Pelan, Wahda membuka mata. Ia mengerjap. Ruang berplafon putih menjadi pemandangan yang terlihat pertama kali. Wanita itu sedikit menyipitkan mata saat lampu menyorot di atasnya. Ia masih belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Wanita itu mendesis saat merasakan tubuhnya terasa sakit semua.
“Allah ....” Wahda bergumam lirih.
“Kamu sudah bangun?” Suara bariton terdengar.
Wahda menoleh. Wajah tegas dan dingin yang ditampilkan pria itu tidak asing baginya. Namun, ia belum mau berpikir keras untuk mengingat.
“Sa-saya di mana?”
“Rumah sakit. Kamu habis kecelakaan.”
“Apa saya sudah lama di sini?”
Pria itu menggeleng. “Baru.”
Wahda terdiam. Lamat-lamat, ia ingat apa yang terakhir terjadi. Sebuah dorongan keras terasa dari belakang, lalu ia jatuh dari sepeda motor dan berakhir terjungkal di aspal.
“Tolong jangan hubungi keluarga saya. Apa masalah ini sudah ditangani kepolisian?”
“Kenapa?” tanya pria itu balik.
Ponsel di saku pria itu berdering. Ia lantas keluar.
Wahda kini sendiri, sesenggukan. “Harusnya tadi gue mati saja. Nggak ada yang peduli sama gue, kan? Kenapa harus selamat?”
Beberapa saat kemudian, pria tadi kembali. Wahda melengos, lalu menghapus kasar air matanya.
“Apa kamu tahu siapa yang menabrakmu tadi?”
Wahda menggeleng, masih membuang muka.
“Tunangan saya. Dia meninggal. Harusnya kami menikah dua minggu lagi. Gara-gara kamu, dia meninggal. Kamu harus tanggung jawab.”
“Maksudnya?” Sontak Wahda menatap pria itu tajam.
“Saya akan tetap menikah. Gantikan dia sebagai pengantin wanitanya.”
Wahda tertawa miris di sela-sela tangis. Sepertinya, ada saja hal yang membuatnya syok akhir-akhir ini. “Gila apa?”
Pria yang memiliki wajah bule itu hanya mengangkat sedikit bibirnya.
“Sekarang saya ingat. Kamu salah satu pelanggan yang pernah saya layani di Griya Style milik Bu Diana. Kita bertemu sekitar dua kali. Berniat nge-prank saya? Maaf, nggak ngaruh.”
“Tas berisi barang penting sekaligus ponselmu ada di saya. Akan saya bawa sebagai jaminan. Saya akan menuruti kemauanmu untuk tidak menghubungi keluargamu asal kamu juga nurut sama saya.”
“Kamu itu mikirnya apa, sih? Saya lagi kesakitan, tapi malah menekan saya kayak gini. Bicara melantur pula. Kamu sehat?”
Wahda benar-benar muak. Hidupnya terasa makin kacau.
“Tunangan saya meninggal. Akan saya urus dia dulu. Urusan kita menyusul. Dan satu lagi. Bisa jadi orang tua tunangan saya tidak terima atas kematian anaknya gara-gara kamu. Siap-siap dituntut. Tapi kalau kamu menurut, kamu aman sama saya.”
Tanpa pamit, pria itu segera meninggalkan Wahda.
“Dia yang salah! Yang nabrak saya! Kenapa saya harus tanggung jawab! Haaah! Gue pengen m4ti aja sekalian!” Wahda berteriak saking kesalnya. Justru tubuhnya terasa remuk semua.
Beberapa perawat datang mendekat. “Jangan terlalu banyak gerak dan teriak dulu, Bu. Nanti cederanya tambah parah.”
Napas Wahda masih terengah-engah karena masih marah. Sekujur tubuh juga terasa remuk redam.
“Dasar psikopat lakn4t!” umpat Wahda kemudian.
**
Tulang lengan dan kaki kiri Wahda mengalami dislokasi hingga harus diberi gips. Beruntung tidak terlalu parah, tidak harus dioperasi pemasangan pen juga. Saat dilakukan pemeriksaan melalui CT Scan pun, tidak ada cedera serius pada kepala meskipun wanita itu masih sering mengeluh pusing.
Beberapa hari dirawat, ia sendirian. Tidak ada yang menemani. Perawat yang datang sesekali jika ia butuh bantuan ke kamar mandi. Hanya televisi tempatnya mencari hiburan saat jenuh. Keluarga? Entah mereka khawatir atau tidak dirinya tidak pulang. Sesuai keinginan, nyatanya pria bule itu menuruti pintanya untuk tidak mengabari keluarga. Ponsel juga tidak punya. Namun, keperluan seperti baju ganti dan makanan tidak pernah telat.
Tiga hari dirawat, Wahda memberanikan diri meminjam ponsel milik salah seorang perawat. Jawaban perawat itu justru di luar dugaan.
“Maaf, Bu, saya sudah diperingatkan orang yang bertanggung jawab pada Ibu kalau kami para perawat tidak diperbolehkan meminjamkan ponsel pada Ibu.”
Wahda berdecak kesal. Sebenarnya, ia ingin mengabari kantor kalau mungkin belum bisa bekerja esok hari. Sebab cutinya hanya tiga hari. Pinjam pada keluarga pasien lain? Tidak mungkin sebab kamar yang ditempati hanya untuk satu orang. Keluar kamar pun percuma. Ia belum bisa jalan sepenuhnya.
“Lalu orang itu pernah ke sini lagi?” tanya Wahda.
“Belum pernah datang lagi, tapi selalu memantau lewat telepon.”
“Dia tuh sebenernya jahat, Sus. Bisa dibilang saya disekap sama dia.”
Perawat itu justru tertawa. “Disekap kok diruang publik. Ditempatkan di kamar VVIP pula.”
“Kalau boleh tahu, siapa namanya?”
“Pak Kenrich.”
“Apa yang terlibat kecelakaan dengan saya juga sebelumnya ada di rumah sakit ini?”
“Enggak. Ibu sendirian pas datang ke sini. Ya sudah, saya permisi. Kalau butuh apa-apa lagi, tekan tombolnya.”
Wahda berdecak kesal. “Sepertinya pria bule itu sudah mengatur semuanya.”
Ia mulai menerka-nerka. Jika pengantin wanita pria itu meninggal, itu artinya wanita judes yang dulu pernah ditangani sudah menjadi almarhumah. Secepat itu perginya.
Niat pergi dari rumah dengan berkendara sepeda motor agar meninggal atau sedikit meregangkan ketegangan, justru membuatnya berada dalam keadaan rumit. Mati tidak, terperangkap pada pria psikopat iya. Neraka dunia yang ada.
“Entah apa mau dan rencana pria bule itu.”
Hari keempat, Wahda mulai diajari berjalan dengan kruk. Ia begitu bersemangat agar bisa kembali berjalan dan kabur dari rumah sakit. Malam harinya saat sedang melamun menatap jendela, seseorang membuka pintu, lalu menghampiri. Wahda menoleh.
“Akhirnya kamu datang juga. Saya mau pulang,” ujar Wahda langsung.
“Bukankah katanya tidak mau bertemu atau mengabari keluarga?”
“Ke tempat Bu Diana.”
“Ya. Tapi setelah kita nikah.”
Wahda menatap pria itu tajam. “Kamu itu benar-benar gangguan jiwa, ya! Kita nggak saling kenal sebelumnya!”
“Saya Kenrich, pria yang kehilangan calon istri gara-gara keteledoranmu. Sekarang sudah kenal?”
“Hey, dia yang salah! Yang nabrak saya! Saya nggak merasa melanggar lalu lintas! Saya ini korban! Kenapa melempar kesalahan ke saya!”
“Tetap saja saya harus menanggung malu kalau sampai gagal nikah gara-gara kejadian ini.”
“Itu deritamu! Mending saya mendekam di penjara daripada harus menikah sama kamu!”
Pria itu tersenyum sinis. “Polisi hanya menurut dengan perintah saya.”
“Akan saya viralkan!”
“Ya, silakan. Saya bisa membalikkan fakta kalau kamulah penyebab tunangan saya meninggal. Kepolisian, saksi, atau pengacara, bisa saya beli. Mau bertaruh? Siapa yang bakal menang? Jelas yang berkuasa dan beruang.”
Wahda mengambil bantal, memukul pria itu. Namun, tidak berhasil karena bantal itu ditangkap.
“Dasar licik!”
Kenrich mengeluarkan nota, diberikan pada Wahda. “Sepeda motormu sudah diperbaiki dan sudah diantar ke rumahmu.”
Wahda berdecak. “Apa orang rumah nggak tanya macem-macem?”
“Orang suruhan saya hanya bilang pada keluargamu kalau sepeda motor ditemukan begitu saja di jalan. Setelah tanya orang sekitar, baru diantar ke rumahmu. Dan apa yang mencengangkan? Mereka sama sekali tidak mencarimu.”
Wajah Wahda berubah mendung. Ia memang tidak ingin keluarganya tahu keberadaannya di rumah sakit, tetapi mereka terkesan takacuh. Bahkan tidak ada yang khawatir padanya.
“Menurut saya, penawaran pernikahan adalah yang paling menguntungkan untukmu, Wahda Nusaibah. Itu namamu bukan?”
Wahda menatap pria berwajah tegas itu dalam. “Kenapa?”
“Saya tahu banyak tentang kamu. Adik dan tunanganmu berkhianat. Lalu orang tuamu membela adikmu. Mari kita menikah agar kamu bisa membuktikan pada mereka kalau kamu bisa hidup bahagia meskipun tanpa mereka.”
“Lalu untungnya untukmu apa? Kenapa terus memaksa saya, hah? Sebenarnya siapa kamu?”