11. Pelangi Sementara

1887 Kata
“Lintang, saya pergi dulu, terimakasih atas makanan-nya,” ucap Bayu saat merasa suasana semakin lama semakin canggung. “Tapi, Pak. Ini makanan-nya belum habis,” kata Lintang mencegah.  “Kamu habiskan saja sama Pak Davit. Saya permisi,” kata Bayu yang segera ngacir begitu saja. Bayu tidak enak hati melihat Davit yang tengah memaksa Lintang duduk di pangkuan dan membuat Lintang dalam situasi awkward. Bayu juga ngeri melihat tingkah Davit yang sangat absurd dalam memperlakukan istri kontraknya.  Bayu benar-benar pergi dan membanting pintu dengan pelan, sedangkan Davit tersenyum penuh kemenangan. Di senyum Davit seolah mendeklarasikan bahwa Lintang adalah miliknya.  “Aww … Lintang minggir!” ucap Davit mendorong tubuh Lintang tiba-tiba.  Namun Lintang menahan tubuhnya tetap di pangkuan Davit, “Kenapa? Tadi nyuruh saya duduk di sini, sekarang malah nyuruh saya minggir. Nih rasain biar penyet sekalian,” ucap Lintang bangkit sebentar dari duduknya lalu duduk kembali dengan kencang membuat Davit mengaduh.  “Aduh … Lintang … minggir!” ringis Davit yang menahan sakit. Ibaratnya syaraf tegang lalu dipijat dengan paksa sudah pasti rasanya sangat sakit. Seperti itu lah belalai keturunan kakek moyang yang dimiliki Davit. Saat tegang-tegangnya, Lintang malah menyakitinya.  “Syukurin, sakit kan paha-nya? Nih rasain!” Lintang terus bangkit lalu mendudukkan dirinya dengan kencang di pangkuan Davit membuat Davit mengaduh kesakitan berkali-kali. Yang Lintang pikir paaha Davit yang sakit, tapi kenyataannya yang sakit adalah pusat inti pria itu. Karena kesal, Davit mendorong tubuh Lintang hingga Lintang benar-benar menjauh dari pangkuannya.  Dengan susah payah Davit bangkit berdiri, tubuh bagian bawahnya sangat sakit karena ulah Lintang. Sudah tadi ia menahan hasratnya saat Lintang duduk di pangkuannya, dan setelah membangkitkan hasratnya, Lintang malah menyakitinya. Kalau punya istri tidak peka memang sangat menyebalkan.  “Pak, Pak Davit kenapa? Pak Davit beneran sakit?” tanya Lintang saat melihat wajah Davit terus menunjukkan kesakitan. Davit menggelengkan kepalanya, pria itu memegangi pinggangnya dan berjalan tertatih-tatih menuju kamar mandi. Lintang menyusulnya.  “Pak, Pak Davit. Pak Davit bukannya masih berumur tiga puluh tahun, ya? Kenapa Pak Davit bisa encok begini? Pak Davit mau dibeliin racikan asam urat?” tanya Lintang bertubi-tubi. Lintang ingin memegang tangan Davit dan membantu Davit berjalan. Namun Davit menepis tangan Lintang.  Davit ingin berteriak bahwa dia memegangi pinggang bukan karena dia sakit encok, tapi ia menahan sakit di area bawahnya. Tidak etis bila di depan perempuan Davit terus memegang burungnya, bisa-bisa Lintag mengira kalau burungnya akan terbang keluar sangkar.  “Sudah, kamu kembali ke kamar saja. Jangan pedulikan saya,” ucap Davit.  “Pak, tapi bapak kelihatan kesakitan. Bapak mau ke kamar mandi? Biar saya bantu,” kata Lintang.  “Kamu tidak akan bisa bantu, yang ada kamu malah memperparah keadaan saya,” kesal Davit yang wajahnya sudah merah. Davit melangkahkan kakinya cepat dan masuk ke kamar mandi. Lintang ikutan masuk yang langsung ditatap tajam oleh Davit.  “Kenapa kamu ikut masuk?” tanya Davit dengan sengak.  “Kan, punya suami mulutnya sengak,” cicit Lintang.  “Masih tidak keluar?” teriak Davit dengan kencang membuat Lintang tersentak. Buru-buru Lintang keluar dari kamar mandi dan menutup pintunya pelan.  Lintang mendekatkan telinganya di kamar mandi, ingin tahu apa yang dilakukan Pak Davit. Sedangkan Davit yang berada di kamar mandi mengacak-acak rambutnya dengan gusar. Ia tidak ada niatan mencari masalah dengan memangku Lintang, tapi karena adanya Bayu membuatnya hilang kendali. Davit memukul-mukul kepalanya sendiri dan merutuki kebodohan-nya. Dan kini karena ia yang memancing hasratnya, ia sendiri yang kelimpungan. Menjomblo selama tiga puluh tahun tanpa pernah pacaran dengan siapapun membuat Davit tidak pernah melakukan yang iya-iya. Dan kini saat ia tengah berada di puncaknya, hanya ada Lintang yang statusnya istri kontrak. Jelas pernikahan mereka karena perjanjian hitam di atas putih yang berdasarkan hukum. Ia tidak bisa sembarangan menyentuh Lintang. Davit melihat bayangan di pintu yang seperti ada orang.  “Lintang, pergi dari pintu!” teriak Davit dengan kencang. Lintang yang tersentak segera ngacir pergi begitu saja meski ia sangat penasaran dengan apa yang dilakukan Pak Davit.  Davit membuka bajunya dan meletakkan di keranjang cucian, pria itu kembali mandi untuk menyegarkan tubuhnya. Tidak ia pedulikan hujan deras yang tengah mengguyur kota Jakarta, karena di luar yang sangat dingin, ada tubuhnya yang sangat panas.  Di kamarnya, Lintang tengah mengerjakan tugas yang diminta Davit. Tadi ia sudah mengerjakan sebagian pas istirahat kerja, sekarang ia tinggal menyelesaikannya yang lain. Lintang merutuki Davit yang memaksanya mengerjakan banyak tugas, padahal ia hanya tinggal bimbingan dengan Bu Cika. Lintang benar-benar kesulitan mengerjakan tugasnya, perempuan itu seolah lupa dengan semua mata kuliahnya.  “Lintang, saya boleh masuk?” tanya Davit mengetuk pintu. Davit sudah selesai mandi dan berganti pakaian. “Iya,” jawab Lintang masih fokus dengan soal-soalnya. Davit masuk dan menatap Lintang yang tengah serius. Pria itu mendekati istrinya, Davit berdehem sebentar untuk mengembalikan wibawanya yang sempat runtuh karena dikira sakit pinggang.  “Belum selesai?” tanya Davit. Lintang menggelengkan kepalanya.  “Ini kali pertama dan terakhirnya kamu telat mengumpulkan tugas dari saya. Andai tadi Pak Bayu tidak datang ke sini, mungkin saat ini kamu sudah selesai mengerjakan tugasnya. Saya kasih tahu kamu, Pak Bayu itu membawa aura buruk sama kamu, lebih baik jauhi orang yang vibesnya negatif seperti dia,” oceh Davit yang membuat Lintang mengerutkan alisnya. Apa ia tidak salah dengar kalau seorang dosen menjelekkan dosen lainnya?  “Pak, Pak Bayu baik, kok. Pertama lihat saja saya sudah bisa menilai kalau Pak Bayu baik,” jelas Lintang.  “Kamu tidak tahu saja. Jangan bicarain Pak Bayu lagi, sekarang kerjain itu lima menit lagi harus selesai,” titah Davit yang membuat Lintang membeo.  “Pak, ini masih banyak dan bapak hanya kasih waktu lima menit?” tanya Lintang tidak percaya. “Kalau begitu tiga menit,” kata Davit tanpa rasa bersalah sedikit pun.  Lintang mencengkram bolpoinnya, perempuan itu hanya diam dan terus mengerjakan soalnya. Sesekali Lintang melirik Davit yang tengah membawa kertas juga.  “Sudah selesai!” kata Davit menarik paksa kertas Lintang. Lintang ingin menahannya, tapi kalah cepat dengan Davit.  Davit menatap tugas yang dijawab Lintang, pria itu membantingnya ke meja, “Apa kamu mau main-main sama saya?” tanya Davit membuat Lintang mengerutkan dahinya dengan bingung.  “Kenapa, Pak?”  “Dari banyaknya soal yang saya suruh kamu jawab, kamu hanya benar lima. Bahkan nilai tiga tidak bisa saya berikan sama kamu,” bentak Davit dengan marah.  “Saya sudah mengajar kamu enam semester dan belum ada perubahan sedikit pun sama sekali? Setahu saya tidak ada orang yang benar-benar bodohh, tapi ternyata saya salah besar. Ada orang yang sangat bodooh, dan itu kamu!” ucap Davit merobek kertas yang tadi dikerjakan Lintang. Lintang terkesiap, ia menatap Pak Davit dengan pandangan nanar.  “Coba jelaskan saya harus apa sekarang? Sebagai dosen kamu, saya merasa gagal!”  Lintang hanya menundukkan kepalanya mendengar ucapan Pak Davit. Perempuan itu menarik kertas yang dirobek Davit. Ia pikir ia sudah mengerjakan dengan benar, tapi otaknya yang pas-pasan tetap membuatnya terlihat menjadi orang bodoh.  “Sekarang saya dosen pembimbing kamu, katakan pada saya bagaimana saya bisa membimbing mahasiswi seperti kamu,” ujar Davit.  “Bukankah dosen pembimbing saya Bu Cika?” tanya Lintang.  “Ganti saya.”  “Biar saya yang bicara sama pihak kampus untuk mengganti dosen pembimbing. Pak Davit tidak akan sanggup membimbing mahasiswi bodooh seperti saya,” kata Lintang. Keadaan berbanding terbalik, baru tadi sempat ada pelangi yang mewarnai hubungan mereka. Kini pelangi itu sudah lenyap. Siapa yang tidak sakit hati saat dikatai bodooh? Lintang sadar diri kalau dirinya bodooh, tapi saat Davit yang mengatakan jelas ia merasa sakit hati.  “Saya yang akan membimbing kamu. Saya harap kamu tidak malu-maluin saya,” jawab Davit memalingkan wajahnya.  “Biar saya yang bicara sama pihak kampus. Saya tidak mau membuat bapak malu sebagai dosen pembimbing. Bisa jadi sidang saya tidak berhasil, biar bapak tidak semakin malu lebih baik saya pindah dosen pembimbing,” oceh Lintang. Lintang bangkit dari duduknya, perempuan itu menyambar dompetnya dan segera berlari keluar dari kamarnya.  “Lintang, mau ke mana?” tanya Davit menyusul istrinya.  “Ke mana saja,” jawab Lintang. Lintang segera keluar dari pintu utama dan berlari melenggang begitu saja tanpa memperdulikan sakit di kakinya.  Air mata menggenang di pelupuk mata Lintang tatkala mengingat ucapan Davit. Ia pikir Davit berbeda dari orang lain yang sering mengatainya bodooh, ternyata Davit sama saja. Dengan tidak merasa bersalah sama sekali Davit mengatainya boodoh. Lintang merasa tidak berguna dan hanya menyusahkan Davit. Lagian kenapa pihak kampus mengganti dosen pembimbingnya yang seharusnya Bu Cika.  Lintang menyusuri jalanan yang banyak genangan air. Namun hujan sudah mereda. Lintang melangkahkan kakinya menuju jalanan utama untuk ke kedai angkringan yang ia lihat tadi sore. Sesampainya di angkringan, perempuan itu memesan banyak makanan, mulai sate telur puyuh, usus, dan lainnya. Perempuan itu mengambil duduk seorang diri.  Di dunia ini ia selalu merasa sial. Dari kecil sampai sekarang, tidak pernah Lintang mendapatkan keberuntungan. Di mana pun ia berada, pastilah kesialan akan menimpanya. Lintang ingin menyerah dengan keadaan, tapi kalau ia menyerah ia hanya akan menjadi debu dan hilang begitu saja. Orang tuanya sudah tiada, tidak ada tempat untuknya bersandar. Terkadang Lintang ingin mengeluh, kenapa nasibnya selalu tidak baik. Namun lagi-lagi keadaan tidak mengijinkannya mengeluh.  Lintang memakan makannya dengan pelan. Bahkan makanan yang biasanya membuat moodnya membaik, kini menjadi sangat hambar saat kata bodooh terus mengganggu pikirannya.  Siapapun tahu kalau ia bodooh, tapi saat Davit yang mengatakannya. Perasaan malu itu ada pada Lintang. Ia hanya orang miskiin yang kebetulan menikah dengan Davit, lalu dengan tidak tahu dirinya ia malah menyusahkan Davit. Tidak ada yang ingin terlahir sebagai orang bodooh, begitu pun dengan Lintang. Lintang juga tidak lelah belajar, tapi kemampuan otaknya hanya pas-pasan.  Hawa dingin menusuk kulit Lintang, perempuan itu menjatuhkan kepalanya di meja. Kepalanya sedikit pusing, dan hidungnya terasa tersumbat.  Namun tiba-tiba, Lintang merasakan tubuhnya hangat saat ada jaket yang menutupi tubuhnya. Lintang terkesiap, perempuan itu mendongakkan kepalanya.  “Pak Bayu,” panggil Lintang. Lintang ingin mengembalikan jaketnya, tapi Bayu menahannya.  “Pakai saja, hawanya dingin,” kata Bayu tersenyum. Lintang menganggukkan kepalanya. Perempuan itu kembali merebahkan kepalanya di meja.  Bayu menatap lurus ke depan, ia tidak mau mengganggu Lintang yang terlihat sedang bersedih. Perempuan itu menenggelamkan kepalanya di meja, suara isak tangis terdengar kecil. Bayu melirik sebentar, bahu Lintang tampak bergetar kecil.  Sepatah kata pun Bayu tidak berbicara. Tadi ia ingin jalan-jalan dan tanpa sengaja melihat Lintang yang menuju angkringan hanya mengenakan kaos tipis.  Di belakang Bayu, Davit tengah menentang jaketnya. Pria itu mendengar suara isak tangis Lintang. Awalnya Davit tidak ingin menyusul istrinya, tapi karena khawatir pria itu pun pergi hingga langkah kakinya membawanya ke angkringan. Namun ia kalah cepat dengan Bayu yang sudah menyampirkan jaket di tubuh istrinya.  Tanpa sengaja Bayu menolehkan kepalanya. Saat melihat Davit, Bayu menghampiri Davit. Bayu menatap pria itu dengan seksama, sedangkan Davit balik menatap Bayu dengan bingung.  “Kenapa dengan Lintang?” tanya Bayu.  “Kelak, kamu jangan ikut campur dengan urusan rumah tangga orang,” kata Davit.  “Ingat, Lintang hanya istri kontrakmu. Jangan keterlaluan dalam bersikap,” ucap Bayu yang tepat mengenai ulu hati Davit. Tanpa sepatah kata lagi, Bayu pergi melenggang meninggalkan Davit yang masih mematung.  Davit merasa ucapannya tidak keterlaluan. Ia hanya mengutarakan penilaiannya bahwa Lintang sangat bodoh sampai jawaban saja harus salam semua. Padahal sudah tiga tahun Lintang menempuh bangku kuliah. Davit menatap Lintang yang tak jauh darinya, perempuan itu masih belum sadar kalau suaminya ada di belakangnya. Isakan kecil dan bahu bergetar Lintang membuat perasaan Davit sangat tidak nyaman. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN