinya Terlintang-lintang. Duren Sawit, mengingat kalimat itu membuat Davit semakin tersenyum kecil.   Pukul delapan pagi, Davit pergi ke kampus karena ada kelas. Sedangkan Lintang masih di rumah karena tidak bekerja. Lintang ingin mengistirahatkan dirinya karena kepalanya pun terasa sedikit pusing. Nanti siang ia akan ke kampus karena ingin menemui Bu Cika untuk meminta bantuan berganti dosen pembimbing. Lintang tidak enak bila Pak Davit yang menjadi pembimbingnya karena Pak Davit terus terang mengatakan kerepotan. Padahal Lintang tidak tahu saja kalau Davit lah yang mengajukan diri sebagai dosen pembimbingnya.  Perasaan Lintang sungguh campur aduk, ia menatap kartu rekening yang diberikan suaminya. Nomor Pin-nya pun ia sudah diberitahu. Namun meski begitu ia tidak akan menggunakan uang itu berlebihan, karena itu bukan haknya sepenuhnya karena dia hanya istri kontrak.  Pukul sepuluh pagi, Lintang menuju ke kampus untuk menemui Bu Cika. Sebelum menemui Bu Cika, Lintang bertemu dulu dengan Hukma di kantin kampus.  “Lintang, Kak Davit jahatin kamu gak?” tanya Hukma yang merasa khawatir kalau Lintang akan dijahati kakaknya.  “Kakak kamu gak jahat, hanya saja menyebalkan. Dan di rumah kakak kamu ada hantunya,” jawab Lintang.  “Hantu? Hantu apa?”  “Kayaknya genderuwo. Semalam aku ngerasa dipeluk gitu, aku merasa ada yang mendengkur juga di leherku,” jelas Lintang.  Hukma menepuk jidatnya dengan pelan, “Itu genderuwo rambut hitam, Lintang!” ucap Hukma dengan maksud genderuwonya adalah Davit sendiri.  “Gak tahu warna rambutnya sih. Soalnya setelah aku bangun, sudah gak ada,” jawab Lintang.  “Astaga Lintang … Kamu harus belajar lagi biar gak dibodoh-bodohin sama Pak Davit,” ujar Hukma dengan frustasi.  “Pokoknya kamu setiap malam harus kunci kamar kamu, jangan biarkan Davit masuk. Davit itu kayak predator, bahaya,” kata Hukma. Lintang mengangguk-anggukkan kepalanya, meski mengangguk sebenarnya Lintang tidak paham apa yang dimaksud Hukma. Ia masih sibuk memikirkan genderuwo yang mendekapnya semalam. Namun kalau genderuwo, kenapa parfum Pak Davit yang tertinggal. “Ya sudah yuk kita temui Bu Cika!” ajak Hukma. Lintang menganggukkan kepalanya, mereka segera menuju ke ruangan dosen untuk bertemu dengan Bu Cika.  Sebelum sempat sampai ke ruang dosen, Lintang melihat Bu Cika dan Pak Davit berjalan beriringan. Hukma segera menyeret Lintang untuk mendekatinya.  “Bu Cika, maaf mengganggu waktunya sebentar,” ucap Lintang menginterupsi.  “Wah Lintang, lama tidak bertemu. Iya mau tanya sesuatu?” tanya Bu Cika.  “Iya, Bu. Bu bolehkah saya pindah dosen pembimbing? Saya ingin Bu Cika saja yang menjadi pembimbing saya,” ucap Lintang. Bu Cika mengerutkan alisnya, ia menatap Davit yang tampak gelagapan.  “Saya pikir Bu Cika yang akan jadi dosen pembimbing saya, tapi ternyata ganti Pak Davit,” tambah Lintang. “Tapi, Pak Davit yang minta gant-”  “Lintang, kenapa kamu keluyuran di sini? Kamu kan lagi sakit, seharusnya istirahat saja di rumah,” ucap Davit menyela ucapan Bu Cika. Lintang terkesiap. Belum sempat Lintang bertanya lagi, Davit sudah menarik tangannya dan menyeretnya pergi.  “Pak … Pak tunggu … saya mau bicara sama Bu Cika,” ucap Lintang memberontak dari cekalan Davit.  “Lintang, kamu harus istirahat. Kamu masih sakit,” ucap Davit yang terus menyeret Lintang. Hukma pun mengejar kakak dan kakak iparnya.  Wajah Davit memerah, ia tidak mau ketahuan kalau ia lah yang meminta ganti menjadi dosen pembimbing Lintang.  “Pak, kata Bu Cika, Pak Davit yang minta ganti, ya? Kayaknya aku tadi dengar begitu,” ucap Lintang.  “Tidak,” jawab Davit. Gengsi kalau Davit menjawab jujur.  “Pak, saya mau bicara sama Bu Cika dulu. Bapak ngapain sih narik-narik saya?” Lintang menarik tangannya dengan paksa hingga terlepas dari Davit.  “Lintang, dengarkan saya. Tidak usah peduli siapa dosen pembimbing kamu, yang penting kamu belajar dengan giat mengerjakan skripsi kamu. Dan oh iya, kamu masih sakit, apa gunanya saya kompresin kamu semalaman, kelonin kamu semalaman, kalau baru sembuh saja kamu sudah keluyuran,” teriak Pak Davit menggebu-gebu. Lintang tercekat, begitu pun dengan Hukma yang membeo di tempatnya. Mendengar ucapan Davit membuat Hukma nyaris pingsan. Benar kan apa yang dia tebak, kalau genderuwo yang kelonin Lintang semalam adalah genderuwo rambut hitam alias Davit sendiri. “Pak, Pak Davit kelonin saya?” tanya Lintang yang tubuhnya kini seolah membeku. Davit pun demikian, ia membeku di tempatnya karena ucapannya sendiri.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN