2. Malam Pertama yang Hampa

1395 Kata
Kamar hotel suite yang mewah terasa begitu asing dan sunyi bagi Naina. Gaun pengantinnya yang megah telah diganti dengan dress kasual berbahan sutra yang nyaman, namun justru membuatnya merasa semakin kecil dan tak berarti di tengah kemewahan ruangan ini. Aroma bunga segar yang ditata di sudut ruangan tidak mampu mengusir hawa dingin yang menyelimuti hatinya. Para tante dan petugas MUA telah pergi sejak sore, meninggalkannya sendirian menanti di tepian ranjang besar, menatap lukisan abstrak di dinding tanpa benar-benar melihatnya. Bayangan acara resepsi tadi masih berputar di kepalanya: tatapan iba, bisik-bisik tamu undangan, dan wajah ibunya yang basah oleh air mata bahagia bercampur malu. Pun dengan kondisi ayahnya yang memburuk. Hari ini seharusnya menjadi awal yang indah. Namun, yang dia dapat hanyalah pernikahan tanpa cinta ... dengan pria yang sudah memiliki istri. Suara pintu yang terbuka menyadarkan Naina dalam lamunan panjang. Chandra Bimantara masuk dengan langkah tenang. Jasnya telah dilepas, digantung di lengan. Kemeja putihnya sedikit terbuka di bagian kerah, memperlihatkan lekuk tulang selangkanya. Aura wibawanya masih sama—dingin, berjarak, dan penuh teka-teki. Dia melirik Naina sekilas, lalu berjalan menuju minibar. Menuang air mineral ke dalam gelas kristal dan meneguknya tanpa sepatah kata pun. Naina menunduk lagi, jemarinya saling menggenggam erat. Pertanyaan berputar-putar di kepalanya. Mengapa pria ini menyelamatkannya hanya untuk menjerumuskannya ke dalam situasi yang mungkin lebih buruk? “Mengapa ... Bapak melakukan semua ini?” suara Naina akhirnya pecah, lirih dan gemetar. Chandra meletakkan gelasnya, lalu menoleh perlahan pada gadis yang kini telah sah menjadi istri keduanya. “Karena hanya itu keputusan yang paling masuk akal dan terpenting saya menyelamatkan harga diri ayah kamu sekeluarga,” jawabnya datar. Jawaban itu membuat d**a Naina semakin sesak. Dia mengangkat wajah, memberanikan diri menatap langsung mata bos—suaminya—itu. “Tapi Bapak sudah punya istri. Tidakkah ini ... salah?” tanyanya getir. Hanya itu yang dia pikirkan sejak tadi. Menjadi istri kedua. Sudut bibir Chandra melengkung tipis, sebuah ekspresi yang lebih mirip cibiran daripada senyuman. “Urusan rumah tangga saya adalah urusan saya. Yang perlu kamu pahami sekarang ...,” ujarnya, suaranya rendah namun penuh tekanan, “adalah bahwa mulai malam ini, kamu istri saya. Secara hukum. Titik.” Naina tercekat. Kata-kata itu begitu tegas dan final. Tidak ada celah untuk argumentasi atau penolakan. Kenyataan itu menghunjam keras: dia sekarang adalah istri kedua. Sebuah gelar yang tidak pernah dia inginkan, namun terpaksa harus dia sandang. Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Chandra lalu melepas arloji dari pergelangan tangannya, meletakkannya di meja dengan sangat hati-hati. Kemudian dia melepas kancing kemejanya satu persatu. Melihat itu, Naina refleks menegakkan tubuh, memalingkan wajahnya ke arah lain, gugup dan panik, pikirannya melayang pada hal yang tidak ingin dia bayangkan. Namun, pria itu hanya berjalan menuju sofa, lalu menjatuhkan tubuhnya dengan santai. “Tidurlah. Malam ini tidak akan terjadi apa-apa. Saya tahu kamu belum siap,” ucapnya tenang, tanpa menatap pada Naina yang tampak pucat di ujung ranjang. Naina terdiam. Rasa lega merayap dalam dirinya, tapi bersamaan dengan itu muncul perasaan aneh—perasaan yang tidak terdefinisi muncul setiap kali tatapan mata Chandra jatuh kepadanya. Kemudian dia berbaring perlahan di sisi ranjang, memejamkan mata. Namun, malam itu terasa panjang dan menyesakkan. Bukan karena ketakutan ... melainkan karena bayangan pria di sofa itu terus mengusik pikirannya. Dan untuk pertama kalinya, Naina mulai sadar ... kehidupannya kini benar-benar berada di genggaman Chandra Bimantara. Rasa lelah yang dirasakan tidak mampu membuat matanya terpejam. Malah pikirannya berputar pada kenyataan yang akan terjadi di depan sana, pada tatapan teman-teman kantornya nanti, pada bisik-bisik yang akan menyebar seperti api, dan pada label ‘Istri kedua bos’ yang akan melekat padanya. Namun, dari semua ketakutan itu, yang paling mengerikan adalah bayangan harus berhadapan dengan istri pertama Chandra. Naina tidak mau, bahkan tidak pernah mau disebut sebagai perusak rumah tangga orang, apalagi seorang perebut suami orang. Karena kenyataannya tidak seperti itu. *** Udara malam itu cukup dingin menusuk, namun dinginnya tidak mampu membuat Davina menggigil setelah mendengar kabar yang baru saja disampaikan oleh Janu, adiknya. Wajah Davina tetap terkendali, tapi matanya menyimpan badai yang diam-diam mengamuk. “Ini sudah keterlaluan, Mbak! Mas Chandra menikah lagi! Dengan bawahannya sendiri!” seru Janu, tidak bisa menyembunyikan gemasnya. “Mbak harus menggugatnya! Ini jelas-jelas poligami tanpa izin!” Davina mengambil gelas anggur merahnya perlahan, menatap jauh ke depan. “Gugat? Justru itu yang diinginkannya, Janu.” “Maksud, Mbak?” tanya Janu tidak mengerti. “Sudah lama dia mencari masalah agar bisa lepas dari ikatan pernikahan ini, tapi selalu berhasil aku gagalkan. Pernikahan ini ... adalah penjara yang aku ciptakan untuknya, dan sekarang dia pikir dengan menikahi gadis itu, aku akan melepaskannya begitu saja.” Janu mengerutkan kening, bingung. “Tapi, kenapa? Kenapa Mbak tidak melepaskannya saja jika sudah seperti ini?” Sebentuk senyum sinis muncul di bibir Davina. “Kamu lupa, Janu? Dulu aku yang menjebak dia berada di pernikahan ini. Mama dan papa yang memaksanya bertanggung jawab setelah ‘insiden’ itu. Dia membenciku sejak saat itu, berusaha mencari-cari kesalahan, dan sekarang dia ingin bebas?” Kepalanya menggeleng cepat. “Tidak. Itu tidak akan pernah terjadi.” Davina menatap adiknya, matanya berkilau dengan tekad keras. “Dia pikir dengan menikah lagi, aku akan jijik dan akhirnya melepasnya. Itu mimpi indahnya. Tapi aku tidak akan memberinya kemenangan itu. Biarkan dia tetap terikat denganku. Biarkan dia merasakan bagaimana hidup dengan dua istri, dengan segala konsekuensi dan cibiran masyarakat. Aku akan tetap menjadi istri pertamanya, istri sah yang akan terus mengingatkannya pada ‘kesalahan’ masa lalunya.” “Jadi ... Mbak akan membiarkan pernikahan itu? Membiarkan Mas Chandra memiliki dua istri?” “Tepat sekali,” jawab Davina dingin. “Aku akan tetap di sini. Sebagai pengingat bahwa dia tidak akan pernah benar-benar bebas. Dia ingin perang? Baik, kita akan berperang. Tapi dengan aturanku.” Dia meneguk anggurnya sekali lagi, menatap Janu dengan pandangan yang tak tergoyahkan. “Aku tidak akan menggugatnya, Janu. Justru aku akan mempertahankan gelar istri sahnya sampai akhir. Biar dia yang menanggung malu sebagai suami yang berpoligami tanpa restu. Biar dia yang harus menjelaskan semuanya pada anak kami kelak.” Wajah Janu perlahan paham, lalu berubah menjadi khawatir. Perang antara kakaknya dan Chandra jelas tidak akan berakhir dengan baik. Namun, di mata Davina, dia hanya melihat tekad bulat untuk tidak kalah dan balas dendam atas penderitaan yang ditanggungnya selama ini. *** Naina terbangun sembari mengerjapkan matanya, terkejut oleh suara dering ponsel yang memecah kesunyian kamar. Cahaya pagi sudah menerobos melalui celah tirai, menyinari debu-debu yang berterbangan. Dari balik kelopak matanya yang masih berat, dia melihat sosok Chandra sudah berdiri di dekat balkon, berbicara dengan suara rendah yang tidak biasa—lembut dan penuh kesabaran. “Iya, Sayang, Papa ada pekerjaan mendadak jadi tidak pulang tadi malam,” ujarnya, sambil menatap pemandangan kota dari balik kaca. “Papa janji, hari ini kita ke wahana bermain.” Naina mencoba duduk, masih merasa canggung dengan suasana pagi ini. Dia masih duduk di atas ranjang dan belum beranjak, sengaja mendengarkan percakapan pria yang merupakan bosnya di kantor yang kini telah menjadi suaminya dengan seseorang yang dia yakini adalah anak pria itu. “Kalau papa minta Tante Alisa untuk temani Kayla mau?” “Tidak, tidak, Kayla maunya sama Mama dan papa saja.” “Hm ....” Tiba-tiba, Chandra menoleh ke arah ranjang. Matanya bertemu dengan Naina yang masih terbungkus selimut, dan wajahnya masih tampak mengantuk. Ada sejenak keheningan yang canggung di antara mereka, sebelum akhirnya Chandra kembali fokus pada ponselnya. “Oke, nanti Papa usahakan pulang cepat. Salam untuk Mama. Bye, Sayang.” Setelah menutup telepon, udara di kamar terasa kembali tegang. Chandra meletakkan ponselnya di meja, lalu mengambil segelas air mineral. Sementara Naina beranjak dari tempat tidur, berusaha terlihat sibuk dengan merapikan ranjang yang sedikit berantakan. “Itu anak, Bapak?” tanya Naina, mencoba memecah kebisuan. Chandra mengangguk singkat, tanpa banyak ekspresi. “Kayla. Usianya tiga setengah tahun.” Naina manggut-manggut, tanpa mengatakan apa-apa, hanya sibuk melipat selimutnya. Chandra menatap Naina, seakan membaca ketidaknyamanan di wajahnya. “Kamu tidak perlu khawatir. Dia tidak tahu tentangmu. Mungkin belum. Dan untuk sementara, memang sebaiknya begitu.” Naina memutar tubuhnya menghadap ke arah pria yang bergelar sebagai suaminya sejak beberapa jam lalu. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. “Tentu saja, bapak boleh sembunyikan saya selama yang bapak mau, atau sampai kita putuskan untuk bercerai.” Setelah mengatakan itu, Naina melangkah masuk ke dalam toilet, meninggalkan Chandra dengan tatapan dinginnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN