Davit memilih pulang, pria itu memilih menunggu Lintang di rumah saja. Saat ini pria itu tengah duduk di ruang tamu dengan gelisah. Pikiran Davit masih terngiang-ngiang dengan ucapan Bayu yang mengatakan kalau Lintang hanya istri kontrak. Awalnya memang Davit selalu menegaskan kalau Lintang istri kontrak, tapi baru dua hari menikah ia tidak terima dengan status itu. Dan kesalahan terbesar Davit adalah memberitahu Bayu kalau ia menikah kontrak. Kini ia merasa terancam sendiri dengan keberadaan Bayu yang sangat gencar mendekati istrinya.
Davit menghela napasnya dengan guasr, melirik jam dinding, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Namun Lintang tidak kunjung kembali. Sebagai suami, Davit merasa istrinya sudah ngelunjak. Dikasih tempat tinggal malah keluyuran, dikasih hati malah minta t*i.
Pria itu tanpa sadar menendang-nendang kaki meja dengan kesal. Ia kesal dengan Lintang yang tidak kunjung pulang, apalagi Lintang menerima jaket pemberian Bayu. Suara pintu terbuka mengagetkan Davit, Davit berdehem sebentar untuk menetralkan ekspresinya.
Lintang datang seraya mengeratkan jaket yang tersampir asal di pundaknya, perempuan itu dengan lemas berjalan melewati Davit.
“Dari mana?” tanya Davit dengan datar membuat Lintang berhenti melangkah.
“Dari angkringan beli makanan,” jawab Lintang.
“Ini jam berapa?” tanya Davit lagi.
“Jam sembilan malam,” jawab Lintang.
“Apa kamu pikir baik seorang wanita pulang jam segini? Kamu punya suami, sudah kewajiban kamu menjaga kehormatan suamimu untuk tidak keluyuran malam, meski pernikahan ini hanya pernikahan kontrak,” ucap Davit dengan marah.
“Dan jaket siapa yang kamu pakai? Apa menurutmu baik pakai jaket dari orang lain? Terlebih jaket seorang pria,” tambah Davit lagi.
“Kok Pak Davit tahu ini jaket pria?” tanya Lintang. Davit gelagapan, pria itu segera berdiri dan mendekati Lintang.
“Terlihat dari bentuknya,” jawab Davit menarik jaket yang disampirkan Lintang di tubuhnya. Davit membuang jaket itu dengan asal. Jaket mahal Bayu kini tergeletak dengan menyedihkan di lantai.
“Sikap kamu ini salah, Lintang. Saya bilang kamu boodoh seharusnya kamu malah termotivasi dan belajar lebih giat agar nilai kamu bagus. Tapi yang kamu lakukan malah kabur dan ngambek gak jelas. Kamu pikir sikap kamu ini benar?” oceh Davit yang terus menyudutkan Lintang.
“Yang bapak ucapkan itu tidak pantas dijadikan motivasi, karena itu sebuah penghinaan. Saya tahu kalau saya bodooh, saya juga tahu kalau saya ini menyusahkan. Pak Davit cukup bersabar selama dua bulan, setelah itu kita cerai. Kita akan kembali menjadi orang asing, Pak Davit dengan hidup Pak Davit sendiri, dan saya dengan hidup saya sendiri. Meski saya akan menyandang status janda setidaknya itu lebih baik daripada terjebak dengan orang kejam kayak Bapak,” ucap Lintang dengan berani. Perempuan itu segera melenggang pergi menuju kamarnya dan membanting pintunya dengan kencang.
Davit mematung di tempatnya, bibir Davit terasa kelu sedangkan hatinya bagai diremas tangan tidak kasat mata saat mendengar penuturan Lintang. Bukan maksudnya menyakiti Lintang, tapi kelihatannya Lintang benar-benar sudah sakit hati.
“Lintang!” panggil Davit menuju kamar Lintang. Namun sayang, kamar Lintang sudah terkunci rapat.
Lintang menjatuhkan tubuhnya di ranjang, perempuan itu menenggelamkan kepalanya di bantal sembari terisak pelan. Tadi sebelum pulang, Lintang sudah membersihkan wajahnya agar Davit tidak tahu kalau ia baru menangis. Namun pulang ke rumah Davit ternyata bukan pilihan yang tepat. Bukannya keadaannya membaik, ia malah kembali sakit hati dengan ucapan Davit. Mungkin orang lain bisa menggunakan ucapan Davit sebagai motivasi, tapi tidak dengan Lintang. Lintang tidak bisa menggunakan kalimat hinaan untuk memotivasi dirinya. Perempuan itu semakin lama semakin kencang menangis. Lagi dan lagi ia harus menikmati jalan hidupnya yang tidak sejalan dengan indah seperti haluannya. Mengetahui kenyataan ia akan menjadi janda juga turut membuatnya sedih. Di umurnya yang ke dua puluh dua tahun, sudah banyak beban yang harus dia pikul. Ia pikir tinggal dengan Pak Davit membuatnya terbebas dari uang kos dan tidak akan membuatnya terlunta-lunta di jalanan, tapi kenyataannya hatinya lah yang harus ia paksa untuk kebal.
Lintang mengambil kertas kecil yang selalu ia taruh di bawah bantalnya. Kertas usang itu adalah foto kedua orang tuanya dan dirinya. Air mata Lintang jatuh membasahi foto tersebut. Foto itu diambil saat Lintang berusia lima tahun. Hanya itu dan kalung yang ia pakai yang menjadi kenang-kenangan yang saat ini Lintang punya. Lintang benar-benar tidak kuasa menahan air matanya yang terus mendesak turun.
“Ibu, Ayah, Lintang harus apa?” tanya Lintang menatap foto orang tuanya. Patah hati terbesar seorang anak adalah saat ia ditinggal orang tuanya. Kini kedua orang tua Lintang sudah pergi, ia tinggal seorang diri yang kini mengharuskannya berjuang untuk bertahan hidup.
Terkadang Lintang bertanya pada dirinya sendiri, kapan ia bisa menyusul orang tuanya. Sudah lima tahun sejak kepergian ayah dan ibunya, kini rindu Lintang semakin menjadi. Rindu yang tidak akan berujung temu di dunia ini.
Lintang mengambil selotip, perempuan itu menempelkan foto ayah dan ibunya ke guling. Hanya dengan cara seperti ini Lintang merasa hangat dekap kedua orang tuanya. Dulu saat ia masih SMA dan saat Ibunya masih ada, Lintang tidak pernah mau tidur sendiri, Lintang selalu ingin dipeluk ibunya. Namun saat ibunya tiada, Lintang pun harus tertampar kenyataan bahwa tiada lagi seorang wanita baik hati yang memeluknya. Di sisa hidup Lintang, tidak lagi merasakan hangat dekap ibunya. Namun nama ibunya tetap Lintang simpan di hatinya.
Dulu saat kecil Lintang berjanji akan menjaga ibunya sampai ibunya menua. Ia yang akan balik mengurus ibunya saat ibunya sudah renta dan rambut sudah memutih. Namun Lintang tidak mendapat kesempatan itu, ibunya sudah tiada meninggalkannya di dunia ini sendirian. Lintang juga pernah berjanji bahwa saat ia besar nanti ia akan bekerja menggantikan ayahnya. Setiap kali Lintang melihat ayahnya pulang bekerja dan melepas kaosnya, Lintang selalu menangis melihat punggung ayahnya yang menghitam terkena sinar matahari dan tampak ringkih. Ayahnya seorang pekerja berat di lapangan, punggung yang tampak menghitam itulah yang sudah berusaha membesarkan Lintang. Ayah dan ibunya diambil terlebih dahulu oleh Tuhan, Lintang seorang diri hanya bisa mendoakan ayah dan ibunya semoga ditempatkan di tempat terindah di sisi-Nya.
Badan Lintang terasa panas, sedangkan hidungnya terasa tersumbat. Hanya dengan mendekap foto ayah dan ibunya lah Lintang merasa baik-baik saja. Lintang tidak ingin menyerah, Lintang kembali memupuk harapannya, bahwa dia akan menjadi arsitek di masa depan nanti dan membuat kedua orang tuanya bangga di surga sana. Lintang mendekap guling yang sudah dia tempeli foto orang tuanya, perempuan itu menghirup napas dalam-dalam. Lintang terbiasa dengan keadaan ini, di mana saat sakit tidak pernah ada yang mempedulikannya. Namun setitik rasa marah juga pernah hinggap di hati Lintang. Ia pernah marah pada jalan takdir yang membuatnya hidup seperti ini. Kehilangan orang tua membuat Lintang bagai tanpa arah tujuan yang jelas. Lintang harus apa? Terkadang Lintang bingung dengan apa yang seharusnya dia lakukan.
Lintang merasa tubuhnya sangat menggigil. Suhu tubuhnya panas, tapi ia juga merasa sangat dingin. Air mata terus membasahi pipinya yang membuat gulingnya pun basah. Lintang meyakinkan pada dirinya sendiri kalau ia mampu melewati hari-hari berat ini. Dulu ia pernah sakit dan tidak punya tempat tinggal karena baru diusir, ia pun bisa melewatinya. Jadi kali ini Lintang meneguhkan hatinya bahwa hari ini kan berlalu.
“Lintang, berhenti menangis. Kamu bukan gadis cengeng,” ucap Lintang pada dirinya sendiri. Namun tidak bisa, semakin Lintang menyuruh dirinya untuk tetap tegar, semakin pula air matanya tidak bisa terbendung.
Di depan kamar Lintang, Davit terus merenung akan ucapannya yang benar sangat keterlaluan. Davit telah melukai Lintang dengan kalimat kasarnya. Davit tidak ada niatan untuk membuat Lintang sedih, hanya saja Davit tidak ingin Lintang berdekatan dengan Bayu. Saat ini pun nasi sudah menjadi bubur, kata-kata yang sudah diucapkan tidak bisa ditarik kembali. Davit mendengar jelas isak tangis Lintang. Pria itu bingung, antara mengetuk atau hanya diam di tempatnya.
Davit tidak pernah merasakan rasa seperti ini. Di mana kehidupannya yang dulu baik-baik saja, berjalan dengan semestinya, bangun tidur berangkat ke kampus dan pulang. Sekarang di hati Davit sangat bercampur aduk, ada perasaan marah saat istrinya dekat dengan Bayu, ada perasaan gelisah saat Lintang tidak baik-baik saja. Dan saat ini perasaan khawatir lah yang mendominasi.
Jam terus berlalu, tidak terasa sudah dua jam Davit berdiri di depan kamar Lintang. Suara isakan tangis juga sudah tidak terdengar lagi. Davit menuju kamarnya untuk mengambil kunci cadangan, dengan hati-hati Davit membuka kamar Lintang. Untung Lintang tidak memasang kuncinya di lubang kunci sehingga Davit masih bisa membukanya. Davit mendapati istrinya yang tengah meringkuk di ranjang sembari memeluk guling.
Davit hanya ingin memastikan istrinya baik-baik saja. Setelah melihat istrinya, Davit ingin kembali ke kamarnya. Namun langkahnya seolah tidak bisa diajak kompromi. Davit malah mendekati Lintang. Mata pria itu tanpa sengaja melihat guling yang didekap istrinya yang tampak basah. Dengan hati-hati Davit menarik gulingnya, tapi Lintang mendekapnya dengan erat.
“Ayah … ibu … ajak Lintang ke sana ….” Suara gumaman kecil terdengar. Davit melihat sesuatu yang menempel di guling Lintang, saat sedikit menariknya, Davit tercekat melihat kertas yang menunjukkan foto tiga orang. Sepasang suami istri dan anak kecil yang Davit yakini adalah Lintang. Mata Davit memanas melihat Lintang yang seperti ini.
“Ayah, Ibu, Lintang kangen,” igauan terdengar lagi di bibir mungil Lintang. Tangan Davit memegang kening Lintang, pria itu kaget saat mendapati Lintang tengah demam.
“Lintang, Lintang bangun. Kita ke rumah sakit sekarang, kamu demam,” ucap Davit menepuk-nepuk pipi Lintang. Gurat khawatir terlihat jelas di wajah Davit.
“Lintang, bangun!” Davit menepuk-nepuk pipi Lintang lagi. Namun Lintang tidak terusik sama sekali, Lintang semakin mendekap gulingnya dengan erat. Racauan-racauan kecil masih terdengar di sana. Ulu hati Davit bagai dihantam benda keras saat menyadari ucapannya keterlaluan dan sampai membuat Lintang demam tinggi.
“Ayah, Ibu … Lintang ikut ….”
Davit tidak tahan lagi, pria itu segera keluar dari kamar Lintang. Davit mengambil handuk dan air hangat untuk mengompres Lintang. Setelah mendapat apa yang ia butuhkan, Davit segera kembali ke kamar Lintang. Pria itu menarik tubuh Lintang perlahan agar Lintang telentang. Davit mengompres dahi dan lipatan ketiak Lintang. Davit lebih memilih mengompres menggunakan air hangat daripada air dingin, karena dengan air hangat membuat hipotalamus di otak akan menganggap area tersebut panas. Dengan demikian hipotalamus akan merespons dengan menurunkan suhu tubuh menjadi lebih dingin. Dengan penuh hati-hati Davit mengompres tubuh Lintang agar demamnya cepat menurun. Namun tubuh Lintang terus menggigil dan tidak henti-hentinya meracau.
Davit berdiri tegak, pria itu tanpa basa-basi melepas kaosnya hingga bertelanjang dadaa. Davit sedikit memindahkan tubuh istrinya agar ada ruang di samping istrinya. Davit menidurkan dirinya di samping Lintang dan mendekap perempuan itu dengan erat. Davit menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan tubuh Lintang. Ia harap dengan mendekap Lintang seperti ini bisa membuat Lintang lebih baik dan tidak menggigil kedinginan. Tubuh Lintang kedinginan, tapi suhu tubuhnya panas tinggi. Detakan jantung Davit bertalu-talu saat kulitnya yang telanjang menyentuh kulit Lintang. Tubuh Davit ikut memanas tatkala tubuhnya bersentuhan dengan tubuh Lintang. Untuk kali pertamanya di umurnya yang ke tiga puluh tahun, ia tidur bersama seorang wanita, yaitu istri kontraknya. Meski istri kontraknya, Lintang sudah sukses membuat jantungnya bertalu-talu lebih dari biasanya. Davit semakin mengeratkan tubuhnya dengan tubuh Lintang, berbagi kehangatan di tengah hawa dingin di luaran sana.