Damien tidak berhasil membujuk adiknya. Adreanne bahkan tidak membukakan pintu untuk sang Abang, membiarkan Damien memanggil-manggil namanya dari luar kamar.
"Kamu makan aja, biar Bunda yang bicara," kata Tika dengan halus.
Damien mengangguk patuh. Dua puluh menit ia memanggil, tapi tidak ada respon yang berarti dari adiknya. Lebih baik ia mengisi perut.
Setelah Damien pergi, barulah Tika mengetuk pintu kamar sang anak bungsu.
"Rea, buka pintunya. Ini bunda," pinta Tika dengan lembut.
Cklek!
Pintu itu terbuka sedikit. Tika tersenyum, wanita paruh baya itu mendorong pintu itu dan masuk. Ia mendapati anak gadisnya bergelung di dalam selimut.
Tika duduk di pinggiran ranjang dan mengusap punggung Putrinya dengan usapan lembut.
"Kamu pasti kaget banget ya, lihat Ayah yang begitu," gumam Tika.
"Ayah nggak bermaksud bentak kamu, tadi cuma emosi sesaat."
Adreanne hanya bungkam, tiap merespon sama sekali.
"Ayah cemburu, mengetahui laki-laki dekat dengan Putri kesayangannya. Jadi tanpa pikir panjang Ayah marah, dan nggak sengaja hancurin kalungnya."
Mendengar hal itu, kepala Adreanne keluar dari selimut.
"Tapi Ayah kan bisa ngomong baik-baik, Bun," sahutnya dengan serak.
"Ayah nggak sengaja. Sekarang aja, Ayah jadi kepikiran dan nggak berani lihat kamu. Dia takut putri tercintanya kecewa berat," ujar Tika.
Tika memang memilih menyembunyikan semuanya, tidak mengatakan alasan asli di balik semua sikap suaminya. Biarlah masalah itu, mereka yang pikirkan. Kedua buah hatinya tidak perlu tahu.
"Aku udah besar Bunda. Aku pasti jaga diri kalau dekat sama laki-laki," balas Adreanne dengan suara serak.
"Katanya bakal percaya sama aku," lanjutnya.
Tika tersenyum tipis, tangannya mengusap puncak kepala Adreanne. "Di mata kami, kalian masih anak-anak. Orangtua selalu ingin yang terbaik untuk anaknya. Terlebih Ayah sangat menyayangi dan mencintaimu, sayang. Ayah nggak mau kamu jatuh ke pergaulan yang salah. Terlebih Edzard udah berani ngasih kalung yang pasti harganya mahal."
Tila berdeham pelan. "Iya, mungkin Edzard memang orang kaya. Tapi seharusnya dia tidak bertindak seperti itu."
"Aku awalnya juga nolak hadiahnya Bunda. Tapi Edzard maksa, ya aku terima. Kan, aku nggak salah," belanya.
"Iya, kamu nggak salah apapun. Maka dari itu, besok panggil Edzard ke rumah ya? Bunda sama Ayah mau ngomong."
Adreanne langsung menggeleng. "Nggak mau. Edzard aja takut sama Ayah."
Tika tertawa pelan, ternyata ada rasa takut juga di dalam diri Edzard pada suaminya.
"Tenang aja. Edzard nggak bakal di goreng sama Ayah kok."
Adreanne tertawa lepas mendengar hal itu. "Tapi aku masih ngambek. Kalungnya cantik, aku suka banget Bun. Dihancurin sama Ayah."
"Besok Bunda belikan yang baru. Ayo ke bawah, kamu makan dulu. Atau, kamu mau makan di kamar?"
Adreanne menggeleng. "Ikut bunda," jawabnya manja.
"Ya udah, ayo berdiri."
Adreanne tidak langsung bangkit. "Nggak jadi deh Bun, masih takut sama Ayah."
"Ada Bunda. Nanti kalau Ayah galak-galak, Bunda marahin balik."
Adreanne terkekeh. "Janji nih?" Ia mengulurkan jari kelingkingnya.
Sontak Tika menautkan jari kelingkingnya di jari Adreanne. "Janji."
Kedua perempuan berbeda generasi itu pun akhirnya berjalan keluar dari kamar. Di meja makan, Adam yang tampak frustrasi menjadi lebih tenang ketika melihat istrinya menggandeng tangan Adreanne.
"Sini, sayang." Adam melambaikan tangannya menyuruh Adreanne duduk di kursi sebelahnya.
Adreanne menurut, ia duduk di kursi sebelah Adam dengan kepala yang menunduk.
Adam menghela napas, pria itu mengangkat dagu anak gadisnya. "Kamu takut?"
Adreanne mengangguk pelan.
"Ayah minta maaf, udah bentak kamu. Maafin Ayah ya?"
Adreanne mengangguk samar. "Ma-maafin aku juga, tadi udah ngomong keras-keras ke Ayah."
Senyum Adam terbit, ia menarik Adreanne untuk duduk di pangkuannya. "Iya, Ayah maafin. Ayah sayang banget sama kamu."
Adreanne memeluk leher Adam. "Aku juga sayang Ayah."
"Dih, manja!" seruan dari Damien tersebut sontak membuat suasana haru menjadi hancur.
Adam menatap Putranya dengan tatapan memperingati, dibalas dengan pemuda itu dengan cengiran.
"Maaf, Yah. Udah ah melow-melow nya, yok makan!"
Adam mengelus kepala Adreanne dan mendudukkan gadis itu kembali ke kursinya.
"Sekarang kita makan. Lupakan permasalahan tadi, okay?"
Adreanne mengangguk patuh.
***
Setelah makan malam selesai, Adreanne membantu Bundanya mencuci peralatan makan kotor. Setelah semua bersih, ia berjalan memasuki kamarnya untuk istirahat. Damien pun sudah tidak terlihat lagi di depan televisi.
Di kamar yang lain, Adam dan Tika duduk berhadapan.
"Sekarang jelaskan semuanya ke Bunda. Apakah alasan laki-laki itu datang karena kalung itu?"
Adam mengangguk. Pagi tadi, di hotel yang menemuinya adalah kesatria kerajaan Myrania. Kesatria itu dulunya adalah pengawal pribadi Adam, kininia muncul memberikan peringatan.
Kesatria bernama Ferry itu mengetahui keberadaan Adreanne oleh kalung itu. Selama ini, Adam menyembunyikan keluarga kecilnya dari segala hal yang membahayakan. Dan hampir saja karena kalung ruby yang memiliki banyak fungsi itu menghancurkan segalanya.
Raja Negeri Myrania sekarang tidak begitu kompeten. Raja itu adalah adik Adam. Para petinggi, dan tetua di kerajaan sudah membuat rencana untuk menggulingkan kekuasaan Raja Dastan. Tentunya, setelah Raja Dastan digulingkan, mereka pasti akan meminta Adam kembali, karena Adam juga pewaris kerajaan. Bahkan gelar Putra Mahkota ia dapatkan dulu, sebelum ia memutuskan untuk meninggalkan semuanya.
Sekarang Ayahnya telah tiada, dan digantikan oleh Dastan. Dulu, ketika ia turun ke Bumi, ia hanya membuat kesepakatan dengan Ayahnya yang tak lain adalah Raja Reece. Para tetua hanya tau ia turun tahta dan menghilang.
Dengan terendus keberadaannya, bisa membuat keluarga yang susah payah ia bangun menjadi hancur. Bisa-bisa, Adam dipaksa kembali ke Negerinya dan meninggalkan keluarga tercintanya. Kekuatan Adam memang masih ada dan ia gunakan untuk menyembunyikan jati diri aslinya selama ini. Namun, Adreanne juga memiliki sebagian darahnya, yang lebih dominan dari pada Damien. Darah Adreanne sebagai keturunan bangsa Myrania tidak bisa dielakkan lagi. Sesama bangsa Myrania, mereka dapat saling mengenali.
Kalung ruby, memiliki arti yang berbeda bagi bangsa Myrania. Jika memakai batu ruby, sosok yang telah lama hilang atau tidak dikenali bisa dikenali dengan cepat oleh batu itu. Bisa dikatakan, identitas bangsa Myrania tersambung dengan batu ruby itu.
Untuk bangsa lain, mereka memiliki makna yang berbeda pula dengan batu ruby tersebut. Dengan gampangnya Edzard memberikan kalung batu ruby pada Adreanne. Entah apa motif pemuda itu. Sepertinya Edzard sedang menyelidiki sesuatu, dan objeknya adalah Adreanne.
Adam akan berusaha semaksimal mungkin untuk melindungi keluarganya, ia tidak peduli lagi dengan bangsanya dulu dan juga kaum lainnya. Adam tidak ingin kembali lagi. Ia sudah cukup nyaman dan bahagia dengan keluarganya.
***
Karena Dante belum kembali, Edzard menghabiskan waktunya dengan bermain game di ponsel canggihnya. Hanya itu satu-satunya hiburannya saat ini di kala sepinya rumah megahnya ini.
Edzard berdecak sebal ketika pemain lain menembak dirinya dan membuatnya mati. Dengan perasaan jengkel, ia kembali mengulangi permainan.
Hingga tidak terasa ia sudah bermain selama satu jam. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu utama.
Itu pasti Dante.
Dengan cepat ia berjalan ke depan dan membuka pintu. Alis Edzard terangkat naik kala melihat Dante yang tampak lesu.
"Apa terjadi sesuatu yang buruk?"
Dante mengangguk. "Tidak ada buku mengenai bangsa Myrania di perpustakaan Kerajaan, Pangeran."
"Apa?! Kenapa tidak ada, sedangkan tentang kerajaan lainnya ada!"
Dante menggeleng tidak tahu. "Itu yang anehnya, Pangeran. Tidak ada jejak sedikit pun."
Edzard menghela napas berat.
Bahu Dante yang semula merosot turun, kini berubah tegak. "Apa terjadi sesuatu dengan Adreanne, Pangeran? Saya tidak bisa merasakan keberadaan kalung itu."
Mata Edzard terbelalak. "Apa kau serius?"
"Anda harus menghubungi Adreanne, Pangeran. Tanyakan tentang kondisinya."
Edzard mengangguk, dengan langkah lebar ia kembali ke sofa mengambil ponselnya.
Edzard tidak bisa menelepon gadis itu, tidak diangkat. Akhirnya ia mengirimkan pesan singkat.
Sepuluh menit menunggu akhirnya ia mendapatkan balasan.
Adreanne.
Aku baik-baik saja, Ed. Ini mau tidur, ada apa?
Edzard menatap Dante. "Dia baik-baik saja, apa aku tanyakan perihal kalung itu langsung?"
Dante menggeleng tidak setuju. "Akan terlihat aneh jika anda tiba-tiba menanyakan kalung itu. Besok saat di sekolah saja anda tanyakan, Pangeran."
Edzard mengangguk paham. Ia pun membalas pesan Adreanne dengan mengucapkan selamat malam.