“What?” Wahda tertawa. “Tolong bilang sekali lagi!” tukas Wahda setengah tidak percaya.
Damar yang duduk di samping Wahda, menunduk. Pria itu memainkan telapak tangannya. Gelisah.
“Aku sudah menikahi adikmu. Maaf.”
“Bener-bener gila kalian semua.”
“Orang tuamu menceritakan semua yang terjadi pada Wirda. Aku juga yang ikut mengantar ke rumah sakit. Sesaat setelah Wirda dibawa ke rumah sakit karena sempat meminum cairan pembersih lantai, dia terlihat lemas dan terus muntah. Setelah agak mendingan, dia melepas paksa jarum infus. Darah segar keluar dari punggung tangannya. Banyak banget. Dia terus mengamuk, menangis. Saat itulah, aku menjanjikan tanggung jawab dan pernikahan padanya. Awalnya dia menolak, tapi akhirnya pasrah setelah bapak ibumu ikut membujuk. Esok paginya, kami menikah di bawah tangan. Maaf, Wa.”
Wahda hanya bisa menatap Damar dengan mata sendu. Kenyataan apa lagi ini?
“Kamu bohong, Mar. Aku yakin kalian sudah berhubungan jauh sebelum ini.”
“Demi Allah enggak!” Damar melihat kedalaman mata Wahda. “Selama ini aku setia sama kamu, Wa.”
“Bulsyit! Setia seperti ini yang kamu maksud? Diam-diam menikah dengan adikku? Kalian sering bertemu, kan? Aku ada bukti fotonya dari Hana!”
“Kamu salah paham. Foto apa pun itu saat nggak sengaja kami bertemu. Dia bingung mau cerita sama siapa tentang musibahnya, akhirnya cerita padaku. Jadi, sebelum orang tuamu bicara, sebenernya Wirda sudah cerita.”
“Kan, kan? Ngaku aja! Kalian selingkuh di belakangku!”
“Demi Allah enggak, Wahda! Aku hanya berniat membantu adikmu!”
“Dengan cara menikahinya? Hatimu lembut banget? Luar biasa. Kamu memang pria super baik.” Wahda terpingkal-pingkal. Padahal hatinya sebenarnya dongkol.
“Aku berencana mendatangimu ke Jakarta untuk memberi tahu semuanya, tapi kamu sudah lebih dulu pulang.”
“Wah, wah! Enteng banget kayaknya kalian semua merancang drama luar biasa ini. Aku ini siapa, sih? Makhluk astral kali ya? Sampai-sampai nggak ada yang mengabariku, nggak ada yang memberi tahuku! Aku kalian bod0hi seenaknya! Kamu, Wirda, Bapak, Ibu! Semua sama saja! Sakit tahu nggak!” Air mata Wahda menitik. Da*danya bergemuruh hebat, napasnya naik turun. Ia merasa, seluruh orang terdekat berniat memb0dohinya.
“Bukan begitu. Kami nggak mau kamu–“
“Kepikiran?” potong Wahda cepat. “Dan kalau udah tahu semua ini, justru pikiranku tambah rumit gara-gara kalian. Mar, kita kenal berapa lama, sih? Kayaknya aku nggak kenal sama sekali sama kamu sekarang. Apa kedekatan tahunan sejak kita piyik itu nggak ada artinya sama sekali? Apa tunangan kita itu kamu nggak serius? Tega-teganya kamu berbuat sekejam ini sama aku, menghianatiku dengan adiku. Adik kandungku!” Wahda mendongak, berharap air matanya tidak lagi tumpah. Nyatanya sia-sia. Genangan air matanya tetap terjun bebas.
“Wahda, bukan gitu. Aku serius sayang dan cinta sama kamu. Tapi rasanya mau bilang ke kamu itu berat. Tolong posisikan di posisiku, posisi Wirda, juga orang tuamu. Kalau kamu jadi aku, aku harus apa?”
“Kalau aku jadi kamu, pasti akan mengabariku sepahit apa pun kabar itu. Bukan malah menyembunyikannya. Dan aku nggak akan bertanggung jawab atas apa yang nggak kulakukan.”
“Sudah. Aku sudah berusaha buat nggak ikut campur masalah adikmu. Tapi lihat, ujungnya dia mencoba bunvh diri. Aku dilema, bingung.”
Wahda menghirup napas panjang, lalu mengeluarkannya pelan. “Apa pun itu, yang pasti kalian semua sudah bersekongkol. Kalian merasa seolah-olah korban, padahal penjahat sesungguhnya.”
“Aku yang jahat. Jangan salahkan–“
“Wah, wah. Membela Wirda dan orang tuaku sekarang? Awalnya aku kasihan dan prihatin sama Wirda. Tapi makin ke sini, aku makin iri karena semua orang membelanya. Dan makin curiga kalo sebenernya bayi yang dikandung Wirda itu anakmu.”
“Wahda!”
“Apa? Kamu marah? Merasa difitnah?”
“Ck!” Damar meremas kuat rambutnya. Pria berkacamata itu berdecak lirih. “Itu bukan anakku. Tolong mengertilah.”
“Dari dulu aku yang harus ngerti? Mar, aku kerja juga buat biaya nikah kita. Aku harus ngerti kamu belum mau nikah karena masih ngejar PNS dan gagalnya kamu untuk ngejar gelar itu selama dua tahun ini, aku harus ngerti karena kita harus punya rumah dulu baru nikah. Aku ngertiin itu semua! Tapi apa balasanmu? Pengkhianatan. Apa mungkin kamu tega melakukan ini karena nggak bisa lagi LDR sama aku dan memilih Wirda? Harusnya kamu ngomong!”
“Bukan, bukan seperti itu, Wahda.”
“Dan kenapa harus kamu yang tanggung jawab, hah? Nggak ada pria lain?”
“Aku melakukan ini hanya karena ingin menolong adikmu. Nggak lebih. Untuk masalah cinta, percayalah hanya kamu.”
“Hah, omong kosong!”
Keduanya lalu terdiam cukup lama sampai Wahda memecah keheningan. “Baiklah, Adik Ipar. Selamat atas pernikahanmu dan adikku.”
“Wa ....”
“Ini, kan, yang kalian mau? Aku harus mengalah, harus mengerti. Oke, aku lakukan. Ibu, bapak, adik, kamu, sama saja. Berbahagialah kalian. Tapi ingat, suatu saat kamu akan merasakan rasa sakit yang sama seperti yang kurasakan.”
“Wahda ....”
Wahda melepas cincin pertunangan yang sudah dua tahun terpasang di jari manisnya. Air matanya terus jatuh membasah.
“Mar, mungkin kita terlalu lama menunda pernikahan. Makanya gagal. Dulu, kamu mengikatku dulu. Katanya nggak mau kehilangan. Tapi nikahnya nunggu kamu PNS. Aku turuti, aku nyoba ngerti sambil aku juga kerja. Tapi ternyata ini ujung dari semua yang kulakukan. Ejekan perawan tua dari tetangga juga aku terima. Semua demi kamu. Tapi ini yang kudapat darimu. Dan aku baru sadar kenapa kamu sampai memeluk Wirda. Ternyata dia istrimu.”
Wanita itu meletakkan cincin pada bangku tempat mereka duduk. “Sungguh, permainan kalian semua luar biasa. Untuk kesekian kali, aku harus mengalah demi ego kalian semua. Meski aku tetap melakukannya, kali ini demi Allah aku nggak rela kalian sakiti kayak gini.”
Usai mengatakan itu, Wirda bangkit dan segera berderap meninggalkan Damar.
“Wahda tunggu!”
Wahda mengibaskan tangan tanpa menoleh. Air matanya tidak bisa dibendung. Ia berjalan cepat, mendekati ojek pangkalan dan lekas naik di salah satu motor. Wanita itu juga masih sempat mengirim pesan pada Hana karena belum bisa bertemu.
**
Saat pulang, tetap tidak ada orang di rumah. Wahda mengambil satu sepeda motor, mengendarainya dengan pikiran kalut. Perut yang belum terisi, pikiran yang kusut, membuatnya seperti kesetanan di jalanan. Ia terus menangis, berharap ada yang menabrak sampai ia meninggal. Wanita itu berkendara tak tentu arah.
Sampai pada akhirnya, Wahda sedikit waras. Meskipun keluarga dan tunangan bertindak tidak adil, setidaknya masih ada rekan kerja yang sangat peduli padanya.
Wahda memelankan laju sepeda motor. Bibirnya bergetar, tangisnya masih bertahan. Tiba-tiba suara benturan keras terdengar dari belakang, lalu ia merasa melayang. Terakhir terjatuh di aspal. Lalu disusul suara benturan lebih keras lagi.
Pikiran yang baru saja diinginkan, terwujud. Ia mengalami kecelakaan.
Suara istigfar, takbir, dan suara mencekam lainnya masih bisa didengar Wahda.
“Kecelakaan! Kecelakaan!” Suara itu juga masih terdengar sayup-sayup.
“Allah, Allah.” Wahda merasa lemas, tergeletak di aspal. Kemudian, ia tidak sadarkan diri.