4. Masih Tidak Menyangka

1268 Kata
Chandra menginjakkan kaki di teras rumah megahnya saat matahari sore mulai beringsut ke peraduan. Jas yang dia kenakan masih membawa sisa-sisa aroma hotel dan kenangan dari pernikahan yang tak terduga. Dia membuka pintu dengan gerakan lamban, tubuhnya terasa berat oleh beban peran barunya. Pria beristri dua. “Papa!” Suara riang Kayla menyambutnya, saat dia baru saja menutup pintu rumah. Gadis kecil itu berlari dengan rambut hitamnya yang terurai, langsung memeluk erat kaki Chandra. Tanpa basa-basi, Chandra membungkuk dan mengangkatnya, menyimpan wajah lelahnya di bahu mungil putrinya. Menghidu aroma sampo dan parfum wangi buah strawberry. “Papa, kok, pulangnya lama banget?” tanya Kayla dengan suara kecilnya, tangan mungilnya memainkan kerah kemeja ayahnya yang mulai kusut. Chandra mencium pipi gempalnya yang masih merah sehabis berlari. “Papa ada urusan mendadak, Sayang. Sabtu ini kita ke wahana bermainnya, ya?” “Tapi Kayla harus sekolah, dulu kan?” tanyanya merajuk. “Bukannya Kayla suka sekolah?” tanya Chandra sambil mengusap rambut putrinya. “Iya suka ...,” jawab Kayla ragu, sambil terus memainkan kancing teratas kemeja ayahnya. “Janji akhir pekan ini papa akan ajak Kayla ke wahana,” katanya seraya mencium pipinya lagi. “Papa jangan sibuk lagi, lho.” “Enggak, Sayang.” Tiba-tiba, suasana berubah. Davina muncul dari balik pintu, berdiri dengan tubuh tegap dan tangan terlipat di d**a. Matanya menyapu Chandra dari ujung kepala sampai kaki, dingin dan tak berkedip. “Inka,” panggil Davina pada pengasuh yang berdiri di sudut ruangan. “Bawa Kayla main ke dalam.” Inka segera mendekat dan mengambil Kayla dari pelukan Chandra. Gadis kecil itu merengek perlahan tapi akhirnya menurut. Saat langkah Inka dan Kayla menghilang di ujung koridor, Davina bergeming. Dia masih berdiri di tempat yang sama, matanya menatap Chandra bagai ingin menembus setiap pikiran yang tersembunyi pada suaminya itu. “Selamat datang kembali,” ucap Davina akhirnya, suaranya datar namun menusuk. “Ada yang ingin kamu ceritakan, Ndra? Misalnya tentang pernikahan keduamu.” Chandra tidak menjawab. Tatapannya dingin, melirik sekeliling ruang tamu yang masih ramai dengan pelayan yang lalu lalang dan sudut dimana Inka baru saja membawa Kayla pergi. Dia menghela napas pendek, lalu melangkah melewati Davina begitu saja, menuju kamar tidur utama. Davina mengeraskan rahangnya, tetapi mengikuti suaminya dengan langkah tenang, memastikan pintu kamar tertutup rapat sebelum akhirnya meledak. “Kamu pikir dengan tidak menjawab, semuanya selesai?” desis Davina, suaranya bergetar meski dia berusaha keras menahan emosi. Chandra dengan tenang melepaskan jasnya dan menggantungnya. Jari-jarinya lalu beralih membuka kancing kemejanya satu per satu, seolah tidak mendengar. “Kalau kamu tidak terima,” ucap Chandra akhirnya, suaranya datar dan lelah, bukan marah, “Kamu bisa gugat aku, Vin.” Davina terkekeh, sebuah suara yang pahit dan tidak mengandung kebahagiaan sama sekali. “Itu yang kamu inginkan, bukan? Aku yang menggugatmu. Agar kamu bisa bebas dari tanggung jawab, dari—” “Aku tidak peduli lagi,” potong Chandra, akhirnya seraya menatap pada istrinya. Di matanya terdapat kehampaan yang lebih menyakitkan daripada kemarahan. “Aku tidak masalah jika namaku yang tercoreng, aku yang disebut tidak setia oleh semua orang. Asalkan aku bisa bebas dari kamu dan permainanmu, itu sudah lebih dari cukup bagiku untuk merasa tenang.” Dia berbalik, menunjukkan punggungnya pada Davina, mengakhiri percakapan. Gerakan itu lebih menghina daripada teriakan apa pun. “Orangtuamu tidak akan senang mengetahui putra kebanggaannya menikah lagi tanpa seizin istri pertamanya,” balas Davina dengan nada tajam. Namun, Chandra terus melangkah masuk ke toilet mengabaikan ucapan Davina yang berpikir dia akan menyesali perbuatannya tersebab telah mengecewakan orangtuanya karena telah menikah lagi. Tidak akan pernah. *** Hari Senin yang seharusnya menjadi hari pertama cuti pernikahannya, justru dihabiskan Chandra dengan berkendara menuju kantor. Mobil mewahnya melaju lancar di jalanan ibu kota yang sudah ramai. Dia memilih untuk tidak mengambil cuti, membiarkan Naina yang tetap menjalani cuti nikahnya sendirian di rumah selama tiga hari ke depan. Saat memasuki gedung kantor, udara seketika berubah. Beberapa kepala menoleh, suara bisik-bisik yang sengaja dibuat pelan namun tetap terdengar, dan tatapan penuh keingintahuan mengikuti setiap langkahnya menuju lift. Ekspresi Chandra tetap datar, seolah tidak menyadari—atau lebih tepatnya, mengabaikan—semua sorotan itu. Di lorong menuju ruang direksinya, Marcell, asisten sekaligus sahabat lamanya, sudah menunggu dengan alis terangkat. “Selamat pagi, Pak CEO yang baru saja menjadi berita utama,” sambutnya dengan nada setengah bercanda, setengah khawatir, sambil menyesuaikan langkahnya dengan Chandra. “Lo jadi tontonan gratis, Ndra. Semua mata dari lobby sampai sini tertuju ke Lo.” Chandra hanya mendengus kecil, tidak melambatkan langkah. “Biarkan mereka dapat hiburan,” jawabnya singkat, suaranya rendah dan tanpa beban. Marcell mengikutinya masuk ke dalam ruangan yang luas dan minimalis. Chandra langsung menuju meja kerjanya, meraih setumpuk dokumen yang sudah menanti. Marcell tidak segera pergi, malah menyandarkan tubuhnya di pintu, mengamati sahabatnya itu dengan cemas. “Gue cuma penasaran, Ndra. Gimana reaksi Davina? Pasti dia meledak macam bom Hiroshima kan?” tanyanya, mencoba membaca ekspresi Chandra yang tertutup. Chandra tidak langsung menjawab. Jemarinya membuka berkas pertama, matanya sudah mulai menyusuri baris-baris teks penting. “Marah? Sudah pasti. Tapi apa gue harus peduli?” ucapnya akhirnya, masih tanpa menatap Marcell. “Jadi ... kalian belum bicara serius soal ini?” “Gue yang enggak mau bahas, Cell. Capek. Sudah sering banget ribut soal yang sama,” jawab Chandra, kali ini dengan nada yang lebih berat, mengisyaratkan kelelahan yang dalam. Marcell menghela napas. Dia memperhatikan cara Chandra membalik halaman dokumen dengan gerakan terlalu tepat dan terkendali, sebuah tanda klasik bahwa sahabatnya itu sebenarnya tidak sematang yang ditampilkan. “Yang bikin gue heran, lo santai banget. Kayak baru aja beli mobil, bukan nikahin orang,” goda Marcell, mencoba mengetes perairan. “Apa karena udah 'lepas segel' sama si istri baru, makanya lo tenang?” Chandra akhirnya mengangkat pandangannya dari dokumen. Sorot matanya tajam, tetapi tidak marah. Lebih seperti seseorang yang memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Pernikahannya sendiri gak terduga. Dia pasti masih shock dan nervous harus bersuamikan atasannya sendiri. Biarkan dia menenangkan diri dulu. Ada waktu untuk segalanya,” ujarnya, sebelum kembali memusatkan perhatian pada tumpukan kertas di depannya, mengakhiri percakapan dengan elegan namun tegas. *** Pikiran Naina berputar-putar seperti roda yang tidak berhenti. Ucapan Randy bergema dalam benaknya: “Aku terpaksa melakukan itu untuk menyelamatkanmu.” Menyelamatkan dari apa? Dari siapa? Dia menggigit bibirnya, jari-jarinya meremas ujung selimut. Apakah hidupnya benar-benar dalam bahaya tanpa disadarinya? Dan yang paling membingungkan—bagaimana mungkin Randy mengenal Chandra? Mereka berasal dari dunia yang berbeda bagai langit dan bumi. Kepalanya terasa berdenyut-denyut, dipenuhi teka-teki yang tidak ada jawabannya. Tiba-tiba, getar ponselnya memecah kesunyian kamar. Naina terkejut, jantungnya berdebar kencang. Di layar, terpampang jelas nama “Pak Chandra”. Dia menatap ponsel itu seakan-akan benda itu adalah makhluk asing. Bagaimana mungkin pria itu yang kini menjadi suaminya? Ingatannya melayang ke koridor kantor—dirinya yang selalu menunduk saat berpapasan, sementara Chandra melintas dengan aura wibawa yang tak tersentuh. Mereka hampir tidak pernah berinteraksi, apalagi bercakap-cakap. Ponsel terus bergetar di telapak tangannya, membuyarkan lamunannya. Ada keinginan untuk membiarkannya berdering sampai berhenti. Tapi sesuatu dalam dirinya—mungkin rasa patuh yang sudah terpatri atau ketakutan akan konsekuensinya—membuat jarinya akhirnya menyentuh layar hijau. “Halo?” sapanya dengan suara serak. “Saya di depan. Bersiap, kita akan pergi.” Suara Chandra datar, tegas, dan tanpa basa-basi. Bahkan sebelum Naina sempat membuka mulut untuk bertanya atau menjawab, sambungan sudah terputus. Naina tetap terduduk di tempat, tangan masih menggenggam ponsel yang kini sudah senyap. Dia hanya bisa menatap kosong pada benda di tangannya, mencoba mencerna perintah yang baru saja diterimanya. Perintah dari suami yang masih asing, yang hidupnya tiba-tiba bersinggungan dengan miliknya dalam cara yang paling tidak terduga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN