"Kurang ajar!" ujarku dengan emosi, suaraku bergetar karena marah. "Jadi, mereka mengira aku mandul!"
Sam tiba-tiba memegang tanganku dengan lembut, mencoba menenangkanku. Aku melihat ekspresi simpatik di wajahnya, dan aku sedikit lebih tenang.
"Aku tahu kamu marah, Alesya," katanya dengan nada yang lembut. "Tapi, kamu tidak boleh membiarkan mereka menghancurkanmu. Kamu lebih baik dari itu."
Aku menatap Sam, mencoba menahan air mata yang ingin keluar. Aku merasa seperti korban penipuan, dan aku sampai rela meminum obat setiap hari agar cepat hamil sampai tubuhku gemuk. Aku juga selama tiga tahun rela mengabdi mengurus semua keluarga Mas Hanz.
"Kamu tidak sendirian, Alesya," kata Sam, memegang tanganku lebih erat. Aku merasakan kehangatan dari tangannya. "Aku ada di sini, dan aku akan membantu membalaskan dendam kamu."
Aku menatap Sam, melihat kesungguhan di matanya, dan aku percaya dia benar-benar ingin membantuku.
Walau kami baru bertemu, aku merasa sudah mengenalnya lama. Aku tidak tahu apa yang membuatku merasa begitu nyaman dengan Sam.
Aku mengangguk perlahan. "Terima kasih, Sam," kataku, suaraku hampir berbisik.
Sam tersenyum, dan aku melihat sedikit kelegaan di wajahnya. "Tidak perlu berterima kasih, Alesya. Sekarang kita pulang." Sam menjalankan mobilnya keluar dari parkiran pusat perbelanjaan, dan kami kembali ke villa.
Di sepanjang jalan, aku melihat pemandangan kebun teh yang sangat luas dan indah. Aku menikmati pemandangan alam yang hijau dan segar, sambil mendengarkan musik lembut yang diputar oleh Sam.
Satu jam perjalanan berlalu begitu cepat, dan kami sudah tiba di villa Sam. Tidak ada lagi villa-villa lain karena Sam membangun villa di tengah hutan.
Setelah sampai, Sam membawa semua barang belanjaan ke dalam villa. Aku membantu membawanya, dan pemandangan villa sangat indah saat siang hari, tapi jika malam hari menyeramkan.
Di dalam villa, pria itu menata semua belanja seperti sayur, buah, daging ke dalam lemari pendingin yang sangat besar. Dapur juga sangat rapi, dengan peralatan masak yang lengkap. Seakan villa ini untuk tinggal menetap.
Aku duduk di kursi mini bar, sambil memandang sekeliling villa. Aku merasa penasaran, siapa sebenarnya Sam?
"Sam, sebenarnya kamu siapa?" tanyaku, mencoba menutupi rasa penasaran.
Sam menghentikan aktifitas menata sayuran ke dalam lemari pendingin, lalu berbalik melihat kearahku. "Kenapa kamu bertanya seperti itu?" tanyanya, dengan ekspresi santai.
"Apa aku tidak boleh tahu siapa kamu?" aku mencoba menekan rasa penasaran.
"Nanti kamu akan tahu setelah kamu menjadi Aluna," jawabnya dengan singkat, sambil tersenyum misterius. "Alesya, sebaiknya kamu bersiap. Kita akan mulai berolahraga," tambahnya lalu kembali menata sayuran.
Aku menghela napas berat, lalu turun dari kursi. Aku mengambil paperbag berisi baju-bajuku, dan melangkah ke kamar untuk berganti baju. Selesai berganti baju, aku keluar dan melihat Sam juga sudah memakai baju olah raga, membuat seluruh tubuhnya terekspos begitu sempurna.
Otot-otot lengannya yang kokoh dan berotot, d**a yang bidang dan sixpack terlihat jelas dibalik baju ketatnya, serta kaki yang kuat dan berotot, membuatku tidak bisa mengalihkan pandangan. Aku merasa sedikit gugup, saat dia juga menatapku sambil tersenyum. Apakah dia tahu aku sedang mengagguminya?
"Kita mulai, Alesya," katanya, sambil berjalan kearah lapangan tenis di belakang villa.
Aku mengangguk, dan mengikuti Sam ke lapangan.
"Kita mulai dengan lari," kata Sam, sambil mulai berlari.
Aku mengikuti Sam, dan mulai berlari. Baru satu putaran aku merasa lelah, napasku pendek-pendek, dan aku mulai ngos-ngosan, keringat sudah membanjiri seluruh tubuh dan wajahku.
"Huff... huff...," aku mencoba mengatur napas, tapi tidak bisa.
Sam berlari di depanku, dan aku melihat dia tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan sama sekali. Aku merasa frustrasi, karena aku tidak bisa mengikuti langkahnya.
Tiba-tiba, Sam berhenti berlari dan menoleh ke arahku. "Alesya, kamu baik-baik saja?" tanyanya, sambil melihatku dengan ekspresi kasihan.
Aku mencoba mengangguk, tapi napasku masih pendek-pendek. "Huff... huff... aku... aku baik-baik saja," kataku, sambil mencoba mengatur napas.
Sam berlari ke pinggir lapangan mengambil air mineral di dalam botol, lalu kembali kearahku. "Minum dulu." Dia memberikan air mineral ke tanganku. Aku meneguk sampai habis air mineral dengan cepat.
"Sam, aku tidak kuat," kataku, napasku masih ngos-ngosan.
"Alesya, wajar kamu baru pertama olah raga. Kalau sudah terbiasa tidak akan lelah," katanya terus menyemangatiku. Aku mengangguk setuju, aku baru sadar tubuhku sudah seberat ini.
Sepuluh menit beristirahat, kami kembali berlari keliling lapangan. Baru setengah putaran, aku sudah tidak kuat. Aku terduduk lemas.
"Sam, aku sudah tidak kuat," keluhku.
Sam di depanku, berbalik badan menghampiriku.
"Alesya, ayo berdiri. Kamu harus berlari, ingat kamu mau kurus untuk membalas orang-orang yang menyakiti kamu," ucapnya membakar semangat.
Aku kembali teringat saat Mas Hanz dan Sarah mengejekku gendut. Seketika semangatku berkobar, Mas Hanz dan Sarah tidak bisa lagi menghinaku saat tubuhku kembali langsing seperti dulu.
Aku kembali berdiri dengan susah payah, Sam membantu menarik tanganku karena aku sedikit kesusahan untuk bangun. Saat aku berdiri, tubuhku yang berat tidak sengaja menarik Sam ke arahku, dan kami berdua jatuh.
"Ahh!" aku tertawa karena tidak bisa menahan diri. Sam juga tertawa, dan kami berdua jatuh dengan tubuh yang berdekatan.
Sam tersenyum, dan aku melihat wajahnya yang tampan. "Maaf, Alesya," katanya, sambil mencoba bangun.
Aku juga tersenyum, dan mencoba bangun. "Tidak apa-apa, Sam. Aku yang berat, wajar tadi kamu susah membantuku berdiri," kataku, sambil tertawa.
Sam membantu aku berdiri, dan kami berdua kembali ke lapangan. Aku merasa sedikit lebih baik, dan kami kembali berlari. Aku terus mengingat perkataan Mas Hanz yang menyebutku gendut. Sampai tanpa sadar aku sudah memutari lapangan beberapa kali.
"Alesya, sudah kita istirahat dulu," panggil Sam dipinggir lapangan. Aku mendekati Sam, lalu duduk sambil merentangkan kedua kakiku yang sudah sakit. Aku sebenarnya sangat lelah, tapi aku juga puas karena aku bisa berlari beberapa putaran.
"Larinya sudah dulu, aku akan membuatkan jus buah dan memasak menu diet untuk kamu," katanya, sambil tersenyum lembut.
Aku melihat wajahnya yang tampan, dan aku tiba-tiba membuatku gugup.
"Sam, aku bantu ya," kataku, sambil mencoba berdiri. Aku tidak enak Sam terus melayaniku, aku juga harus bisa mandiri.
Sam mencubit pipiku dengan gemas, membuatku tersentak. Jantungku berdegup kencang, dan aku merasa seluruh tubuhku memanas. "Ok, kamu istirahat saja. Nanti kalau aku masak kamu bisa membantu," katanya, sambil tersenyum.
Aku tidak mengerti, mengapa aku merasa deg-degan saat Sam mencubit pipiku? Apakah aku memiliki perasaan pada Sam? Aku mencoba mengabaikan perasaan itu, dan memandang sekeliling lapangan.
Sam lalu masuk ke dalam villa, meninggalkan aku sendirian di lapangan. Aku duduk kembali, sambil mencoba mengatur napas.
Tidak lama Sam keluar dari villa, membawa dua gelas jus buah. "Alesya, minum dulu," katanya, sambil tersenyum. Aku mengambil gelas jus buah, dan meminumnya. Aku merasa segar kembali, dan aku tersenyum pada Sam.
"Terima kasih, Sam," ucapku dengan tulus. Jus buah sudah habis, aku dan Sam kembali ke dalam Villa. Sebelum memasak aku membersihkan diri terlebih dahulu.
Selesai membersihkan diri, aku menghampiri Sam yang sudah berada di dapur. Di lehernya sudah terlilit apron, membuatnya terlihat makin keren. Jarang ada pria tampan yang mau terjun ke dapur untuk memasak. Aluna beruntung memiliki suami seperti Sam. Seandainya saja Mas Hanz seperti Sam, mungkin aku wanita paling beruntung.
"Hai, kenapa diam saja disitu? Katanya mau membantu memasak," panggil Sam membuatku tersentak dari lamunan. Aku tersenyum malu, lalu menghampiri Sam.
Pria itu mengambil sesuatu dari dalam laci, kemudian dia memasangkan apron ke tubuhku. "Biar tidak kotor bajunya," katanya, suaranya seakan nyanyian di surga.
Aku merasa sedikit gugup, saat Sam memasangkan apron ke tubuhku. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat di dekat kulitku, membuatku merasa sedikit panas.
"Terima kasih, Sam," kataku, sambil tersenyum.
Sam tersenyum kembali, lalu memberikan aku sebuah pisau. "Kamu bisa memotong sayuran, aku yang memasak," katanya.
Aku mengangguk, lalu mulai memotong sayuran. Aku merasakan kehangatan dan kebersamaan, yang membuatku merasa seperti di rumah sendiri. Aku melihat Sam memasak seperti seorang chef, tangannya sangat lincah membolak-balikkan masakannya. Aku yang seorang wanita saja, cara memasaknya tidak cepat seperti dia. Aku semakin kagum dengan Sam, selain tampan, lembut, dia juga jago memasak.
"Sudah, matang," ucapnya. Lalu, menaruh masakannya di atas piring dan menghiasinya dengan gaya platting yang elegan, seperti di restoran mewah. Aku melihat, Sam menambahkan beberapa lembar daun selada, irisan tomat, dan sedikit saus yang diatur dengan rapi di atas piring.
"Wah, keren," pujiku sambil memandangi masakan Sam, karena dia menghias dengan indah. Rasanya sayang sekali untuk dimakan.
Aku merasa heran, bagaimana Sam bisa memasak dengan begitu sempurna? Aku ingin mencicipi masakannya, tapi aku tidak ingin merusak keindahan piring.
"Sam, masakanmu terlihat sangat lezat," kataku, sambil mencoba menahan diri untuk tidak langsung mencicipi.
Sam tersenyum, lalu mengambil piring dan membawanya ke meja makan. "Alesya, mari kita makan," katanya, sambil menarik kursi untukku.