3. Pembatalan Nikah yang Ditolak

1549 Kata
Naina menggigit bibirnya, kedua tangannya erat meremas di atas pangkuannya. Matanya menerawang keluar jendela, menyusuri jalanan yang semakin familiar, mendekati kediaman orangtuanya. Dia berada di dalam mobil mewah yang sesak oleh keheningan, bersama pria yang tidak pernah terbayangkan akan menjadi suaminya—Chandra Bimantara. Bosnya di kantor. Sebelum berangkat, di kamar hotel, sempat terjadi percakapan tegang di antara mereka. “Terima kasih, Pak,” ucap Naina, memecah kebisuan setelah sarapan pagi yang kesiangan, suaranya berusaha tegas. “Karena Bapak telah menyelamatkan keluarga saya dari aib yang lebih besar. Tapi ... saya harap pernikahan ini bisa kita batalkan. Ini tidak perlu berlanjut, jadi tidak perlu ada perceraian.” Chandra yang sedang mengancingkan kemejanya, berhenti. Dia menoleh pada Naina, tatapannya tajam dan tak terbaca. “Saya tidak setuju,” balasnya datar. Naina terkesiap. “Lho! Lho! Bapak tidak bisa begitu, saya enggak mau jadi istri kedua bapak, lho, ya. Lebih baik kita batalkan pernikahannya, mumpung belum terlambat, dan jalani hidup masing-masing.” “Kamu sudah sah menjadi istri saya, Naina,” ucapnya dingin, langkahnya mendekat perlahan. “Pernikahan ini tidak akan dibatalkan. Dan percayalah, suatu hari nanti kamu akan mengerti mengapa kamu harus berterima kasik bahwa sayalah yang menikahimu, bukan calon suami kamu yang tidak bertanggung jawab itu.” “Apakah Bapak mengancam saya?” Suara Naina bergetar, campur amarah dan ketakutan. “Saya hanya menyatakan fakta,” jawabnya datar. “Sekarang, bersiaplah. Kita akan pulang ke rumah orangtuamu, saya harus berkenalan dengan mereka karena sudah menjadi bagian dari keluarga besar kamu.” Naina tak percaya ini. Pria itu tidak mau membatalkan pernikahan mereka. Padahal dia berusaha menawarkan jalan keluar. Dan kini, di dalam mobil, Naina masih merasakan gemas dan frustrasi yang sama. Chandra duduk di sampingnya, tenang dan terkendali, seolah percakapan pagi tadi tidak pernah terjadi. “Kita sudah sampai, Pak,” ucap sopir pribadi Chandra, yang memecah kesunyian. Chandra berdeham ringan, memecah kesunyian di dalam mobil. Naina hanya menyampingkan wajah, malas menatapnya, sambil memendam gerutu dalam hati. “Ayo, turun.” Chandra sudah lebih dulu keluar dari mobil, meninggalkannya sendirian. Sebelum Naina sempat membuka pintunya sendiri, pintu di sampingnya terbuka dari luar. Chandra berdiri di sana, dengan wajah tanpa ekspresi, mengangguk singkat sebagai isyarat baginya untuk segera keluar. Dengan enggan, Naina melangkah keluar, berusaha mendahului Chandra menuju teras rumah. Tampak dari luar, rumah orangtuanya masih ramai oleh kerabat yang belum pulang usai resepsi kemarin. “Nai, kamu pulang! Mana suamimu?” sapa Lidya, ibunya, yang menyambut kedatangan pasangan pengantin baru itu. Naina hanya menggerakkan kepala menunjuk ke belakang, enggan menjelaskan lebih lanjut. Lidya beralih ke pria tinggi di belakang putrinya. Chandra melangkah maju, menyunggingkan senyum formal yang sopan. “Selamat siang, Bu.” Wajah Lidya tampak cerah. “Siang, silakan masuk,” balasnya ramah. “Papanya Naina masih istirahat di kamar, belum pulih benar.” Chandra mengangguk mengerti, lalu mengikuti Naina yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah. Begitu mereka melangkah masuk, pandangan semua orang yang sedang berkumpul di ruang tamu langsung tertuju pada mereka. Suasana yang tadinya riuh menjadi hening seketika. Bibir-bibir yang tadinya mengobrol terhenti, mata-mata yang penuh tanya menyorot tajam. Kerabat-kerabat yang belum pulang ke kota masing-masing itu saling pandang, bisik-bisik pun mulai terdengar pelan. “Suaminya Naina sudah punya istri.” “Naina jadi istri kedua, dong?” “Tapi katanya suaminya bos di kantornya, lho.” Naina merasa ingin menghilang. Setiap langkah terasa berat, setiap tatapan terasa seperti jarum. Dia berusaha tidak menatap siapa-siapa, sementara Chandra di sampingnya justru terlihat tenang, bahkan sedikit memandang sekeliling ruangan dengan wibawa alaminya, seolah tidak peduli dengan gemuruh keheningan yang menyambut mereka. “Ayo, ke kamar, temui papa.” Lidya segera mendorong tubuh Naina dan Chandra menuju kamar utama, mengabaikan bisik-bisik kerabat mereka yang membahas status Naina. Di dalam kamar, Arman terbaring bersandar pada bantal, wajahnya masih pucat namun terlihat lebih tenang. Senyum hangat mengembang di bibirnya begitu melihat pasangan itu masuk, terutama ketika pandangannya tertuju pada Chandra. “Ah, akhirnya kita bisa bertemu dalam keadaan yang lebih tenang,” ucap Arman, suaranya masih lemah namun bersemangat. “Terima kasih, Nak Chandra. Terima kasih sudah menjadi penyelamat di saat keluarga kami hampir hancur karena malu. Kami tidak akan pernah melupakan kebaikan hati Anda.” Chandra sedikit membungkuk, menunjukkan sikap hormat. “Tidak perlu berterima kasih, Pak. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya.” “Pa, sudahlah. Istirahat dulu, ya? Dokter bilang Papa harus banyak istirahat,” sela Naina, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. Dia merapikan selimut ayahnya, menghindari kontak mata dengan Chandra. “Sudah cukup, Nai. Papa sudah merasa lebih baik sekarang,” ujar Arman lembut, menepuk tangan putrinya. “Papa justru ingin lebih kenal dengan menantu baru papa ini. Lagian, kami belum sempat berkenalan kemarin.” Pandangannya beralih ke Chandra, penuh dengan rasa terima kasih dan penerimaan. “Jadi, Anda bosnya Naina di kantor? Saya bisa jamin, kalau Naina adalah anak yang baik. Rajin dan tidak pernah merepotkan.” Chandra mengangguk, senyum tipis menghiasi bibirnya. “Iya, Pak. Naina pegawai yang berdedikasi.” Naina hanya bisa diam, perasaannya campur aduk. Di satu sisi, dia lega melihat ayahnya bisa tersenyum lagi. Di sisi lain, penerimaan tulus ayahnya pada Chandra justru membuat hatinya semakin sesak. Dia tahu, ayahnya melihat ini sebagai akhir yang bahagia, sementara bagi Naina, ini adalah awal dari sebuah kehidupan yang rumit. Lidya yang berdiri di pintu hanya bisa mengamati dengan perasaan haru. Dia melihat suaminya yang mulai cerah, menantunya yang tampan dan terhormat, dan putrinya yang ... diam dan tampak berat hati. Sebuah bayangan kekhawatiran mulai mengusiknya, namun untuk saat ini, dia memilih untuk bersyukur karena suaminya selamat dan aib keluarga mereka telah tertutupi. Malam harinya, rumah akhirnya kembali sunyi. Para kerabat telah berpamitan dan kembali ke kota masing-masing. Chandra pun telah berpamitan lebih awal, menyatakan perlu pulang ke rumahnya—menemui istri pertamanya. Kalimat itu sendiri terasa seperti pisau yang menyayat hati Naina, meski dia berusaha keras untuk tidak menunjukkannya. Lidya, yang sejak tadi memperhatikan sang anak yang luar biasa pendiam, akhirnya menghampiri. “Nai,” panggilnya lembut, duduk di samping putrinya di sofa. “Mau bicara?” Naina menarik napas dalam, bahunya turun seakan melepas beban yang dipikulnya seharian. Dia menatap ibunya, dan untuk pertama kalinya sejak pagi, air mata yang ditahannya akhirnya menggenang di pelupuk mata. Dan, Lidya sangat paham apa yang dirasakan oleh putri semata wayangnya. “Dijalani dulu, ya, Nak,” bisik Lidya, merangkul pundak Naina. “Sambil lihat keadaan ... sambil cari jalan keluarnya.” “Jalan keluar?” Suara Naina bergetar, penuh kepahitan. “Ma, dia sudah punya istri. Apa Mama tega melihat Naina jadi istri kedua? Jadi pelakor di mata orang?” Lidya menghela napas berat, matanya juga berkaca-kaca. Dia menggeleng pelan, rasa bersalah dan kepedihan yang sama menghantuinya. “Tidak, Nak. Mama tidak tega. Mama sama sekali tidak tega.” Tangannya mengelus punggung Naina lembut. “Tapi keadaan ... keadaan yang memaksamu, Sayang. Kalau bukan karena kesehatan papamu, andai saja papamu lebih kuat ... mungkin Mama akan biarkan saja pernikahan itu batal. Uang ratusan juta yang sudah dikeluarkan, biarlah hangus. Tapi ...” Suaranya tercekat, “Papamu ... Mama belum siap kehilangan papamu, Nai. Maafkan Mama. Maafkan Mama egois, Nak.” Air mata Lidya akhirnya menetes, bercampur dengan air mata Naina. Mereka berpelukan, sama-sama terluka oleh situasi yang tidak mereka inginkan, terperangkap antara menyelamatkan nyawa sang suami/ayah dan mengorbankan kebahagiaan sang anak. Dalam pelukan itu, Naina memahami. Bukan berarti hatinya tidak lagi pedih, tapi dia mengerti ketakutan ibunya. Dan pengorbanannya, betapa pun pahitnya, telah menyelamatkan nyawa ayahnya. Dan, satu-satunya orang yang paling bersalah di sini adalah Randy. Pria itu yang seharusnya bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada dirinya dan keluarganya. Naina sudah berada di kamarnya, duduk bersandar pada kepala ranjang, tubuhnya lemas oleh pikiran yang berputar-putar. Tawaran pembatalan pernikahan yang dia lontarkan pada Chandra jelas ditolak mentah-mentah. Pria itu bersikukuh mempertahankan status pernikahan mereka, mengunci Naina dalam peran sebagai istri kedua yang tidak pernah diinginkannya. Saat dia hendak merebahkan diri, pandangannya tertangkap pada ponsel di atas meja rias. Layarnya menyala, bergetar senyap dengan dering yang disunyikan. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di sana. Biasanya, Naina akan mengabaikan panggilan seperti ini. Tapi hari ini, sebuah dorongan aneh membuat jarinya menekan tombol hijau. “Halo?” suaranya serak, masih menyimpan sisa kepenatan. “Naina? Ini ... aku.” Suara itu membuatnya membeku. Randy. “Selamat untuk pernikahannya. Aku ... aku minta maaf—” “b******n kamu, Randy!” sergah Naina, suaranya mendesis bergetar antara marah dan sedih. “Kamu telah mempermalukan keluarga aku sampai hancur! Papa pingsan dan hampir meninggal karena aib yang kamu buat!” “Aku tahu. Aku dengar. Maafkan aku, Nai. Aku ... benar-benar terpaksa melakukan itu.” “Terpaksa?!” Naina nyaris tercekik. “Dengan alasan apa pun, tidak ada yang bisa memaksa seseorang untuk menghancurkan hari pernikahannya sendiri!” “Ini ... ini juga untuk menyelamatkanmu, Nai.” Kalimat itu menyentak Naina. Persis seperti yang diucapkan Chandra. Kemarahan yang mendidih tiba-tiba dibayangi oleh keingintahuan yang mengerikan. “Menyelamatkan aku dari apa, Randy?” desisnya, nadanya berubah dari marah menjadi waspada. “Jelaskan!” Dari seberang sana, hanya terdengar helaan napas berat. Lalu, sebuah suara kasar terdengar menyela, diikuti teriakan Randy yang teredam sebelum sambungan terputus begitu saja—menyisakan Naina dalam kebisuan yang penuh teka-teki, dengan jantung yang berdebar kencang dan satu pertanyaan yang kini menggumpal di benaknya: Apa yang sebenarnya terjadi?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN