17. Penyakit yang Aneh

1042 Kata
"Sedang apa kau datang malam-malam ke rumahku?" tanya Edzard dengan tatapan menyelidik. Walaupun Edzard tau Dante akan datang cepat atau lambat, tapi ia tidak menduga bahwa Dante datang malam ini, tepat saat Edrea kemarin siang memberitahunya. "Saya diutus oleh Yang Mulia Raja, Pangeran. Saya akan membantu dan mengawasi anda selama di Bumi," kata Dante dengan penuh hormat. "Kenapa harus malam-malam? Lagian saat kau di depan rumahku tadi, kenapa tidak kau sembunyikan sayapmu?! Akan jadi masalah jika ada manusia yang melihatnya," pungkas Edzard kesal. "Maaf, Pangeran. Lain kali saya akan berhati-hati. Dan Yang Mulia Raja memang memerintahkan saya untuk turun malam ini." Edzard menghela napas. "Ya sudah, kau bisa tidur di kamar manapun selama di sini." Dante mengangguk. "Iya, Pangeran. Terimakasih." "Apa kau sudah makan?" tanya Edzard dengan kedua tangan yang terlipat di depan d**a. Dante menggeleng. "Belum, Pangeran." Edzard menurunkan tangannya dan menghela napas, ia sudah menduganya. "Ikuti aku," kata Edzard. Dante mengangguk lantas mengikuti langkah sang Pangeran. "Makanlah, kebetulan aku membeli banyak makanan." Edzard mendorong kotak pizza agar mendekat ke arah Dante. "Makanan apa ini Pangeran?" tanya Dante dengan sedikit khawatir. Bagaimana pun juga ia berpikir makanan ini tampaknya sangat aneh dan ia mencurigai isi dalamnya. Bisa saja manusia memasukkan bahan-bahan aneh atau bahkan racun. Edzard mendengus geli membaca pikiran Dante. "Ini namanya Pizza. Cukup lezat, dan tidak beracun. Jadi kau tenang saja." Dante tersenyum malu karena Edzard membaca pikirannya. "Maaf, Pangeran. Saya hanya sedikit was-was." "Makanan ini aman. Jadi makanlah." Edzard mengambil lasagna miliknya dan mulai melanjutkan aktivitasnya mengisi perut. Di temani oleh kartun spons kuning tadi. Sesekali Dante melirik ke arah televisi, di matanya benda itu tampak sangat aneh. Bentuk persegi panjang berwarna hitam namun di layar menampilkan sosok makhluk aneh yang bergerak-gerak dan berbicara. "Ini namanya televisi. Kau bisa melihat siaran dari sini." Edzard menjelaskan tanpa diminta. "Kau harus beradaptasi dengan semua benda dan hal lainnya di Bumi ini," lanjut Edzard. Dante mengangguk. "Baik, Pangeran. Saya akan beradaptasi sebaik mungkin." *** Pagi harinya, Edzard tidak langsung mengajak Dante untuk bersekolah di sekolah dunia manusia ini. Setelah ia berpakaian rapi, Edzard keluar dari kamarnya dan langsung disambut oleh Dante yang berdiri di ujung tangga bawah. "Selamat pagi, Pangeran." Dante membungkuk hormat pada Edzard. Edzard hanya mengangguk sekilas. "Jangan keluar dari rumah ini, kau harus tetap berada di dalam. Dan selama kau berada di Bumi, kau harus menyembunyikan sayapmu. Kau paham?" peringat Edzard dengan tegas. Dante menggeleng. "Saya harus ikut ke mana pun anda pergi, Pangeran." Edzard berdecak pelan. "Tidak bisa. Kau harus mendaftar dulu agar bisa ikut sekolah pula. Nanti akan ku urus segalanya, mulai lusa atau minggu depan kau bisa ikut bersamaku." Dante tampak meragu. "Apa anda yakin anda akan baik-baik saja?" "Tentu saja. Kau tidak sadar heh? Selama ini kau pikir aku bagaimana? Apakah aku mati mengenaskan di Bumi ini karena tidak ada penjaganya." Dante meringis dan mengucap maaf. "Baiklah kalau begitu, Pangeran. Semoga hari anda menyenangkan." Edzard mengangguk. "Anda tidak sarapan dulu?" tanya Dante karena melihat Edzard yang langsung berjalan menuju pintu. "Tidak. Aku akan menjemput seseorang," kekehnya. Tentu saja ia akan menjemput Adreanne. Pagi ini Damien mengirimkannya pesan. Tadi malam Adam kembali dinas ke luar kota, sementara Damien pergi ke kampus sudah pagi-pagi tadi, sebelum jam enam. Tidak ada yang mengantar Adreanne walau gadis itu bisa mengendarai motor. Tentunya Damien melarang Adreanne membawa motornya dan meminta tolong Edzard agar menjemput. Alis Dante terangkat naik, tak bisa ia pungkiri bahwa ia penasaran siapakah sosok yang akan dijemput oleh Edzard. Namun ia tak berani menanyakannya lebih jauh pada sang Pangeran. "Baiklah, Pangeran. Hati-hati dijalan." Edzard mengangguk samar dan meneruskan langkah kakinya. Pemuda itu memasuki mobilnya dengan cepat dan mengemudikannya secepat yang ia bisa agar cepat pula tiba di rumah Adreanne. Sesampainya di rumah Adreanne, Edzard langsung dipersilahkan masuk oleh Tika. "Kamu udah sarapan belum, Ed?" tanya Tika. Edzard menggeleng. "Belum, Bunda." "Ya udah, ayo ikut sarapan. Bentar lagi pasti Adreanne turun." Edzard mengangguk, lantas cowok itu mengikuti langkah Tika menuju ruang makan. Di atas meja sudah tersaji waffle dan pancake. "Si Rea minta sarapan Waffle pagi ini, kamu suka waffle 'kan?" Edzard hanya mengangguk. "Suka kok, Bunda." "Ya udah, ini untuk kamu." Tika menyerahkan seporsi waffle dengan tambahan es krim dan sirup cokelat di atasnya. "Terimakasih, Bun." Edzard mulai memakan sarapannya tanpa menunggu Adreanne, karena Tika pun juga sudah memulai sarapannya. Tiga menit kemudian, terdengar suara langkah kaki mendekat. Yang Edzard taksir adalah langkah Adreanne. Benar saja, gadis itu langsung duduk di sebelah Tika dan mengambil sarapannya sendiri. "Kamu pasti disuruh bang Damien ke sini, kan?" tebak Adreanne dengan mata memicing. Edzard mengangguk jujur. "Lagi pula biasanya juga berangkat bersama." "Iya deh, aku nggak bakal nolak lagi. Makasih loh ya udah dijemput." Edzard tersenyum kecil menanggapinya. "Oh iya kemarin Bunda lupa nanyain, kamu ikut olimpiade mata pelajaran apa, Ed?" "Astronomi Bunda." "Wah, berarti kamu jago ya di mapel itu," puji Tika. "Lumayanlah, Bun. Gampang-gampang susah." Tika terkekeh. "Semoga kalian berdua menang deh nantinya." "Aamiin." Adreanne menyahut. Sepuluh menit kemudian mereka selesai sarapan. Kedua remaja itu pun berpamitan pada Tika. "Hati-hati dijalan," kata Tika. Keduanya mengangguk lalu memasuki mobil Edzard. Tak lama kemudian kuda besi itu melaju meninggalkan pekarangan rumah Adreanne. "Kemarin kamu sakit apa? Aneh sekali, nggak ada hujan, nggak ada angin tiba-tiba sakit," cerocos Edzard heran. "Entahlah, aku juga nggak tahu. Badanku terasa panas dan pegal-pegal, belum lagi nyeri di punggung," keluh gadis itu. "Nyeri di punggung? Salah posisi tidur kali ya?" Adreanne menggelengkan kepalanya. "Nggak, rasa sakitnya muncul pas malam sebelum tidur. Pas paginya udah capek aja rasanya semua badan aku, belum lagi tiba-tiba panas." "Sekarang masih terasa nyeri?" Adreanne menggeleng. "Anehnya rasa nyerinya berhenti tadi malam. Padahal aku nggak ada minum obat pereda nyeri, cuma di bawa tidur." Dahi Edzard mengernyit samar, semakin heran dengan gejala sakit yang dialami Adreanne. Dengan mata yang fokus ke jalanan, Edzard mengulurkan tangan kirinya dan meletakkan telapak tangannya di dahi Adreanne. "Udah nggak panas," gumamnya. "Iya, demamnya juga berhenti tadi pagi." Edzard melepaskan tangannya. "Benar-benar aneh." Ya, penyakit manusia benar-benar aneh menurutnya. Adreanne mengangguk setuju. Ia pun merasa aneh sendiri dengan gejala yang ia rasakan kemarin. Tapi syukurnya hanya sehari ia merasakan itu semua, tidak merasakan sakit yang berhari-hari. *** to be continued...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN