Mata Naina terbuka perlahan, menyambut cahaya pagi yang menyelinap melalui celah tirai. Tangannya meraba sisi ranjang yang sepi, hanya menemukan lekukan bekas tubuh dan sisa kehangatan yang hampir hilang. Dia duduk tegak, rambutnya yang berantakan disisir ke belakang dengan jari-jari yang gemetar. "Apakah aku hanya bermimpi?" gumamnya lirih, sambil matanya menyapu setiap sudut kamar yang sunyi tampak tidak ada jejak suaminya di sana. Pandangannya tertumbuk pada jam digital di meja belajar yang menunjukkan pukul 06.30. Dengan gerakan terburu-buru, Naina meluncur dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Tiga puluh menit kemudian, Naina sudah berdiri rapi dengan setelan kerja sederhana—kebetulan beberapa pakaian kerjanya masih tersimpan rapi di lemari kamar lamanya. Dia mengatur napas se

