Matahari siang ini begitu terik, bertepatan pula saat pelajaran olahraga, semakin membuat para siswa merasa tersiksa karena belajar di luar kelas. Sebelum keluar dari kelas, para siswi yang rempong sibuk misuh-misuh tidak jelas sembari meminta dan memberi sunscreen. Ceritanya, saling minta meminta cream pelindung kulit dari sinar UV.
"Pemanasan lakukan, dipimpin oleh ketua kelas. Setelah pemanasan lari lapangan lima kali," suruh Pak Andri.
"Yah Pak, banyak banget lima putaran, kurangi lagi dong Pak," keluh salah satu siswi dengan memohon.
"Enam putaran!" Bukannya mengurangi putaran untuk para siswa-siswinya, si Bapak malah menambah jumlah putarannya.
"Kok malah ditambah, Pak?" Salah satu siswa menyeletuk, protes.
"Protes sekali lagi, saya totalkan dua belas putaran. Pilih yang mana?" ancam Pak Andri dengan suara tegas.
Pak Andri memang guru olahraga yang sangat disiplin dan keras. Tapi biasanya guru laki-laki itu hanya memberikan tiga putaran, sangat berbeda dengan hari ini. Dan itu sangat disayangkan oleh para murid.
Sang ketua kelas bernama Fadlan pun mulai memimpin pemanasan sebelum melakukan lari keliling lapangan.
Enam menit kemudian, pemanasan selesai. Pak Andri berdiri dari kursinya.
"Yang sakit sekarang memisahkan diri dari lapangan," interupsi Pak Andri.
"Ada yang sakit di sini?" tanya Pak Andri sekali lagi.
Hening tidak ada sahutan.
"Baiklah, karena kalian sehat-sehat semua. Lari enam putaran!"
Dengan beraturan, mereka mulai lari mengelilingi lapangan.
Edzard dengan santai berlari-lari kecil, ia sengaja berlari di belakang Adreanne sebab ia ingin mengawasi gadis itu. Bagaimanapun juga Adreanne baru sembuh, gadis itu juga tidak memilih tawaran Pak Andri tadi. Alhasil, Edzard memutuskan mengawasi Adreanne dan mengantisipasi hal yang tidak diinginkan terjadi. Jangan sampai gadis itu pingsan.
Di putaran ke tiga, napas mereka semua mulai terengah-engah, tak heran rasa penat sudah mendera mereka, terlebih murid perempuan. Bahkan beberapa siswi memilih untuk jalan santai sebentar untuk mengatur napas lalu lanjut lari lagi.
"Masih kuat?" tanya Edzard langsung mensejajarkan posisinya dengan Adreanne.
Adreanne mengangguk yakin. "Masih."
Seraya berlari, Edzard memperhatikan raut wajah dan juga warna kulit Adreanne yang memucat. Lantas cowok itu berhenti dan juga mencekal tangan Adreanne.
"Wajah kamu pucat, larinya udahan aja. Duduk di pinggir lapangan sana," suruhnya tegas.
Adreanne menggeleng. "Tiga putaran lagi, Ed. Sayang sedikit lagi," tolaknya.
"Masih banyak itu. Sekarang kamu duduk, bahaya kalau kamu pingsan nanti. Nurut, ya?" katanya dengan lembut dan terkesan sangat perhatian.
"Adreanne, Edzard! Kenapa kalian berhenti dan cuma berdiri?!" teriak Pak Andri dari pinggir lapangan.
"Lanjut lari sana!" titah guru itu.
Edzard tidak mendengarkan. Cowok itu menarik tangan Adreanne dan membawa gadis itu duduk di pinggir lapangan, tak jauh dari posisi pak Andri.
"Adreanne baru sembuh, kemarin sakit, Pak. Jadi dia izin duduk dan tidak ikut olahraga ya, Pak? Kasihan, wajahnya udah pucat," kata Edzard yang mewakili Adreanne meminta izin.
Pak Andri menatap wajah Adreanne yang memang pucat. "Oalah, kenapa pas saya tanyain tadi kamu nggak misahin diri dari barisan. Ya udah, kamu istirahat aja."
Adreanne mengangguk. "Makasih, Pak."
"Dan kamu, lanjut lari sana!" titah Pak Andri pada Edzard.
"Iya, Pak." Edzard melanjutkan sisa larinya yang tinggal tiga putaran lagi. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini cowok itu berlari dengan sangat kencang agar cepat selesai.
Tenaga Edzard benar-benar tidak terlalu terasa habis. Keliling lapangan sembari berlari dengan jumlah enam putaran tidak terlalu banyak untuk dirinya sendiri. Hanya membutuhkan waktu empat menit, akhirnya ia selesai dan langsung duduk di barisan awal tadi.
Sedangkan yang lain masih ada yang dalam proses menyelesaikan larian.
"Pak, saya izin ke kantin beli minuman ya, Pak. Dari tadi Adreanne belum minum," kata Edzard lalu berdiri.
Lagi-lagi cowok itu terlalu perhatian pada Adreanne, bahkan ia sangat peka dan tahu kalau Adreanne haus.
"Kamu ini, perhatian banget ke Adreanne. Pacar kamu ya?" Pak Andri menatap Edzard dengan mata yang memicing.
Edzard terkekeh geli. "Segera, Pak! Doain aja, dia nerima saya, Pak."
Sontak jawaban penuh percaya diri dari Edzard mengundang tawa Pak Andri dan beberapa siswa yang telah menyelesaikan larinya dan ikut bergabung duduk di pinggir lapangan.
Sementara kedua pipi Adreanne memerah menahan malu karena Edzard.
"Ya udah, sana beli minuman. Belikan untuk saya juga, ya. Ini uangnya."
Edzard mengangguk dan berjalan meninggalkan lapangan. Syukurlah guru rada galak seperti Pak Andri memperbolehkan dirinya pergi ke kantin.
"Edzard sepertinya bucin banget sama kamu, Adreanne," celetuk Pak Andri.
"Nggak, Pak. Emang dasarnya Edzard baik aja kok," elak Adreanne.
"Halah, Pak Andri bener tau. Edzard juga sering ngikutin lo kok. Dia beneran suka deh sama lo," celetuk Nicholas.
"Ho'oh, bener. Edzard bucin si Rea," kekeh Azriel.
Selagi Edzard belum kembali, dirinya menjadi bahan ghibah oleh para siswa yang tengah ngadem usai berlari keliling lapangan.
***
Pelajaran olahraga ditutup setelah melakukan permainan bola basket. Adreanne tidak ikut bermain walaupun siswi perempuan juga membentuk sebuah tim dan lawannya tentu tim perempuan yang lain.
Sekolah ini terdapat lapangan yang banyak dan luas, untuk lapangan basket sendiri ada dua. Satu berada di dekat lapangan futsal sedangkan satunya lagi sedikit dekat dengan kantin. Satu lapangan dipakai oleh siswa laki-laki, sedangkan satunya lagi dipakai oleh para perempuan.
Adreanne hanya memperhatikan teman-temannya bermain dengan bosan. Ia memperhatikan Lily yang bermain dengan sangat jago dan juga terkadang matanya melirik ke arah lapangan cowok di mana Edzard juga ikut bermain. Adreanne merasa otak polosnya sudah tidak polos lagi. Bagaimana tidak? Edzard bermain dam ketika akan memasukkan bola ke atas ring, baju cowok itu terangkat dan membuat perutnya terlihat. Yang mengejutkan lagi, perut cowok itu sangat rata dan berkotak. Terlihat sangat seksi. Ah, sudahlah jangan memikirkan Edzard!
Masalah pelajaran akademik, Adreanne akui kalau Lily tidak terlalu pandai dan cenderung abai. Tapi jika masalah olahraga, Lily sangat bisa. Dan Adreanne sangat mengagumi olahraga yang dikuasai oleh Lily. Basket bisa, futsal bisa, karate bisa, dan bermain badminton pun bisa. Dari segala hal yang dikuasai oleh Lily, Adreanne hanya bisa bermain badminton.
Tapi tak mengapa. Justru karena perbedaan itulah persahabatan mereka terjalin sangat erat dan juga saling melengkapi.
"Gue males ganti baju rasanya, Re," keluh Lily yang duduk di bangku kantin. Di tangannya ada sebotol teh kotak yang dingin.
"Aku juga malas sebenarnya, tapi pelajaran selanjutnya itu Kimia. Bu Melva lho, Ly. Galak."
"Nyesel gue ambil jurusan sains," gerutu Lily dengan pelan, namun masih dapat di dengar oleh Adreanne.
Adreanne hanya tertawa. "Udah yok, makan cepat. Nanti kita ganti baju sebelum balik ke kelas."
Dengan lesu, Lily mengisi perutnya dengan siomay yang ia beli.
***
to be continued...