5. Perjanjian Pranikah yang Terlambat

1538 Kata
Salina melemparkan majalah sosialita ke atas meja kaca di depannya dengan sedikit kasar. Matanya menyipit, menatap putrinya yang tampak duduk tenang di seberangnya, sesekali menyeruput tehnya yang masih hangat. "Kamu ini bodoh atau bagaimana, Vina?" desis Salina, suaranya seperti pisau yang diasah. Sangat tajam. "Suamimu nikah lagi, tapi kamu malah santai seolah tidak terjadi apa-apa? Heran mama lihatnya." Davina tidak serta-merta menanggapi. Jari-jarinya yang halus menata ulang lipatan gaunnya, hingga akhirnya menatap sang ibu yang pagi-pagi sudah berkunjung ke rumahnya. Dia tersenyum tipis menatap ibunya yang masih memasang ekspresi kesal padanya. "Tenang saja, Ma. Biarkan Chandra bermain api. Vina yakin, pernikahan main-mainnya itu tidak akan bertahan lama. Dia hanya mencari-cari alasan agar Vina yang mengajukan cerai," ujarnya dengan suara yang datar dan penuh keyakinan. Salina berpindah tempat menjadi lebih dekat, suaranya berbisik namun tajam penuh ketidakpercayaan. "Apa yang membuatmu begitu yakin, Vin? Mama dengar istrinya adalah pegawai di kantornya." Davina hanya mengangkat bahu dengan elegan. "Kita lihat saja nanti, Ma. Chandra akan kerepotan sendiri mengurus dua istri. Vina hanya perlu menunggu saja." "Apa mertuamu sudah mengetahui soal ini?" tanya Salina lagi, matanya masih menyala. "Sudah. Mereka masih terjebak di Surabaya. Mama Suci kaget, tapi Papa Surya sepertinya biasa saja mengetahui kabar putra kebanggaannya nikah lagi," balas Davina sambil memainkan sendok tehnya. Salina mendengus kesal. "Tidak heran. Ayahnya dulu memang dikenal hobi main perempuan. Sekarang anaknya pun mengikuti jejak yang sama." Davina menghela napas perlahan, menahan decakan yang hampir terlontar. "Sudahlah, Ma. Itu kan masa lalu, papa Surya sudah tidak seperti dulu lagi, kok." "Iya, masa lalu yang sekarang berulang dan menurun ke anaknya! Kamu bisa menuntutnya, Vin! Chandra menikah tanpa izinmu!" Davina menggeleng dengan tenang, namun matanya memancarkan keteguhan yang dingin. "Tidak perlu, Ma. Biarkan saja dulu. Vina tidak ingin mengusiknya sekarang. Vina hanya ingin melihat seberapa lama sandiwara pernikahan ini bisa bertahan." Dia menatap keluar jendela, senyum tipisnya kembali muncul, menyimpan seribu rencana yang hanya diketahui olehnya sendiri. Davina mengira percakapan telah usai. Dia sudah berbalik, jemarinya mulai meraih remote control televisi, ketika suara ibunya kembali memecah kesunyian ruangan, lebih berat dan penuh dengan emosi yang tertahan. "Mama cuma ... tidak terima," ucap Salina, suaranya tiba-tiba lebih kecil, namun getar kecewa dan marahnya terasa jelas. "Mama tidak terima melihat anak Mama dimadu seperti ini, Vin. Kenapa ... kenapa Chandra tega melakukan ini padamu?" Davina memejamkan mata sejenak, mengumpulkan kesabaran. Dia meletakkan remote itu perlahan sebelum menatap ibunya. Wajahnya berusaha tetap netral, mencoba menenangkan. "Ma, Vina sungguh tidak apa-apa," ujarnya, berusaha membuat suaranya terdengar meyakinkan. Dia meraih tangan ibunya yang dingin. "Vina kenal betul siapa Chandra. Ini cuma cara dia menggertak Vina, menunjukkan bahwa dia bisa melakukan hal yang dia mau dan sengaja mau buat Vina marah. Jadi, mama jangan terlalu khawatir. Percayalah, Vina bisa menangani rumah tangga Vina sendiri." Salina menarik tangannya perlahan. Dia tidak menjawab, hanya menghela napas panjng. Matanya memandang jauh, penuh dengan ketidakrelaan. Sebagai seorang ibu, mustahil baginya untuk menerima kenyataan ini. Di pikirannya, tidak ada satu pun ibu di dunia ini yang rela melihat anak perempuannya diduakan. Dia pikir Chandra adalah pria setia yang tidak akan mempermainkan pernikahan. Davina melihat ekspresi kekecewaan itu di wajah ibunya. "Mama harus percaya pada Vina. Oke?" pintanya sekali lagi, suaranya lembut namun mengandung penuh keyakinan di baliknya, sebuah permintaan yang sekaligus merupakan pernyataan bahwa dia memegang kendali. Salina akhirnya mengangguk pelan, bukan karena setuju, tapi karena lelah berdebat. Namun, keprihatinan itu masih membara di dadanya, tidak bisa begitu saja padam oleh kata-kata penenang putrinya. *** Naina duduk di kursi penumpang, jari-jarinya meremas lipatan dress sederhananya. Di sebelahnya Chandra menyetir dengan fokus, ekspresi wajahnya sulit dibaca. Lima belas menit berlalu dalam kesunyian yang hampir membuat Naina gila. Akhirnya, setelah menelan ludah, dia memecah kebisuan. "Bapak mau ajak saya ke mana?" "Kita mampir ke kantor pengacara saya dulu." Mata Naina langsung berbinar. Dadanya berdebar harap. "Jadi bapak mau membatalkan pernikahan kita?" serunya, hampir tidak percaya. Senyum lega mulai mengembang di wajahnya. "Terima kasih banyak, Pak! Saya benar-benar ... tidak menyangka." Namun, logikanya segera bekerja. "Tapi, urusan pembatalan pernikahan kan di pengadilan agama, ya? Apa bapak mau konsultasi hukum dulu?" Chandra meliriknya sejenak, lalu kembali fokus ke jalan. Ekspresinya sama sekali tidak berubah. "Kamu pikir saya mau ngapain?" "Mau ketemu pengacara bapak, kan?" ulang Naina, sedikit bingung. "Iya. Tapi bukan untuk yang kamu sebutkan tadi," jawabnya pendek, suaranya masih terdengar datar. "Lalu untuk apa?" tanya Naina lagi, dan kali ini nada suaranya sudah berubah. Nadanya melorot, bersamaan dengan harapannya yang pupus. Senyumnya menghilang. "Saya mau urus perjanjian pra-nikah kita. Ya, walaupun sebenarnya sudah telat." Naina memalingkan wajahnya ke jendela, menyembunyikan raut kecewa dan frustrasi yang mendadak menyergapnya. Di dalam hati, umpatan-umpatan tanpa suara meluncur deras. Pra-nikah? Di saat seperti ini? Pikirannya berputar, mencoba memahami logika pria di sampingnya yang sama sekali tidak bisa dia tebak. Mobil mewah itu meluncur mulus dan berhenti di depan sebuah bangunan minimalis tiga lantai yang megah. Papan nama besar "Mahendra Raespati & Partner" terpampang dengan huruf-huruf chrome yang berkilau understated. Saat mereka melewati pintu kaca otomatis, hawa dingin AC langsung menyambut, diiringi senyum sempurna dan sambutan ramah dari resepsionis yang sudah sepenuhnya terlatih. "Selamat siang, Pak Chandra. Selamat datang," sapanya dengan suara yang terjaga profesionalismenya, sebelum matanya berpindah sejenak ke Naina dengan rasa ingin tahu yang berusaha disembunyikan. "Silakan ikuti saya, Pak Mahendra sudah menunggu di ruangannya." Mereka diantar melalui koridor yang sunyi, hanya terdengar bunyi langkah kaki mereka di atas karpet tebal. Mahendra, seorang pengacara yang sudah memiliki nama besar itu, sudah berdiri di depan pintu ruangannya, menyambut dengan jabatan tangan yang kuat pada Chandra dan anggukan hormat pada Naina. "Selamat siang, Pak Chandra. Dan ... selamat datang, Naina," ucapnya, hampir menyebut 'Ibu' tapi mengurungkannya, memilih untuk menggunakan nama depannya saja. "Silakan masuk. Dokumen yang Anda minta sudah siap." Chandra langsung duduk di salah satu sofa kulit empuk, sikapnya familiar dan percaya diri. Naina duduk di ujung yang sama, menjaga jarak beberapa sentimeter, tangannya terlipat rapi di atas pangkuannya. Mahendra mengulurkan tiga helai kertas yang masih segar dari printer. Chandra menerimanya lebih dulu. Matanya menyapu setiap klausul dengan cepat dan cermat, seolah mencari satu kesalahan dari ribuan kata yang ada di dalam kertas tersebut. Setelah mengangguk singkat pada Mahendra sebagai tanda persetujuan, barulah dia menyerahkan dokumen itu kepada Naina. "Silakan dibaca," ujarnya, singkat. Naina menerima kertas-kertas itu. Jari-jemarinya terasa dingin. Setiap baris yang dibacanya seakan makin memberatkan udara di ruangan ber-AC itu. Napasnya tersekat saat sampai pada poin yang menyatakan bahwa hanya Chandra yang berhak penuh untuk mengakhiri pernikahan ini, dan bahwa dia tidak akan mendapatkan apa-apa—baik harta maupun hak—jika perceraian terjadi. Darahnya serasa membeku. Dengan usaha untuk tetap terlihat tenang, dia meletakkan kembali dokumen itu di atas meja kayu mahogany yang mengilat. Bunyinya hampir tidak terdengar, tapi terasa seperti pukulan gong dalam keheningan ruangan tersebut. Chandra dan Mahendra saling memandang. Sebuah look cepat yang penuh makna, sebuah pengertian bisu antara dua pria yang menguasai situasi. Chandra memandangnya, tatapannya cukup dingin dan mengintimidasi. "Kamu sudah membacanya?" Suaranya masih terdengar datar. Naina menoleh. Matanya, yang biasanya tunduk, kini berani menatap langsung pada pria yang berstatus sebagai suami sahnya. "Pernikahan ini ... Saya tidak pernah memintanya," ucapnya, suaranya bergetar halus namun penuh keyakinan. "Papa saya yang mengeluarkan segala biaya, yang menyelenggarakan semua ini. Atas dasar apa ... Bapak seenaknya membuat perjanjian yang hanya menguntungkan satu pihak dan sangat ... Sangat merugikan saya?" tanyanya sambil menunjuk dokumen di atas meja seolah itu adalah benda najis yang haram disentuh. Chandra menyandar lebih dalam ke sofa, lengannya terlipat. "Jadi, maksudmu, saya tidak berhak membuat perjanjian ini?" tanyanya, nada suaranya mulai meningkat sedikit, menantang. "Ya!" sergah Naina cepat, suaranya kini lebih lantang, didorong oleh rasa frustrasi. "Saya yang seharusnya lebih berhak! Ini adalah pernikahan saya! Dan Bapak ... Bapak sama sekali tidak memiliki hak untuk menentukan segalanya seperti ini!" Ruangan hening sejenak. Chandra menghela napas pendek, lalu condong ke depan. Sorot matanya tajam dan dingin. Di depannya Mahendra masih menyimak perdebatan pasangan pengantin baru itu. Dia masih belum bisa menengahi, masih harus mencari celah. "Tanpa saya," desisnya, pelan namun setiap katanya terasa seperti pukulan, "keluargamu mungkin masih bisa bertahan dari masalah finansial. Tapi tanpa saya yang berdiri di pelaminan menggantikan calon suamimu yang kabur itu, harga diri keluargamu ... Itu yang sudah hancur berantakan dan tidak akan bisa dibeli dengan harga berapapun." Dia berhenti sejenak, memastikan kata-katanya menyayat dalam. "Jadi, jangan bicara tentang hak seolah-olah kamu yang paling berkorban di sini, Naina." Naina menelan ludah. Rasa pahitnya bukan hanya di kerongkongannya, tapi merambat sampai ke dalam dadanya. Di hadapan keteguhan dan logika dingin Chandra, semua argumentasinya terasa seperti tembakan peluru kertas. Pria itu memang tak terkalahkan, dan aura wibawanya mengintimidasi setiap sudut jiwa Naina yang sedang bergetar. Chandra mengulurkan sebuah pulpen mewah. Matanya menatap Naina tanpa sedikit pun keraguan. "Tanda tangani. Sekarang." Suaranya rendah, tapi berisi perintah yang tidak boleh dibantah. Jemari Naina gemetar menjangkau pulpen itu. Dia menatap garis-garis tanda tangan yang masih kosong di atas kertas perjanjian, hancur oleh ketidakberdayaan. Dengan napas tersendat dan hati yang terasa diremas, ujung pulpen itu akhirnya menyentuh kertas. Tetesan tinta hitam pun mulai membasahi permukaannya, seperti titik awal dari sebuah keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Sebuah pertanyaan terakhir melintas di benaknya—apakah ini adalah penyelamatan, atau justru awal dari sebuah penjara baru yang lebih megah?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN