1. Akad yang Hampir Batal
Langkah kaki Naina terasa tenang dan sedikit gugup saat menuruni anak tangga menuju aula utama. Kebaya putihnya terlihat sempurna, riasannya nyaris tanpa cela, dan senyum tipis terukir di wajahnya. Namun, senyum itu pudar perlahan ketika tatapan-tatapan iba mulai menghujani dari segala arah.
Bisik-bisik tamu undangan terdengar jelas di telinganya.
“Kok, mempelainya belum datang, ya?” 
“Katanya lari, loh ....”
“Ya, ampun, malunya keluarga mereka.”
“Padahal semua biaya Pak Kades yang keluarin, sampe sewa vendor segala. Eh, calon mempelainya malah kabur.”
Naina menggenggam erat buket bunga di tangannya, berusaha menahan gemetar. Calon suaminya, Randy, sama sekali tidak bisa dihubungi sejak subuh tadi. Ponselnya mati. Tidak ada kabar, tidak ada penjelasan. Dan sekarang, seluruh keluarga besarnya menjadi tontonan.
Di sisi lain, wajah ayahnya memerah menahan emosi mengetahui calon menantunya dikabarkan kabur. “Ini penghinaan, Naina!” desis Pak Arman dengan napas memburu.
Baru saja kalimat itu meluncur, tubuhnya limbung. Seketika, suasana berubah panik. 
“Papa!” jerit Naina, suaranya pecah.
Tidak hanya Naina, semua tamu yang hadir di sana pun tampak panik melihat pemilik hajat ambruk di atas lantai tepat di meja akad. 
Syukurlah ayahnya masih sadar setelah dibantu tim medis yang memang salah satu tamu undangan. Tapi kejadian itu hanya menambah sorotan tajam dari tamu undangan, seolah keluarga Naina menjadi bahan gunjingan terbesar hari itu.
Bagaimana tidak?
Akad nikah sudah di depan mata, resepsi mewah hendak digelar dengan menggelontorkan dana yang tidak sedikit demi pernikahan putri semata wayangnya. Namun, apa yang terjadi? Calon mempelai pria tidak muncul saat akad. Itu adalah sebuah penghinaan bagi keluarga besar Naina yang merupakan putri tunggal kepala desa. 
Hingga sebuah suara bariton yang dalam dan tegas memecah kegaduhan. “Jika pernikahan ini harus tetap berlangsung ... saya yang akan menggantikannya.”
Semua kepala menoleh ke arah suara itu. Naina membeku.
Pria yang berdiri di tengah aula itu tinggi, tegap, dan memancarkan wibawa tak terbantahkan. Setelan jas hitamnya kontras dengan aura dingin dan karismatik yang sulit diabaikan.
Chandra Bimantara.
Bosnya. CEO Batara Group.
Pria yang selama ini hanya dia kenal sebagai sosok dingin, tegas, dan tak tersentuh.
“Pak Chandra ....” Suara Naina tercekat, nyaris tidak terdengar.
Tamu undangan mulai riuh. Beberapa tamu yang tidak lain adalah teman kantor Naina pun terkejut, sebagian lagi saling berbisik tidak percaya. Bagaimana mungkin pria sekelas Chandra Bimantara menawarkan diri untuk menikahi bawahannya? Ditambah mereka pun tahu Chandra Bimantara telah beristri.
“Tidak perlu banyak bicara.” Tatapan Chandra tajam menusuk ke arah keluarga Naina. “Jika kalian setuju, kita bisa langsung akad sekarang.”
Naina tersentak. Setuju? Menikah? Dengan bosnya sendiri? Tidak. 
Belum sempat otaknya mencerna, ibunya menggenggam erat tangannya, mata perempuan yang melahirkannya itu sembab memohon. “Nai, tolong ... jangan buat keluarga kita semakin malu. Terima pria itu menjadi mempelaimu, Nak. Kasihan Papamu ....”
Air mata Naina jatuh tanpa bisa ditahan. Saat itu juga, dia sadar dirinya tidak lagi memiliki pilihan.
Namun, satu fakta menghantam kesadarannya dengan keras. Chandra Bimantara sudah beristri.
Bagaimana mungkin dia menikahi pria yang telah beristri?
***
Aula pernikahan yang tadinya riuh kini mendadak senyap. Semua mata tertuju pada satu titik, pada Chandra Bimantara, pria yang baru saja menawarkan diri menjadi mempelai pengganti.
Naina duduk di kursi akad, jantungnya berdebar hebat. Jemarinya saling menggenggam erat di atas pangkuan, berusaha menahan gemetar. Pandangannya kabur, air mata yang menganak sungai di pelupuk mata sudah hampir jebol, tapi dia menahannya mati-matian.
Di hadapan ayahnya, Chandra duduk tegak. Tatapannya dingin, rahangnya mengeras, dan auranya memancarkan wibawa yang membuat semua orang tidak berani bersuara. Dari dekat, Naina bisa merasakan kehadirannya begitu mendominasi. Naina bahkan tidak menyangka jika bosnya itu akan datang di hari akadnya. Dia pikir pria itu sama sekali tidak tertarik pada acara pegawai bawahan seperti dirinya. 
Sementara itu, penghulu mulai menyiapkan buku nikah dan dokumen akad dengan ekspresi kaku.
“Apakah Anda sudah yakin, Pak Chandra?” tanya penghulu ragu, seolah masih tidak percaya dengan keputusan pria itu.
“Ada alasan saya di sini,” jawab Chandra tenang, suaranya berat dan mantap. “Lanjutkan saja.”
Naina menoleh sekilas, menatap wajah pria itu yang terlihat begitu yakin, sangat bertolak belakang dengan hatinya yang terasa semakin kacau.
Mengapa?
Mengapa pria ini mau menggantikan posisi mempelai pria?
Chandra sudah memiliki keluarga, punya istri, seorang anak perempuan, dan setahu Naina pernikahan mereka terlihat harmonis. 
Lalu, apa yang melatarbelakangi keinginannya untuk menjadi pengganti di hari pernikahannya? 
Merasa diperhatikan, Chandra menoleh padanya. Dalam sepersekian detik, Naina merasakan pandangan itu menembus pertahanannya. Bukan tatapan penuh kelembutan, tapi bukan pula tatapan kosong tanpa arti. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik sorot mata itu ... sesuatu yang membuat napasnya tercekat.
“Baiklah,” ucap penghulu akhirnya, memecah keheningan. “Kalau begitu, acara akad bisa kita mulai sekarang.”
Suasana menjadi sangat hening.
Semua undangan menahan napas.
Chandra mulai berjabat tangan dengan Arman, ayah Naina, yang kondisinya sedikit lebih baik. 
Sang penghulu memberi instruksi.
“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, Chandra Bimantara bin Surya Bimantara, dengan Naina Syalindri putri saya, dengan maskawin dua juta rupiah dibayar tunai.”
Chandra mengucapkan ijab kabul dengan suara tegas, tanpa sedikit pun keraguan,
“Saya terima nikah dan kawinnya Naina Syalindri binti Muhammad Arman dengan mas kawin dibayar tunai!”
Sekali ucap.
Lancar.
Tegas.
“SAH!”
Dan saat itu juga, air mata Naina jatuh. Bukan karena bahagia ... tapi karena merasa hidupnya tidak lagi miliknya sendiri.
Tamu undangan bersorak pelan, beberapa menepuk tangan, namun sorakan itu terasa begitu asing di telinga Naina. Pandangannya kosong, pikirannya kacau, tubuhnya kaku.
Chandra menoleh ke arahnya sejenak. Bibirnya sedikit melengkung, entah itu senyum atau sekadar penegasan.
“Selesai,” katanya pelan, hanya cukup untuk didengar Naina.
Tapi bagi Naina, kata itu justru terasa seperti awal dari segalanya.
Awal dari pernikahan yang tidak pernah dia inginkan.
Awal dari hidup baru bersama pria yang hampir tidak pernah dia bayangkan. 
Dan, yang paling menakutkan adalah kenyataan bahwa hatinya ... bisa saja ikut terseret masuk ke dalamnya.
***
Sorakan tamu undangan terdengar sayup-sayup di telinga Chandra. Dia tidak peduli. Baginya, ini bukan momen bahagia, melainkan sebuah transaksi yang harus diselesaikan. Sebuah solusi pragmatis untuk menghentikan kekacauan yang memalukan.
Dia menatap lurus ke depan, menghindari tatapan Naina yang masih dipenuhi air mata. Dia tahu apa yang dirasakan wanita itu: kebingungan, keputusasaan, dan mungkin kebencian. Tapi lebih baik daripada keluarga besar gadis itu yang menjadi bahan gunjingan dan santapan publik tanpa akhir.
“Kita harus foto bersama, Pak,” bisik seorang fotografer dengan suara gugup.
Chandra mengangguk singkat. Dia bangkit, mendekati Naina yang masih duduk kaku. Tanpa banyak kata, dia meraih tangan Naina. Dingin dan gemetar.
“Tersenyum,” desisnya pelan, bukan sebagai permintaan, tetapi perintah. “Kita sudah sampai di sini. Jangan buat ini sia-sia, terlebih menambah malu keluarga besarmu.”
Dia menatap lurus ke kamera, senyum tipis terpaksa menghias bibirnya. Di sebelahnya, Naina melakukan hal yang sama, tapi matanya kosong. Chandra bisa merasakan getaran halus dari tubuhnya.
Dalam pikirannya, daftar konsekuensi sudah mulai berderet. Dia harus segera mengatur pertemuan dengan pengacara untuk mengurus perjanjian pra-nikah yang darurat. Dia harus memikirkan cara menjelaskan ini kepada sang istri, Davina, dan putri kecil mereka, Kayla. Ini akan berantakan, tapi setidaknya kekacauan itu bisa dikendalikan.
Matanya menangkap sorotan kamera yang lain, kali ini dari seorang tamu yang menyamar. Wartawan. Sudah mulai. Besok, berita tentang pernikahan ini akan menghiasi semua media.
Dia menekan tangan Naina sedikit lebih erat, bukan untuk menghibur, tetapi sebagai peringatan. “Bersiaplah,” bisiknya, suara rendah hanya untuknya. “Ini baru awal.”
Dia sudah memilih untuk turun ke arena. Sekarang, dia harus memastikan bahwa semua orang memainkan peran mereka dengan baik, termasuk pengantin barunya yang masih terlihat ketakutan ini.
***
Acara resepsi pernikahan berlangsung meriah, meski pengantin prianya berbeda dari nama yang tercantum di undangan. Para tamu yang baru datang tampaknya sudah mengetahui kabar tersebut, terlihat dari tatapan penuh selidik dan bisik-bisik yang tak pernah benar-benar padam.
Naina terus mencuri pandang ke arah sebelahnya, pria yang menjadi bosnya di kantor dan kini adalah suami sahnya di mata hukum. Mereka belum sempat berbicara tentang bagaimana hubungan mereka ke depannya, fokus mereka masih tertuju pada acara pernikahan yang berlangsung selama satu harian ini.
“Mengapa terus melihat saya seperti itu?”
Naina tersentak mendengar suara Chandra yang tiba-tiba memecah kesunyian di antara mereka.
“Jangan membenci keputusan ini, Naina,” ujarnya lagi, suaranya rendah namun terdengar jelas di tengah keriuhan resepsi. “Apa yang terjadi hari ini mungkin telah menyelamatkanmu dari sesuatu yang lebih buruk.”
Naina memandangnya dengan bingung. “Maksud Pak Chandra?”
“Saya menyelamatkan harga diri orangtuamu. Pada waktunya nanti, kamu akan berterima kasih bahwa sayalah yang menjadi mempelaimu hari ini.”
Naina menggeleng cepat. “Saya bahkan tidak pernah menginginkan untuk menjadi wanita kedua, wanita yang menyakiti hati istri Anda. Bagaimana perasaannya saat tahu suami yang dicintainya telah menikah lagi?”
Chandra tidak menjawab, lebih memilih memandang kedepan dengan tatapan penuh misteri.