8.Nggak Suci

1014 Kata
Wahda menggigit telapak tangan yang membekap mulutnya. “Toloong, toloong!” Wahda terus berteriak. Kenrich yang tidak tahan, mengangkat tubuh wanita itu dari kursi roda. Kebetulan mobil juga sudah siap dan terbuka pintunya. “Turunin gue! Lepasin gue! Toloong! Pria ini yang gangguan jiwa! Dia penculik! Psik0pat jahat!” Tubuh Wahda terus bergerak kuat agar bisa lepas dari Kenrich. “Diam atau saya makan bibirmu di tempat umum ini!” bentak Kenrich kemudian. “Dasar m*sum! Orang gila! Jahat!” Dengan tangan kanan, Wahda terus memukuli d*da Kenrich brutal. Dengan dibantu orangnya, akhirnya Wahda berhasil dimasukkan ke dalam mobil. Kenrich langsung menyusul duduk di samping wanita yang napasnya memburu tersebut. “Keluarin gue dari sini!” Wahda tetap berteriak heboh. “Jalan!” titah Kenrich pada sopir di kursi depan. Mobil pun mulai melaju. “Kenrich gendheng! Gila!” Sejak amarahnya berkobar, Wahda tidak lagi menggunakan bahasa formal. Entah berapa usia Kenrich, ia tidak mau tahu. Lebih baik langsung memanggil nama alih-alih menggunakan embel-embel pak atau mas. “Diam!” bentak Kenrich untuk kesekian kali. Ia mengambil kepala Wahda dengan kedua telapak tangan agar menatap padanya. Matanya membola. Kali ini, ia benar-benar marah. “Saya tidak segan-segan membuangmu ke jalan agar dilindas truk kalau kamu terus berteriak! Nurut sama saya!” Wahda mulai ketakutan. Wanita yang hijabnya sudah amat berantakan itu ganti menatap Kenrich dengan mata memerah. “Sebenarnya apa yang kamu rencanakan, hah? Mau mengurung gue? Atau membvnuh gue? Baiklah, ayo lakukan! Lempar gue ke aspal!” pekik Wahda balik. Kenrich melepaskan cekalan. Ia lantas menyandarkan kepala, memijat pangkal hidung. “Gue nggak takut sama lo!” Suara Wahda menggelegar, tepat di wajah Kenrich. Pria yang kesabarannya sudah mulai hilang itu lalu kembali menangkap kepala Wahda dengan kedua tangan. Lalu dengan cepat menyambar bibir Wahda dengan bibirnya. Dilumatnya pelan bibir itu. Wahda membeku. Tubuhnya kaku seperti patung saat mendapat serangan tiba-tiba. “Diam atau saya akan melakukan hal lebih dari ini!” “Berani-beraninya lo!” Wahda memegang bibirnya sekilas. Saat tangan Wahda akan mendarat mengenai pipi Kenrich ingin menampar, pria itu menghindar. Dengan gerakan cepat, Kenrich membalik tubuh Wahda, memiting kedua tangan itu di belakang tubuh. “Tangan gue sakit! Lepas!” “Kita bisa bicara baik-baik, tapi dari tadi kamu terus memancing amarah saya,” desis Kenrich dari belakang, tepat di telinga Wahda. “Iya iya. Tapi lepasin!” “Berjanji dulu tidak teriak-teriak seperti orang gila.” “Hm.” Kenrich pun melepaskan pitingannya. Wahda mengelus tangannya yang sakit. “Lo udah melecehkan gue! Gue tuntut lo!” “Saya bisa tuntut balik karena kecelakaan kemarin.” “Gue nggak salah!” Kenrich hanya menyunggingkan senyum. “Saya bisa membuatmu terlihat salah dan menjadi tersangka. Itu sangat mudah.” Wahda kini sadar sudah masuk dalam lubang hitam permainan Kenrich. Entah apa keinginan dan maksud pria itu padanya, yang jelas bukan hal yang baik dan mudah. Terlebih, sepertinya sulit keluar dari cengkeraman iblis satu ini. Suasana dalam mobil akhirnya hening. Wahda memilih melempar pandang pada lalu-lalang kendaraan di luar jendela. “Kamu cukup menurut pada saya. Apa susahnya?” Kenrich mulai bersuara. Wahda masih bergeming. “Yang pasti, saya tidak akan mengambil keuntungan lebih dari wanita sepertimu. Apa yang mau diambil? Kamu punya apa memangnya?” “Tapi jangan cium gue segala! Dosa!” pekik Wahda. “Itu juga karena kesalahanmu sendiri.” “Ck! Lo mau bawa gue ke mana?” “Nanti juga akan tahu.” Wahda menyandarkan kepala, lalu ia mencoba menutup mata. Lelah jika terus berdebat. Namun, tidak benar-benar tidur. Setelah beberapa saat perjalanan, mobil berbelok ke sebuah gerbang. Di dalam gerbang itu, terdapat sebuah rumah sederhana yang sangat asri. Sementara di sekelilingnya, pagar tinggi dan kokoh melindungi. Saat mobil sudah masuk pekarangan, gerbang kembali tertutup. “Ini rumah siapa?” tanya Wahda saat mobil berhenti. “Rumah hantu. Kamu akan tinggal di sini sampai benar-benar pulih,” jawab Kenrich. “Sama lo?” “Kamu maunya begitu?” “Najis!” “Turun!” “Enggak!” “Atau saya yang turunkan?” “Hiih!” Pintu samping Wahda terbuka. Sudah ada seorang pria yang membawa kruk untuknya. Dengan hati-hati, wanita itu pun turun. “Den Ken. Selamat datang kembali.” Seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh menyambut. Ia mengambil telapak tangan Kenrich, hendak menciumnya. Namun, buru-buru pria itu yang ganti mencium tangan sang wanita paruh baya. “Dia Mak Jum, penjaga rumah ini sekaligus orang yang akan merawatmu,” tutur Kenrich pada Wahda. Wahda tersenyum canggung ke arah Jum. Ia juga mengangguk sopan. “Saya Wahda, Mak.” “Masyaallah ayune. Pantes Den Ken–“ “Antar dia masuk, Mak. Hati-hati, dia ganas,” potong Kenrich. “Baik, Den.” Jum menuntun Wahda masuk ke rumah dengan hati-hati. Kenrich mengekor di belakang mereka. Tiba di ruang tamu, Wahda didudukkan. “Tolong ambilkan tas di mobil, Mak. Itu barangnya wanita ini.” “Baik, Den.” Jum kembali ke depan. Sementara pandangan Wahda mengedar ke seisi ruangan sederhana tetapi sangat rapi tersebut. “Sudah saya izinkan sama bosmu. Kamu bisa istirahat tenang di sini.” “Apa ini semacam penyekapan?” “Terserah kamu mau menganggap apa. Awas kalau sampai kabur. Beberapa orang saya berjaga 24 jam di sini. Yang sopan sama Mak Jum, jangan berani sama dia.” Wahda mencebik. Jum kembali dari luar membawa barang Wahda yang sebenarnya dibelikan oleh Kenrich. “Saya taruh kamar dulu, Den. Sekalian membuatkan minum. Den Ken ndak buru-buru pergi, kan?” Kenrich menggeleng. Jum pun berderap masuk ke pintu penghubung ruang tamu. “Mak Jum tinggal berdua sama putranya. Tapi putranya jarang pulang karena kuliah di luar kota,” jelas Kenrich tanpa diminta. Wahda masih belum bisa meraba sikap pria bule satu ini. Namun, ia mencoba mengikuti permainan yang diberikan. “Apa lo tetap mau menikahi gue?” tanya Wahda. Kenrich mengangguk. “Ya. Tapi setelah kamu sembuh. Saya juga tidak mau menikahimu dalam kondisi buruk seperti ini.” Wahda melambai agar Kenrich mendekat. Pria itu pun menurut meski sedikit enggan. “Tapi gue udah nggak perawan. Tetap mau menikahi gue yang nggak suci ini?” bisik Wahda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN