7.Gangguan Jiwa

1033 Kata
Pria berwajah kebarat-baratan itu hanya melirik sekilas. Tatapan dari awal sampai kini tetap sama. Datar, dingin. “Kenapa harus saya? Apa untungnya buat kamu?” ulang Wahda. “Karena saya tetap ingin pernikahan terjadi meskipun mempelai wanitanya beda. Demi reputasi saya,” jawab Kenrich akhirnya. “Karena kamu terlibat secara langsung, kamu juga yang harus menanggung.” “No! Carilah wanita lain yang sama gilanya sepertimu!” “Bagaimana kalau saya maunya kamu?” “Saya nggak kenal siapa kamu! Bertemu pun hanya sekadar klien dan pemilik jasa. Lalu pertemuan selanjutnya ngajak nikah. Kalau kamu bukan orang gila apa? Sinting? Lebih baik saya mendekam di penjara daripada harus menikah denganmu. Saya akan menyerahkan diri ke polisi jika itu yang terbaik.” Kenrich manggut-manggut. “Oke terserah. Tapi kamu akan terlihat sangat menyedihkan di mata adik dan mantan tunanganmu itu. Mereka akan merasa menang telah mengalahkanmu, menjadikanmu memprihatinkan. Coba bayangkan, betapa menyedihkannya kamu dalam kondisi mengenaskan seperti itu.” Wahda terdiam, mencerna ucapan pria bule ini. Ucapannya ada benarnya. Jika ia terpuruk, Wirda dan Damar pasti akan merasa di atas angin. Kenrich menunjuk wajah Wahda dengan telunjuknya. Wajahnya benar-benar serius. “Hai, Nona! Saya tahu semua tentang dirimu. Saya berniat membuat kesepakatan yang menguntungkan untuk kita berdua, tapi kamu menolak. It’s oke. Nggak masalah buat saya. Tapi mungkin masalah buatmu. Kemasi barangmu. Kamu sudah boleh pulang. Terserah mau pulang ke mana.” Kenrich berjalan, meninggalkan Wahda. Namun, baru beberapa langkah di belakang Wahda, ia kembali bersuara. “Penawaran saya tidak berlaku dua kali. Dan jangan mengira barang-barang berhargamu bisa kembali. Dompet berisi kartu identitas, kartu ATM, ponsel. Akan saya buang.” Wahda bingung harus bagaimana. Penawaran Kenrich terkesan gila, tetapi di satu sisi boleh juga. Namun, ia sama sekali tidak mengenal kepribadian pria itu. Bagaimana kalau Kenrich jahat atau psikopat? Jika menikah dengan pria itu, bagaimana nasib ke depannya? Suara pintu dibuka terdengar. Cepat-cepat Wahda berteriak. “Tunggu!” Di ambang pintu, bibir Kenrich tersungging. Ia berhenti. “Ba-bagaimana biaya rumah sakit ini? Saya ada asuransi kesehatan, tapi ruangan ini bukan kelas asuransi kesehatan saya. Kurangnya bagaimana?” “Masalah biaya rumah sakit kalau kamu bersedia dengan penawaran saya, saya yang tanggung. Tapi kalau kamu menolak, jadi urusanmu.” Kenrich kemudian melanjutkan langkah. “Kenrich tunggu!” pekik Wahda lagi. “Oke, akan saya pikirkan! Saya butuh bantuanmu untuk saat ini!” Kenrich yang sudah berada di luar, terpaku sebentar. Pria yang berpakaian santai itu lalu kembali masuk. “Pilihan yang tepat.” Di atas bed, Wahda menengadahkan tangan. “Kembalikan dulu ponsel saya.” “No!” “Saya mau menelepon Bu Diana! Sudah terlalu lama saya absen.” Kenrich merogoh ponsel miliknya dari saku, mengoperasikan sebentar, kemudian mengarahkan pada Wahda. “Katakan sesuatu. Kamu sedang sekarat misalnya.” Wahda berdecak. “Katakan cepat! Nanti akan saya kirim suaramu pada Bu Diana.” “Iya-iya!” Wahda berdeham. “Assalamualaikum, Bu Diana. Ini saya Wahda. Maaf saya belum bisa bekerja. Saya habis kena musibah, kecelakaan. Tulang kaki dan tangan saya geser. Saat ini saya masih di rumah sakit. Maaf tidak bisa mengabari sendiri karena ponsel saya rusak. Saya tidak tahu kapan bisa bekerja lagi. Mohon pengertiannya.” “Sudah?” tanya Kenrich setelah Wahda terdiam lama. Wahda mengangguk. “Oh, ulangi. Tadi belum saya tekan tombol untuk merekam.” “Keen!” Wahda mengambil apa saja dari nakas, kemudian melemparkan pada pria dingin nan menyebalkan itu. “Si4lan lo! Niat banget ngerjain gue!” ** “Saya mau pulang ke kos-kosan saya saja,” tutur Wahda saat didorong perawat menuju lobi. Sementara Kenrich berjalan santai di sampingnya sambil memainkan ponsel. Karena tidak ada sahutan, Wahda mendongak, menatap Kenrich. “Ken!” “Hm.” Pria itu belum mengalihkan pandangan dari peranti komunikasi miliknya. “Saya mau balik ke Jakarta!” “Tidak memungkinkan dengan kondisimu seperti ini. Karena kamu masih harus kontrol. Saya sudah siapkan tempat tinggal untukmu di daerah sini.” “Tapi–“ Kenrich mengangkat tangan, meminta Wahda diam sebab ponselnya berdering. “Sus, tolong tepikan dulu dia. Bisa ditinggal. Sisanya saya yang urus!” titah Kenrich sebelum pergi. “Baik, Tuan.” Perawat itu lantas membawa Wahda ke tepi. “Saya tinggal, ya, Bu. Saya masih ada kerjaan.” “Ah, iya. Terima kasih.” Tinggallah Wahda sendiri. Ia menatap sekitar. Sebenarnya ini saat yang pas untuknya kabur. Namun, berdiri saja masih kesusahan. Ditambah tidak ada kruk yang menopang tubuh. Biaya rumah sakit full ditanggung Kenrich. Wahda sudah berinisiatif mengganti atau patungan, tetapi pria tinggi tegap itu menolak. Wahda benar-benar merasa seperti tawanan. Ingin pergi, tidak bisa. Minta tolong orang lain, ia terlihat tidak sedang disakiti. Kembali ke rumah, belum mungkin. Ia masih sakit hati pada keluarganya. Kembali ke Jakarta? Tubuhnya belum cukup kuat perjalanan jauh. Atau menerima tawaran Kenrich tinggal di tempat yang sudah disediakan? Rasanya mustahil. Wahda tidak tahu pria itu seperti apa. Takutnya nanti malah disakiti atau bahkan dilecehkan. “Gue harus lari dari pria itu,” gumam Wahda. Wanita itu celingukan, mencari seseorang yang mungkin bisa membantu. Setidaknya meminjamkan ponsel. Ia menjalankan kursi rodanya, menuju seorang wanita muda yang duduk memainkan ponsel. “Permisi, Kak. Boleh minta tolong?” pinta Wahda. “Minta tolong apa?” “Tolong cari di Googl* Griya Style. Nanti tolong Kakak hubungi nomor yang ada di sana. Bilang dari Wahda ingin bicara. Saya karyawan sana. Ponsel saya hilang.” “Oh, iya sebentar.” Wanita muda itu mulai mencari di mesin pencarian. “Wah, Kakak berarti karyawan desainer terkenal itu? Bu Diana?” “Iya.” Wahda mengangguk. Wanita muda itu mulai menyimpan nomor yang tertera di G**gle. Saat akan menelepon, suara berat menyela. “Tidak perlu menelepon. Wanita ini bohong. Awas penipuan.” Kenrich tiba-tiba datang, segera mendorong kursi roda Wahda menjauh. “Keen! Keterlaluan kamu! Kak, tolong kirim pesan ke nomor itu kalau yang namanya Wahda dalam bahaya! Dia diculik!” Suara Wahda yang sangat keras sebab telanjur marah, terdengar menggema di lobi rumah sakit. “Saya diculik pria ini! Tolong! Siapa pun tolong saya!" “Diam!” bentak Kenrich. Wahda terus berteriak kesetanan. Dengan terpaksa, Kenrich jongkok, membekap mulut Wahda. “Maaf semuanya, wanita ini gangguan jiwa,” ujar Kenrich saat orang-orang menatap heran ke arah mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN