10. Kalila demam

1073 Kata
"Kalila!" Kedua mata Venus terbuka lebar, saat Dokter Rima menghipnotisnya. Entah mengapa bayangan gadis kecil itu muncul saat Venus merasa begitu ketakutan. "Tenang, tarik nafas perlahan." Tepukan lembut terasa begitu hangat menjalar hingga ke seluruh tubuhnya. "Tenang. Kamu harus bisa mengontrol emosimu." Ucap Dokter Rima. Suaranya mengalun merdu, yang membuat Venus secara perlahan kembali tenang. "Sudah lebih baik?" Tanya Rima. Perlahan Venus menganggukan kepalanya. "Kalau begitu sekarang keluarkan apa yang ingin kamu katakan. Yang selama ini tertahan dalam diri kamu. Satu, dua, tiga!" Venus kembali berada dalam pengaruh hipnotis, salah satu cara agar ia bisa mengeluarkan segala bentuk emosi yang tertahan dalam hatinya. Venus tidak bisa mengontrol emosi dan cenderung memendamnya sendiri, salah satu cara untuk mengatasinya yakni dengan mengunjungi Dokter psikiater. Beruntung Venus menemukan Riam, Dokter yang berhasil membuatnya sembuh secara perlahan. Rima memang ikut andil dalam kesembuhan Venus, meski tidak semuanya karena jasa Rima, ada juga bantuan Selvi dan keluarganya. "Keluarkan apa yang membuatmu merasa tidak nyaman, kesal dan marah." Ucap Rima secara perlahan. "Aku membencinya, sangat!" Ucap Venus dengan kedua mata tertutup. "Dia menghancurkan hidupku! Membuat kedua orang tuaku meninggal dan bayiku. Kalila!" Tiba-tiba Venus kembali terjaga, bahkan sampai terduduk. "Vee," Rima tetap tenang, salah satu aura tenang yang dimilikinya membuat Venus ikut merasa tenang. "Aku sering memikirkan Kalila, entah dalam keadaan apapun aku selalu memikirkannya." Ucap Venus sambil mengusap wajahnya. "Kondisi kamu secara perlahan sudah menunjukan kemajuan. Kamu tidak sesakit dulu," Rima memberikan teh hangat untuk Venus. "Kamu hanya perlu sedikit lagi berdamai dengan hatimu. Maafkan dan lupakan. Selama tiga tahun ini kamu berhasil memenangkan hatimu bukan?" Venus menganggukan kepalanya. Selama ini ia berusaha hidup dengan baik, tanpa memikirkan dendam dan sakit hati yang dirasakannya, tapi saat lelaki itu kembali Venus justru merasa dunianya kembali terancam. "Dia kembali." Lirihnya pelan sambil menoleh dengan tatapan sedih. "Aku tidak bisa mengendalikan diriku saat berdekatan dengannya. Rasanya sangat sulit," Venus menutup wajah dengan kedua tangannya. "Selama ini aku hidup dengan tenang, tapi saat dia kembali aku merasa terancam dan emosi itu kembali muncul." Rima tersenyum lembut. "Artinya masalahmu dengannya belum benar-benar selesai. Hatimu berontak saat melihat kehadirannya, artinya permasalahan yang kalian belum selesai. Coba tetap tenang dan dalam satu momen kamu bisa mengungkapkan apapun. Segalanya!" "Tapi aku sangat membencinya! Sangat!" "Semakin kamu membencinya, semakin sulit luka itu untuk sembuh. Percayalah." Venus tidak yakin, sebab kebencian itu sudah terlalu dalam menguasai hatinya hingga ia tidak bisa mengendalikan perasaannya. Usai menjalani pengobatan, Venus memutuskan untuk pulang. Tapi sebelum itu ia berencana untuk menemui Rei. Perutnya terasa perih akibat melewatkan jam makan siang dan saat ini waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam. Sudah waktunya makan malam. "Vee, baru pulang kantor?" Tanya Rei saat mendapati Venus datang ke cafe miliknya di jam yang tidak biasa. "Baru pulang berobat." Balas Venus. Ia memilih meja yang letaknya dekat jendela besar hingga ia bisa melihat pemandangan kota di malam hari. "Sakit?" "Aku memang sakit, Rei." Venus pernah menceritakan sedikit tentang kondisinya pada Rei. Tentang gangguan mental yang dialaminya. "Bagaimana keadaanmu sekarang?" Alih-alih menawarkan menu, Rei justru memilih duduk bersama Venus dan meminta salah satu pelayan untuk membawakan minuman dan juga makanan untuk Venus. "Sudah lebih baik." Venus menghela. "Hanya sedikit kumat." Ia meringis pelan. "Karena Regan?" Venus mengangkat bahu. "Entahlah, aku tidak tahu pasti. Mungkin bukan sepenuhnya kesalahan dia, hanya saja hatiku yang belum bisa memaafkannya." Venus sadar, bahwa kekhawatiran dan ketakutan yang dirasakannya selama ini karena ia masih membenci Regan. Besarnya rasa kecewa yang dirasakan Venus membuatnya kesulitan untuk mengendalikan diri. "Besarnya kebencian yang kamu rasakan, sama besarnya dengan rasa cinta yang kamu miliki untuknya." "Jadi menurutmu aku masih mencintainya? Ayolah Rei, jangan membuat suasana hatiku semakin buruk hanya karena analisamu yang tidak beralasan itu!" Venus selalu merasa kesal saat Rei mengatakan bahwa ia masih mencintai Regan. Dia membenci Regan, bukan mencintainya! "Aku juga tidak mau berdebat denganmu, Vee. Tapi faktanya kamu memang masih mencintai Regan." Venus menghela lemah sekaligus menatap kesal ke arah Regan. "Jangan marah. Habiskan makananmu dan setelah itu baru boleh pergi." Ucap Rei sambil tersenyum. Kali ini Venus tidak bisa marah dan pergi seperti biasanya, ia menghabiskan makanannya seperti yang diucapkan Rei. "Mau aku antar pulang? Kebetulan aku harus pulang lebih awal, ada acara keluarga." Venus tidak punya alasan untuk menolak, akhirnya ia pun menerima tawaran Rei. Jika saja hubungannya dan Regan masih berjalan baik sampai hari ini, tentu saja Venus akan menghadiri acara yang dimaksud Rei barusan. Memiliki keluarga besar yang begitu menyayanginya adalah impian Venus. Selama menikah, Venus merasakan bagaimana kasih sayang dari keluarga Regan meskipun Venus tidak yakin apakah mereka tulus menyayanginya atau hanya sekedar kasihan. Tapi Venus bahagia kala itu. "Bagaimana kabar Oma Lidia?" Tanya Venus dengan sangat hati-hati. "Baik, Oma masih sama seperti dulu." "Masih hobi masak?" "Masih. Terkadang dia kasih ide menu makanan baru untuk Cafe. Ya,, meski meni yang Oma tawarkan lebih ke menu tradisional yang nggak nyambung dengan konsep cafe modern milikku." Venus tersenyum samar, saat mengingat Oma hal yang paling diingatnya adalah kebaikan dan ketulusan Oma. Oma adalah salah satu orang yang paling bersikeras menolak perceraian Venus dan Regan. Berulang kali Oma meminta dan memohon Venus untuk mengurungkan niatnya, tapi Venus tetap memilih berpisah. "Aku suka mie godog jawa buatan Oma. Enak dan ngangenin rasanya." "Gimana kalau kita ajak Oma ke cafe dan buat mie godog jawa? Siapa tau bisa jadi menu baru, meski tabrak konsep." Venus menggelengkan kepalanya, menolak usul Rei. "Nggak usah," "Kenapa? Kamu bilang kangen masakan Oma." "Cuman kangen aja, untuk kembali terlibat aku tidak mau." Bertemu Oma adalah salah satu hal yang dihindari Venus selama ini. Bukan karena mereka tidak berhubungan baik setelah Venus tidak lagi menyandang gelar cucu menantu, tapi karena Venus selalu kesulitan mengendalikan perasaannya apalagi dengan sikap baik dan hangat yang dimiliki Oma. Untuk beberapa saat keduanya saling terdiam, hingga akhirnya ponsel Venus berbunyi dimana nama Selvi muncul di layar ponselnya. "Iya, Vi kenapa?" "Kamu dimana? Udah pulang belom?" Tanya Selvi dari seberang sana. "Masih di jalan. Kenapa?" "Boleh minta belikan obat turun panas, Kalila tiba-tiba demam." "Demam? Oke kalau gitu, aku ke apotik dulu setelah itu langsung ke rumahmu." Panggilan segera terputus dan Venus mulai kembali dilanda panik. "Bisa antarkan aku ke apotik? Aku harus beli obat untuk Kalila." "Boleh." Rei memutar balik tujuan mencari apotik terdekat, lalu menuju kediaman Selvi. "Kalila anaknya Selvi dan Ahnaf?" Tanya Rei lagi saat mereka dalam perjalanan menuju rumah Selvi. "Iya. Tapi aku sudah menganggap Kalila seperti putriku sendiri." "Tapi, makin dewasa Kalila justru semakin mirip Regan. Apa hanya perasaanku saja?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN